Malpraktik VS Standar Pelayanan Kesehatan

KATA PENGANTAR
Puji sykur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah berkenan memberi petunjuk dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “ Maraknya Malpraktik di Indonesia”..
Dalam menyelesaikan makalah ini penulis banyak sekali mendapat bantuan, dukungan moril maupun materi dari berbagai pihak dan pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Eravianti, S.SiT, MKM selaku dosen pembimbing dan kepada teman-teman yang sudah memberikan bantuan dan masukan sehinnga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyajikan yang terbaik, namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
Padang, Januari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................... 1
B. Tujuan................................................................................................. 2
C. Manfaat .............................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Standar dan Mutu Pelayanan Kesehatan............................................... 3
B. Malpraktik .......................................................................................... 8
BAB III PEMBAHASAN.......................................................................................... 15
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................... 17
B. Saran................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mencegah lebih baik daripada mengobati. Itulah kalimat yang pantas untuk dunia kesehatan saat ini. Malpraktik masih menjadi topic utama dalam dunia kesehatan terutama di Indonesia akhir-akhir ini. Berbagai praktik kesehatan termasuk kedokteran dan keperawatan kini diarahkan untuk mencegah terjadinya malpraktik.
Malpraktik merupakan suatu tindakan tenaga professional yang bertentangan dengan standard operating procedure (SOP), kode etik profesi, serta undang –undang yang berlaku (baik disengaja maupun akibat kelalaian) yang mengakibatkan kerugian dan kematian terhadap orang lain.
Standar Pelayanan Kesehatan adalah suatu pernyataan tentang mutu yang diharapkan, yaitu yang menyangkut masukan, proses, dan luaran dari system pelayanan kesehatan.
Kasus tindak pidana malpraktik merupakan kasus yang sangat sering terjadi di Indonesia. Dalam beberapa decade terakhir ini istilah malpraktik cukup terkenal dan banyak dibicarakan masyarakat umum khusunya malpraktik bidang kedokteran dalam transaksiterapeutik antara dokter dan pasien.
Jika kita flashback beberapa decade ke belakang khususnya di Indonesia anggapan banyak orang, dokter adalah professional yang kurang bias disentuh dengan hokum atas profesi yang dia lakukan. Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat saat sekarang banyak tuntutan hukum baik perdata, pidana maupun administrative yang diajukan pasien atau keluarga pasien kepada dokter karena kurang puas atas hasil perawatan atau pengobatan.
Salah satu contoh tindakan malpraktik yang dilakukan oeh dokter adalah kasus tertinggalnya kassa di ruang antar tulang dan otot pasien, sehingga menyebabkan pasien mengalami osteomielitis. Bekas luka operasi mengeluarkan nanah, akibatnya terpaksa pasien menjalani operasi kedua pada tulang femurnya.
Hal ini disebabkan oleh kelalaian dokter pada saat melakukan operasi yang pertama karena fraktur pada tulang femur. Sehingga menyebabkan keluarga korban melakukan somasi dan melayangkan surat dugaan malpraktik kepada dokter yang terkait dan pihak Rumah Sakit melalui kuasa hukumnya. Mereka menuntut ganti rugi senilai 1 milyar rupiah atas kerugian materil dan imateri yang dialami.
Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara perdata maupun pidana.
Melihat masih tingginya angka kejadian malpraktik, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini. Untuk pembahasan lebih lanjut penulis tuangkan kedalam Bab II.
B. Tujuan
1. menjelaskan tentang pengertian standar pelayanan kesehatan
2. menjelaskan tentang pengertian malpraktik
3. menjelaskan tentang sanksi hukun malpraktik
4. menjelaskan tentang penanganan kasus malpraktik.
C. Manfaat Penulisan
1) Bagi penulis
Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
2) Bagi pembaca
Sebagai bahan bacaan dan menambah pengetahuan tentang pelayanan kesehatan yang bermutu dan sesuai dengan standard.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. STANDAR DAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN
1) Standar Pelayanan Kesehatan
Standar adalah:
§ Keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna yang digunakan sebagai batas penerimaan minimal.
§ Kisaran variasi yang masih dapat diterima.
§ Rumusan tentang penampilan atau nilai diinginkan yang mampu dicapai, berkaitan dengan parameter yang telah ditetapkan.
§ Spesifikasi dari fungsi atau tujuan yang harus dipenuhi oleh suatu sarana pelayanan agar pemakai jasa pelayanan dapat memperoleh keuntungan yang maksimal dari pelayanan yang diselenggarakan.
