Gangguan Miksi

Gangguan Miksi: "MANIFESTASI NEUROLOGIS GANGGUAN MIKSI


I. PENDAHULUAN
Fungsi kandung kencing normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistim saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis kemedula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab neurogenik dari gangguan kandung kencing dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat.

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI
A. Struktur otot detrusor dan sfingter
Susunan sebagian besar otot polos kandung kencing sedemikian rupa sehingga bila berkontraksi akan menyebabkan pengosongan kandung kencing. Pengaturan serabut detrusor pada daerah leher kandung kencing berbeda pada kedua jenis kelamin, pria mempunyai distribusi yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut membentuk suatu sfingter leher kandung kencing yang efektif untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang ekivalen.
Sfingter uretra (rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot luruk berbentuk sirkuler. Pada pria, rhabdosfingter terletak tepat di distal dari prostat sementara pada wanita mengelilingi hampir seluruh uretra. Rhabdosfingter secara anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar pelvis. Pemeriksaann EMG otot ini menunjukkan suatu discharge tonik konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses miksi

B. Persarafan dari kandung kencing dan sfingter
1. Persarafan parasimpatis (N.pelvikus)
Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari neuron preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Neuron preganglionik keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis pelvis. Ini merupakan suatu jaringanhalus yang menutupi kandung kencing dan rektum. Serabut postganglionik pendek berjalan dari pleksus untuk menginervasi organorgan pelvis. Tak terdapat perbedaan khusus postjunctional antara serabut postganglionik danotot polos dari detrusor. Sebaliknya, serabut postganglionik mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies transmiter nonkolinergik nonadrenergik juga ditemukan, keberadaannya pada manusia diragukan

2. Persarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral)
Kandung kencing menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis torakolumbal melalui a hipogastrik. Leher kandung kencing menerima persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis dan pada kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan peran sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh pada kontinens atau miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher kandung kencing pria banyak mengandung mervasi noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi menyebabkan penutupan dari leher kandung kencing untuk mencegah ejakulasi retrograde





3. Persarafan somantik (N.pudendus)
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf, mengandung badan sel dari motor neuron yang menginnervasi baik sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai diameter yang lebih kecil daripada sel kornu anterior lain, tetapi suatu penelitian mengenai sinaps motor neuron ini pada kucing menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan persarafan perineal parasimpatis preganglionik. Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam N.pudendus dimana ketika melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra. Secara elektromiografi, motor unit dari otot lurik sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi mempunyai amplitudo yang sedikit lebih rendah.

4. Persarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis sakral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi Bandung kencing tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi kandung kencing yang normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut Abermyelin kecil. Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini mungkin menyampaikan beberapa sensasi dari distensi kandung kencing dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran urine, nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula spinalis sakral sebagai aferen kandung kencing. Hal ini menggambarkan kemungkinan dari daerah-daerah penting pada medula spinalis sakral untuk intergrasi viserosomatik. Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang telah mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras asending dari kandung kencing dan uretra berjalan di dalam traktus spiotalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis mungkin juga berperan pada transmisi dari informasi aferen.

C. Hubungan dengan susunan saraf pusat
1. Pusat Miksi Pons
Pons merupakan pusat yng mengatur miksi melalui refleks spinal-bulberspinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baikuntuk pengaturan pengisian atau pengosongan kandung kencing. Pusat miksi pons berperansebagai pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di otak

2. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urine. Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya kandung kencing yang hiperrefleksi.


D. Fisiologi pengaturan fungsi sfingter kandung kencing
1. Pengisian urine
Pada pengisian kandung kencing, distensi yang timbul ditandai dengan adanya aktivitas sensor regang pada dinding kandung kencing. Pada kandung kencing normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari kandung kencing. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan medula spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance kandung kencing kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks s2-S4. Selain akomodasi kandung kencing, kontinens selama pengisian memerlukan fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir keluar

2. Pengaliran urine
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari distensi kandung kencing yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunter tidak diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi kandung kencing. Inhibisi tonus simpatis pada leher kandung kencing juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung kemih yang lengkap tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi.