Standar Pelayanan Kesehatan adalah suatu pernyataan tentang mutu yang diharapkan, yaitu yang menyangkut masukan, proses, dan luaran dari system pelayanan kesehatan.
Manfaat Standard:
§ Standard adalah hasil consensus semua pihak yang terkait dengan suatu produk, termasuk konsumen.
§ Standard menjamin keseragaman spesifikasi teknis minimal yang harus dipenuhi.
§ Penerapan standard secara wajib akan melindungi konsumen dari produk bermutu rendah yangdapar berakibat fatal.
§ Mempermudah produsen untuk memenuhi persyaratan karena terdeskripsi secara jelas.
§ Aspek kualitas lingkungan dan keselamatan adalah acuan utama penerapan standard.
Suatu standard yang baik harus memenuhi persyaratan yaitu:
§ Bersifat jelas
§ Masuk akal
§ Mudah dimengerti
§ Dapat dicapai
§ Absah
§ Meyakinkan
§ Mantap, spesifik, dan eksplisit.
Macam-macam standard:
1. Standard Persyaratan Minimal
Yang menunjuk pada keadaan minimal untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yag bermutu. Terdiri dari 3 yaitu:
a. Standard masukan
Ditetapkan persyaratan minimal unsure masukan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu.
b. Standard lingkungan
Ditetapkan persyaratan minimal unsure lingkungan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu.
c. Standard proses
Ditetapkan standard proses untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu.
2. Standar Penampilan Minimal
Menunjuk pada penampilan pelayanan kesehatan yang masih dapat diteima.
2) Mutu Pelayanan Kesehatan
Pengertian Mutu
§ Mutu berada pada orang yag melihatnya
§ Excellent
§ Produk yang paling ekonomis, paling berguna, dan selalu memuaskan pelanggan
§ Zero defect, defect free
§ Pelanggan yang gembira
§ Produk barang dan jasa inovatif yang sepenuhnya memenuhi persyaratannya
§ Kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
§ Sesuai dengan yag diisyaratkan atau distandarkan.
§ Kesesuaian dengan kebutuhan pasar.
§ Kepuasan pelanggan sepenuhnya
§ Suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
§ Kepatuhan terhadap standard yang telah ditetapkan
§ Tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati.
Mutu Pelayanan Kesehatan
§ Pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta penyelenggaraannya sesuai dengan standard dank ode etik profesi yang telah ditetapkan (Azrul Azwar).
§ Memenuhi dan melebihi kebutuhan dan harapan pelanggan melelui peningkatan yang berkelanjutan atas seluruh proses (Mary Z Zimmerman).
§ Tingkatan dimana layanan kesehatan untuk individu atau penduduk mampu meningkatkan hasil kesehatan yang diinginkan dan konsisten dengan pengetahuan profesioanl saat ini (Institute of Medicine, USA)
§ Tingkatan dimana layanan yang diberikan sesuai dengan persyaratan bagi layanan yang baik (Avedis Donabedian)
Alasan Pentingnya Mutu Dalam Pelayanan Kesehatan:
§ Perubahan global misalnya perdagangan bebas
§ Mutu adalah masalah hak dan etis
§ Mutu membantu pasien mencapai hasil yang optimal
§ Komitmen terhadap mutu akan mengurangi biaya pengeluaran
§ Kebanggaan staf terhadap organisasi
§ Menghindari rasa frustasi baik dari staf maupun dari pelanggan
§ Lebih mudah memenuhi standar-standar yang ditetapkan.
Perbedaan Definisi Mutu
1. Bagi health consumer
Mutu layanan terkait pada ketanggapan, keranahan petugas serta kesembuhan atas penyakit yang diderita.
2. Bagi health provider
Mutu pelayanan sesuai dengan kemajuan ilmu kesehatan yang mutakhir.
3. Bagi health financing
Mutu pelayanan terkait pada efisiensi sumber daya; kewajaran atas pembiayaan, dan mampu memberikan keuntungan.
Dimensi Mutu
§ Kompetensi teknis (Technical Competence)
§ Akses terhadap pelayanan (Accessibility)
§ Efektivitas (effectiveness)
§ Hubungan Antar Manusia (Interpersonal relation)
§ Efisiensi (efficiency)
§ Kelangsungan pelayanan (Continuity)
§ Keamanan (safety)
§ Kenyamanan (amnieties)
Program Menjaga Mutu
Adalah upaya yang berkesinambungan, sistematis dan objektif dalam memantau dan menilai pelayanan yang diselenggarakan dibandingkandengan standard yang telah ditetapkan, serta menyelesaikan masalah yang ditemukan untuk mmperbaiki mutu pelayanan.
Syarat Program Menjaga Mutu
§ Bersifat khas
§ Mampu melaporkan setiap penyimpangan
§ Fleksibel dan berorientasi pada masa depan
§ Mencerminkan dan sesuai dengan keadaan organisasi
§ Mudah dilaksanakan
§ Mudah dimengerti.
Manfaat Program Menjaga Mutu
§ Dapat lebih meningkatkan efektivitas pelayanan kesehatan
§ Dapat lebih meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan
§ Dapat lebih meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Bentuk Program Menjaga Mutu
1) Program Menjaga Mutu Prospektif
Adalah yang diselenggarakan sebelum pelayanan kesehatan. Prinsipnya yaitu:
§ Standarisasi
Adalah upaya menentukan standard-standar tertentu yang harus dipenuhi.
§ Lisensi (perizinan)
Adalah izin menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
§ Sertifikasi
Adalah memberikan sertifikat kepada institusi kesehatan yang benar-benar telah dan atau memenhi persyaratan.
§ Akreditasi
Adalah bentuk lain dari sertifikasi yang nilainya dipandang lebih tinggi.
2) Program Menjaga Mutu Konkuren
Diselenggarakan bersamaan dengan pelayanan kesehatan.
3) Program Menjaga Mutu Retrospektif
Diselenggarakan setelah selesainya pelayanan kesehatan.
B. MALPRAKTIK
1) Pengertian Malpraktik
§ Berasal dari kata “mal” yang berarti buruk dan “practice” yang berarti suatu tindakan atau praktik. Malpraktik adalah suatu tindakan medis buruk yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien.
§ Menurut Black’s Law Dictionary, malpraktik adalah professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”. Pengertian malpraktik diatas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan, dan lain-lain.
§ Menurut World Medical Association (1992) adalah : “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.
§ Malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama (Berkhouwer & Vorsman, 1950).
§ Menurut Hoekema, 1981, malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan pekerjan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama.
§ Pada undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter sedangkan dalam undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter.
§ Pegangan pokok untuk membuktikan malpraktik adalah dengan adanya kesalahan tindakan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter ketika melakukan perawatan medik dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan tersebut.
§ Malpraktik adalah suatu tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan standard operating procedure (SOP), kode etik profesi, serta undang-undang yang berlaku (baik disengaja maupun akibat kelalaian) yang mengakibatkan kerugian dan kematian terhadap orang lain.
Menurut Gunadi, J dapat dibedakan antara resiko pasien dengan kelalaian dokter (negligence) yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pada dokter. Resiko yang ditanggung pasien ada tiga macam yaitu :
§ Kecelakaan
§ Resiko tindakan meik (risk of treatment)
§ Kesalahan penilaian (error of judgement).
Masih menurut Gunadi, J masalah hukum sekitar 80% berkisar pada penilaian atau penafsiran. Resiko dalam tindakan medik selalu ada dan jika dokter atau penyedia layanan kesehatan telah melakukan tindakan sesuai dengan standar profesi medik dalam arti bekerja dengan teliti, hati-hati, penuh keseriusan dan juga ada informed consent (persetujuan) dari pasien maka resiko tersebut menjadi tanggungjawab pasien. Dalam undang-undang hukum perdata disana disebutkan dalam hal tuntutan melanggar hukum harus terpenuhi syarat sebagai berikut :
§ Adanya perbuatan (berbuat atau tidak berbuat)
§ Perbuatan itu melanggar hukum
§ Ada kerugian yang diatanggung pasien
§ Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan
§ Adanya unsur kesalahan atau kelalaian.
Ada tidaknya Mal Praktik harus dibuktikan dengan empat kriteria hukum berikut ini :
  • Ada duty of care
Artinya dokter atau RS mengaku berkewajiban memberi asuhan ke[ada pasien.
  • Ada breach of duty
Artinya dokter atau RS tidak melakukan kewajiban sebagaimana seharusnya. Wujud breach atau pelanggaran ini adalah:
    1. Kesalahan dalam tindakan medis, seperti kekliruan diagnosa, interpretasi hasil pemeriksaan penunjang, indikasi tindakan, tindakan tidak sesuai dengan standar pelayanan, kesalahan pemberian obat, kekeliruan transfuse, dll
    2. Kelalaian berat. Tidak melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan menurut asas-asas dan standar praktik kedokteran yang baik.