III. PATOLOGI GANGGUAN MIKSI
Gangguan kandung kencing dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung jaras yang terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan kandung kemih:

1. Lesi supra pons
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan berakibat hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglio basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung kemih yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalammemulai proses miksi secara volunter

2. Lesi antara pusat miksi pons dansakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sakral medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara lain adalah:

a. Kandung kencing yang hiperrefleksi
Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal akan menimbulkan suatu keadaan kandung kencing yang hiperrefleksi yang akan menyebabkan kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil dari volume kandung kencing.


b. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi detrusor. Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas. Urine dapat keluar dri kandung kencing hanya bila kontraksi detrusor berlangsung lebih lama dari kontraksi sfingter sehingga aliran urine terputus-putus

c. Kontraksi detrusor yang lemah
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga pengosongan kandung kencing yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila dikombinasikan dengan disinergia akan menimbulkan peningkatan volume residu paska miksi

d. Peningkatan volume residu paska miksi
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan kandung kencing yang hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk terjadinya kontraksi kandung kencing. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit.

3. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam kanalis spinalis maupun ekstradural akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi kandung kencing dan hilangnya sensibilitas kandung kencing. Proses pendahuluan miksi secara volunter hilang dan karena mekanisme untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, kandung kencing menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance kandung kencing juga hilang karena hal ini merupakan suatu proses aktig yang tergantung pada utuhnya persarafan. Sensibilitas dari peregangan kandung kencing terganggu namun sensasi nyeri masih didapatkan disebabkan informasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui n.hipogastrikus ke daerah torakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme penutupan namunjaringan elastik dari leher kandung kencing memungkinkan terjadinya kontinens. Mekanisme untuk mempertahankan kontinens selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang, sehingga stress inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin.

IV. GEJALA GANGGUAN DISFUNGSI MIKSI
Gejala-gejala disfungsi kandung kencing neurogenik terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan med spinalis bagiansakral, DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul.




Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat.Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens danketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow

V. EVALUASI DAN PENATALAKSANAAN
1. Evaluasi
Pendekatan sistematis untuk mengetahui maslah gangguan miksi selama rehabilitasi pasien dengan cedera medula spinalis merupakan hal yang penting karena penatalaksanaan yang baik sejak awal akan mencegah komplikasi urologis dan kerusakan ginjal permanen. Pemeriksaan meliputi penilaian saluran kencing bagian atas, penilaian pengosongan kandung kencing dan deteksi hiperrefleksia detrusor

a. Penilaian saluran kencing bagian atas
Meskipun jarang didapatkan masalah pada saluran kencing bagian atas, gangguan ginjal merupakan hal yang potensial mengancam penderita. Penilaian ditujukan untuk menilai fungsi ginjal dandeteksi hidronefrosis. Pemeriksaan radiologis harus meliputi urografi intravena dan voiding cystourethrogram untuk menilai saluran bagian atas dan menyingkirkan kemungkinan adanya refluks vesikoureteral.

b. Penilaian pengosongan kandung kencing
Penilaian sisa urine dapat dilakukan dengan katerisasi pada saat pertama pemeriksaan meupun dengan menggunakan USG. Residu urine lebih dari 100 ml dikatakanbermakna









c. Deteksi hiperrefleksia detrusor
Pemeriksaan CMG dan EMG dari sfingter uretral eksterna akan membantu menentukan disfungsi neurogenik dan adanya suatu DDS yang signifikan. Kontraksi abnormal dari otot detrusor dapat dideteksi dengan baik dengan menggunakan filling cystometrogram (CMV). Pada orang normal, kandung kencing dapat mengakomodasi pengisian kandung kencing bahkan pada kecepatan pengisian yang tinggi sedangkan pada penderita dengan hiperrefleksia kandung kencing, terjadi peningkatan tekanan yang spontan pada pengisian

d. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis harus meliputi pemeriksaan sensibilitas perianal untuk mengetahui ada tidaknya sacral sparing. Adanya tonus anal, refleks anal dan refleks bulbokavernosus hanya menandakan utuhnya konus danlengkung refleks lokal. Didapatkannya kontraksi volunter sfingter anal menunjukkan uthunya kontrol volunter dan pada kasus kuadriplegia, ini menandakan lesi medula spinalis yang inkomplit. Pada lesi medula spinalis, dalam hari pertama sampai 3 atau 4 minggu berikutnya seluruh refleks dalam pada tingkat di bawah lesi akan hilang. Hal ini biasanya dihubungkan dengan fase syok spinal. Dalam periode ini, kandung kencing bersifat arefleksi dan memerlukan drainase periodik atau kontinu yang cermat dan tes provokatif dengan menggunakan 4 oz air dingin steril suhu 4oC tidak akan menimbulkan aktifitas refleks kandung kencing.
Tes air es dikatakan positif bila pengisian dengan air dingin segera diikuti dengan pengeluaran air kateter dari kandung kencing. Drainase kandung kencing yang adekuat selama fase syok spinal akan dapat mencegah timbulnya distensi yang berlebih dan atoni dari kandung kencing yang arefleksi.

2. Penatalaksanaan
Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi kandung kemih adalah untuk mempertahankan fungsi gunjal dan mengurangi gejala.

a. Penatalaksanaan gangguan pengosongan kandung kemih dapat dilakukan dengan cara
o Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi perianal
o Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, crede’s manoeuvre
o Clean intermittent self-catheterisation
o Indwelling urethral catheter

b. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor
o Bladder retraining (bladder drill)
o Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin

c. Penatalaksanaa operatif
Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan neurologis kongenital atau cedera medula spinalis.



Bladder training
Adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik (UMN atau LMN), dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks-refleks:

1. Refleks otomatik
Refleks melalui saraf parasimpatis S2-3 dansimpatis T12-L1,2, yang bergabung menjadi n.pelvikus. Tes untuk mengetahui refleks ini adalah tes air es (ice water test). Test positif menunjukkan tipe UMN sedangkan bila negatif (arefleksia) berarti tipe LMN.





2. Refleks somatis
Refleks melalui n.pudendalis S2-4. Tesnya berupa tes sfingter ani eksternus dan tes refleks bulbokarvernosus. Jika tes-tes tersebut positif berarti tipe UMN, sedangkan bila negatif berarti LMN atau tipe UMN fase syok spinal

Langkah-langkah Bladder Training:
1. Tentukan dahulu tipe kandung kencing neurogeniknya apakah UMN atau LMN
2. Rangsangan setiap waktu miksi

3. Kateterisasi:
a. Pemasangan indwelling cathether (IDC)=dauer cathether
IDC dapat dipasang dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala (clamping). Dengan pemakaian kateter menetap ini, banyak terjadi infeksi atau sepsis. Karena itu kateterisasi untuk bladder training adalah kateterisasi berkala. Bila dipilh IDC, maka yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena IDC yang kontinu tidal fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kk


b. Kateterisasi berkala
Keuntungan kateterisasi berkala antara lain:
o Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal mungkin
o Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan berfungsi normal
o Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga fedback ke medula spinalis tetap terpelihara
o Teknik yang mudah dan penderita tidak terganggu kegiatan sehariharinya

4. Penatalaksanaan gangguan fungsi miksi pada lesi medula
a. Lesi kauda Ekuina
Penatalaksanaan pada pasien dengan lesi kauda ekuina memerlukan perhatian khusus. Pada umumnya ditemukan kandung kencing yang arefleksi (nonkontraktil) dan miksi dilakukan dengan bantuan manipulasi Crede atau Valsava. Lesi umumnya inkomplit atau tipe campuran dan berpotensi untuk mengalami penyembuhan. Pemeriksaan urodinamik mungkin menunjukkan sfingter uretral eksternal yang utuh danps demikian dengan lesi suprakonus mungkin mengalami kesulitan dalam miksi kecuali bila terdapat tekanan intravesikal yang penuh yang dapat mengakibatkan refluksi vesikoureteral. Pada pasien ini didapatkan kerusakan pada persarafan parasimpatis dengan persarafan simpatis yang utuh atau mengalami reinervasi dimana leher kandung kencing mungkin tidak dapat membuka dengan baik pada waktu miksi.