  • Ada cedera pada psien, berupa cedera fisik, psikologis, mental, sampai yang terberat jika pasien cacat tetap atau meninggal.
  • Ada hubungan sebab akibat langsung antara butir 2 dan 3, artinya cedera pada pasien memenag akibat breach of duty pada pemberi asuhan kesehatan. Ini yang paling sukar dibuktikan.
2) Sanksi Hukum
Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter sebagaimana contoh kasus yang terjadi yaitu tentang kelalaian, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang .
Serta tidak menutup kemungkinan juga dapat mengancam dan membahayakan keselamatan jiwa pasien. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.
Jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki), serta Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain ditur dalam pasal 359 yang berbunyi: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun".
Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
  • Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orag lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
  • Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembian bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinngi tiga ratus juta rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana pasal 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan."
Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oeh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: "Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya."
3). Kepastian Hukum
Melihat berbagai saksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut diatas dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan, tetapi juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik.
Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum. Azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga untuk diperlakukan sama didepan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of innocence) sehingga jamina kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik tanpa memihak siapa pun.
Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah melakukan malpraktik apabila:
§ Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai.
§ Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap kode etik kedokteran Indonesia (kodeki)
§ Melanggar UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (kodeki) sangatlah perlu ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaries, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Daam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK).
Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kodeki. Namun, jika kesalahan tersebut
Ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi dapat juga dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenagan oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut.
Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata.
4). Langkah-langkah Penanganan Kasus
§ Dimulai dari langkah pencegahan. Dilakukan perspektif safety disetiap langkah prosedur atau tindakan medis dengan melibatkan proses manajemen resiko.
§ Bila telah terjadi peristiwa yang potensial menjadi kasus tuntutan hukum, maka profesioanl wajib menganalisis peristiwa tersebut untuk meemukan apakah kesalahan yang telah terjadi dan kemudian melakukan koreksi. Untuk melakukan hal itu, ia harus membuat kronologi peristiwa dan menjelaskan alasan masing-masing tindakannya, dan menandatanganinya.
§ Bila tingkat potesial menjadi kasus medikoleganya cukup tinggi, maka kasus tersebut dilaporkanke atasan (ketua KSMF atau Komite Medik) untuk dibahas bersama pakar dari organisasi profesi atau perhimpunan spesialis terkait. Dalam audit klinis tersebut dilakukan pembahasan tentang keadaan pasien, situasi kondisi yang merupakan “tekanan”, diagnosis kerja dan diagnosis banding, indikasi medis dan kontra indikasi, alternative tindakan, informed consent, komunikasi, prosedur tindakan dibandingkan dengan standar, penyebab peristiwa yang menuju ke peristiwa medikolegal, penanganan peristiwa tersebut, diagnosis akhir, dan kesimpulan apakah prosedur medis dan alas an lainnya telah dilakukan sesuai dengan standar profesi atau SOP yang cocok dengan situasi kondisi kasus.
Keseluruhan yang dilakukan di atas juga merupakan langkah-langkah persiapan menghadapi komplain pasien, atau bahkan menghadapi somasi dan gugatan di kemudian hari. Di samping itu profesional terkait kasus tersebut harus melihat kembali dokumen kompetensi (keahlian) dan kewenangan medis (perijinan), serta kompetensi / kewenangan medis khusus (dokumen pelatihan/workshop, pengakuan kompetensi, pengalaman, dll) yang berkaitan dengan kasus.
Pertimbangan apakah kasus akan diselesaikan di pengadilan ataukah dengan cara perdamaian perlu dibahas pada waktu tersebut. Kasus yang secara nyata merupakan kesalahan pihak medis dan dinilai "undefensable" sebaiknya diselesaikan dengan cara non litigasi. Sebaliknya, kasus yang secara nyata tidak memiliki titik lemah di pihak medis dapat dipertimbangkan untuk diselesaikan melalui sidang pengadilan. Kadang-kadang terdapat kasus "abu-abu" atau "kasus ringan" yang penyelesaian cara non litigasi mungkin akan lebih "menguntungkan" dari segi finansial daripada memilih cara penyelesaian litigasi.
Guna menghadapi hal itu, organisasi profesi (PDSp) membentuk semacam "dewan pakar" atau "dewan kehormatan pembina", yang akan menilai kasus dari sisi profesi dan kemudian akan menjadi saksi ahli - menyampaikan hasil pembahasan peer-group tersebut kepada penyidik.