b. Sindroma Medula Spinalis Sentral
Neurogenic bladder akibat lesi inkomplit seperti lesi medula spinalis sentral dapat Diperbaiki pada lebih dari 50% pasien. Disamping disfungsi neurologis yang berat dalam minggu-minggu pertama, pemulihan fungsi kandung kencing dapat terjadi terutama karena serabut kandung kencing terletak perifer pada medula spinalis. Penatalaksanaan biasanya dgnkateterisasi intermiten danobat-obatan. Keadaan inkontinens dapat ditimbulkan dengan reseksi sfingter transuretral dini. DDS yang menetap, spastisitas yang berat dan hidronefrosis merupakan indikasi untuk tindakan sfingtertomi transuretral setalh mencoba penggunaan penghambat alfa, antikolinergik dan pelemas otot skelet seperti baclofen. Penatalaksanaan neurogenic bladder pada pasien wanita dengan lesi medula spinalis (UMN) adalah sulit, namun penatalaksanaan lesi konus dankauda (LMN) adalah mudah dengan menggunakan manuver Crede/Valsava.




Kateterisasi intermiten dimulai setiap 4 sampai 6 jam dan dengan restriksi cairan sampai 1,5 liter perhari pada umunya memerlukan kateterisasi 3 kali perhari. Pada lesi suprakonus dengan kandung kencing hiperrefleks, untuk mengurangi inkontinens antara kateterisasi, dapat diberikan antikolinergik seperti oxybutinin 1-2 kali 5 mg perhari. Iritabilitas kandung kencing meningkat dengan adanya infeksi sehingga pengobatan infeksi adalah penting. Profilaksis jangka panjang untuk infeksi saluran kencing sangat direkomendasikan. Pasien dilatih untuk mengosongkan kandung kencing dengan menggunakan suprapubic tapping dan manuver Valsava secara periodik. Kegagalan dalam kateterisasi berkala biasanya memerlukan tindakan indwelling cathether jangka panjang. Tindakan bedah saraf seperti blok radis sakral dapat diindikasikan untuk mengubah keadaan reflex (contractile) bladder menjadi keadaan areflexic bladder yang penatalaksanaannya lebih mudah dengan tindakan Crede/Valsava. Implant radix sakral untuk merangsang miksi baru dicoba pada pasien paraplegi dengan contactile bladder.




DAFTAR PUSTAKA
Chancellor MB. Practical neuro-urology, genitourinary complications in neurologic disease. Boston: Butterworth, 1995: 9-21, 99-190, 239-306
Duus P. Topical diagnosis in neurology.3rd ed. New York: George Thieme, 1983:293-305
Fowler CJ. Bladder dysfunction inneurologic disease, In Asbury. Disease of the nervous system, clinical neurobiology. 2nd ed, vol.1, Philadelphia: WB Sounders, 1992:512-526
Fowler CJ. Neurogenic bladder dysfunction and its management, In Greenwood R et al. Neurological rehabilitation. New Tork : Churchil Livingstone, 1993:269-276
Lindsay KW. Neurology and neurosurgery illustrated. 3rd ed. New York: Churcill Livingstone, 1997: 445-446
Marotta JT. Spinal injury, In Rowland LP. Merritt’s texybook of neurology. 9th ed. Philadelphia : Williams & Wilkins, 1995:440-446
Perkash I. Management of neurogenic bladder dysfunction of the bladder and bowel, In Kottke FJ, Krusen’s handbook of physical medicine and rehabilitaion. 4th ed. Philadelphia: WB Sounders, 1990:810-831
Snell RS. Neuroanatomi klinik, Jakarta : EGC, 1996:504-506 Swash M. The conus medullaris and sphincter control, in Critchley E. A Spinal cord disease, basic science, diagnosis and management. London : springer-Verlag, 1997: 403-412"
Next Post Previous Post