BAB III
PEMBAHASAN
Pelayanan yang berkualitas adalah adalah pelayanan yang dapat memuaskan pasien. Pelayanan yang diberikan harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Standar merupakan tingakat pencapaian tertinggi dan sempurna yang dipergunakan sebagai batas penerimaan minimal.
Standard pelayanan kesehatan adalah suatu pernyataan tentang mutu yang diaharapkan, yaitu yang menyangkut masukan, proses, dan luaran dari system pelayanan kesehatan.
Seorang dokter atau tenaga kesehatan lainnya harus senantiasa melaukan profesinya menurut ukuran tertinggi, memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh, yaitu promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif serta menggunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk keperluan pasien.
Dengan demikian, seorang dokter yang memberikan pelayanan di bawah standard merupakan suatu tindakan malpraktik dan dapat dikenakan pasal 350 KUHP. Malpraktik adalah merupakan suatu tindakan tenaga professional (profesi) yang bertentangan dengan standard, kode etik profesi, undang-undang yang berlaku (baik disengaja maupun akibat kelalaian) yang mengakibatkan kerugian dan kematian terhadap orang lain.
Suatu pelanggaran merupakan malpraktik hukum pidana atau perdata, maka kasus diteruskan ke pengadilan. Dalam hal ini perlu dicegah oleh karena kuragnya pegetahuan pihak penegak hukum tentang ilmu dan teknologi kedokteran sehingga menyebabkan dokter yang ditindak menerima hukuman yang dianggap tidak adil. Selain itu pengetahuan masyarakat umum tentang etika kedokteran sangat terbatas sehingga kadang-kadang terjadi ada kasus pelanggaran etika murni keburu dajukan ke pengadilan sebelum ditangani Majelis Kehomatan Etika Murni Kedokteran (MKEK).
Namun bila pelanggaran etika tidak murni, dibahas dulu di Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika Kedokteran sebelum diteruskan kepada penyidik. Jadi awalnya penanganan kasus-kasus tersebut tidak perlu dicampuri pihak luar.
Masalah yang terjadi pada pasien dengan kasus tertinggalnya kassa diruang antar tulang dan otot pasien merupakan kasus malpraktik karena kelalaian dari tenaga kesehatan (dokter) sehingga menyebabkan pasien tersebut harus menjalani operasi kedua pada tulang femurnya.
Keluarga korban merasa tidak bisa menerima dan mengajukan kasus ini untuk ditindak. Keluarga korban melayangkan somasi kepada dokter yang terkait dan rumah sakit yang bersangkutan serta memnita ganti rugi atas kasus tersebut.
Dalam kasus pidana dugaan kelalaian yang mengakibatkan cedera atau kematian, penanganan awalnya boleh dianggap sama dengan di atas. Selanjutnya proses pemeriksaan oleh penyidik diikuti dengan patuh, dengan memberikan pembelajaran kepada penyidik di bidang medis dan medikolegal. Di wilayah hukum Polda Metro Jaya disepakati untuk mengajukan satu atau dua orang saksi ahli di bidang yang dibutuhkan, satu berasal dari organisasi profesi (MKEK) dan satu dari kalangan akademisi (dosen Fakultas Kedokteran).
Pada dasarnya kelalaian dapat terjadi apabila dokter melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama.
Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian diatur dalam Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Layanan kedokteran adalah suatu system yang kompleks dan rentan akan terjadinya kecelakaan, sehingga harus dilakukan dengan penuh hati-hati oleh orang-orang yang kompeten dan memiliki kewenangan khusus untuk itu.
Upaya meminimalkan tuntutan hukum terhadap rumah sakit beserta stafnya pada dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors, atau berarti seluruh upaya mengelola risiko dengan berorientasikan kepada keselamatan pasien.
Dalam Kode etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Bab IV pasal 17 menyatakan bahwa “Seorang dokter hendaknya senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia kepada cita-citanya yang luhur ”. Hal ini perlu ditekankan karena jika dokter itu tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidangnya, maka lama kelamaan ia akan ketinggalan ilmunya dan bisa jatuh dibawah standar normal.
Dengan demikian seorang dokter yang memberikan pelayanan di bawah standard merupakan suatu tindakan malpraktik dan dapat dikenakan pasal 350 KUHP. Suatu pelanggaran merupakan malpraktik hukum.
B. Saran
Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian, kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah, M Jusuf dan Amri Amir.1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC
www.askep-askeb-kita.blogspot.com
Next Post Previous Post