Askep Fraktur
Askep Fraktur: "Askep Fraktur
dafid Arifiyanto, 2008
A. Pengertian
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan dari tulang itu sendiri dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap, tidak lengkap. (Arice, 1995 : 1183)
Patah tulang adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan.(Oswari, 2000 : 144)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. (Mansjoer, 2000 : 42)
Mandibula membentuk rahang bawah. Mandibula merupakan satu-satunya tulang pada tengkorak yang dapat bergerak. (Pearce, 2000 : 50)
Mandibula adalah rahang bawah (Laksman, 2000 : 210)
Fraktur Mandibula adalah terputusnya kontinuitas tulang rahang bawah yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
B. Penyebab
Penyebab fraktur / patah tulang menurut (Long, 1996 : 367) adalah :
a. Benturan dan cedera (jatuh pada kecelakaan)
b. Fraktur patologik (kelemahan hilang akibat penyakit kanker, osteophorosis)
c. Patah karena letih
d. Patah karena tulang tidak dapat mengabsorbsi energi karena berjalan terlalu jauh.
C. Pathofisiologi/Pathway
Fraktur / patah tulang terjadi karena benturan tubuh, jatuh / trauma (long, 1996 : 356). Baik itu karena trauma langsung, misalnya : tulang kaki terbentur bumper mobil, karena trauma tidak langsung , misalnya : seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa oleh karena trauma akibat tarikan otot misalnya tulang patella dan dekranon, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi. (Oswari, 2000 : 147).
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. (Mansjoer, 2000 : 346).
Sewaktu tulang patah pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. (Corwin, 2000 : 299).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembekakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan syndrom kompartemen. (Brunner & Suddarth, 2002 : 2287).
Pengobatan dari fraktur tertutup bisa konservatif atau operatif. Theraphy konservatif meliputi proteksi saja dengan mitella atau bidai. Imobilisasi dengan pemasangan gips dan dengan traksi. Sedangkan operatif terdiri dari reposisi terbuka, fiksasi internal dan reposisi tertutup dengan kontrol radio logis diikuti fraksasi internal. (Mansjoer, 2000 : 348).
Pada pemasangan bidai / gips / traksi maka dilakukan imobilisasi pada bagian yang patah, imobilisasi dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan otot dan densitas tulang agak cepat (Price & Willsen, 1995 : 1192).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi dari imobilisasi antara lain : adanya rasa tidak enak, iritasi kulit dan luka yang disebabkan oleh penekanan, hilangnya otot (Long, 1996 : 378).
Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh diimobilisasi, mengakibatkan berkurangnya kemampuan perawatan diri (Carpenito, 1999 : 346).
Pada reduksi terbuka dan fiksasi interna (OKIF) fragme-fragmen tulang dipertahankan dengan pen, sekrup, pelat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadi infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price & Willson, 1995 : 1192).
Pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot dan sendi dapat mengakibatkan nyeri yang hebat (Brunner & Suddarth, 2002 : 2304).
D.
Trauma Langsung
Tak terdapat hub. dg
dunia luar
Tertutup
Pendarahan lokal dan
Kerusakan jar. lunak
Reaksi peradangan hebat
Sel drh putih dan sel mart berakumulasi
Peningkatan tekanan aliran drh ke tempat tsb
Fagositesis & pembersihan sisa sel mati
Terbentuk bekuan
Fibrin
Jala melekat sel-sel
Baru
Osteoblast segera terangsang
Sel tulang baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati
Trauma tidak langsung
Fraktur
Trauma akibat tarikan otot
Nyeri
Kerusakan
Interitas jaringan
Terbuka
Kr perlukaan di kulit dan jaringan sekitar
Terdapat hubungan
dg dunia luar
Edema
Peningk. tekanan jaringan, oklisi drh total anoksia serabut saraf & otot rusak
Resti Infexi
Terapi operatif
Pembedahan
Pen, sekrup, paku
Resiko infeksi
Terapi
konservatif
Terapi Bidai
gips
Imobilisasi
Kekuatan otot berkuang
Kerusakan mobilitas fisik
Sindrom
Kompartemen Pathway dan Masalah Keperawatan
D. Klasifikasi
1. Klasifikasi patah tulang menurut bentuk patah tulang
a. Fraktura complet, pemisahan komplit dari tulang menjadi dua fragmen
b. Fraktura incomplet, patah sebagian dari tulang tanpa pemisahan
c. Simple atau closed fraktura, tulang patah, kulit utuh
d. Fraktur complikata, tulang yang patah menusuk kulit, tulang terlihat
e. Fraktur tanpa perubahan posisi, tulang patah, posisi pada tempatnya yang normal.
f. Fraktur dengan perubahan posisi, ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat patah.
g. Communited fraktura, tulang patah menjadi beberapa fragmen.
h. Impacted (telescoped) fraktura, salah satu ujung tulang yang patah menancap pada yang lainnya.
2. Klasifikasi Menurut Garis Patah Tulang
a. Greenstick, retak pada sebelah sisi dari tulang (sering terjadi pada anak dengan tulang yang lembek)
b. Transverse, patah menyilang
c. Obligue, garis patah miring
d. Spiral, patah tulang melingkari tulang
( Long, 1996 ; 358 )
D. Manifestasi Klinik dan Pemeriksaan Penunjang
Manifestasi Klinis Fraktur adalah nyeri, hilangnya sungsi deformitas, pemendekan ekstremitas krepitus, pembekakan lokal dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai frogmen tulang diimobilisasi spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap menjadi seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada faktur lengan atau tungkai menyebabkan defromitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm.
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya fragmen satu dengan lainnya (uji krepitus dapat kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5. Pembekakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. ( Brunner dan Suddarth, 2001 : 2358 )
Pemeriksaan penunjang dan diagnostik yang sering dilaksanakan pada keadaan patah tulang adalah :
1. Pemerikasaan rontgen, menentukan luasnya fraktur, trauma
2. Scan tulang, tomogram, memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi jaringan lunak
3. Arteriogram, dilakukan bila dicurigai ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap
5. Ht mungkin meningkat (Hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur / organ jauh pada trauma multiple).
Kreatmin, trauma otot meningkat beban creatrain untuk klirens ginjal.
( Doenges, 2000 : 762 )
E. Penatalaksanaan
Terapi Konservatif
- Proteksi saja
Misal mitella untuk fraktur collum chirorgicom homeri dengan kedudukan baik.
- Imobilisasi saja tanpa reposisi
Misal pemasangan gips pada fraktur incomplete dan fraktur dengan kedudukan baik.
- Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips
Misal pada fraktur supracondillus, fraktur collest, fraktur smith, reposisi dapat dalam anestesi umum / lokal.
- Traksi untuk reposisi secara perlahan
Pada anak-anak dipakai traksi kulit. Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dengan beban kurang dari 5 kg.
Terapi Operatif
- Reposisi terbuka, fiksasi interna
Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi eksterna terapi operatif dengan reposisi anatomis diikuti dengan fiksasi interna (open reduction and internal fixation), artoplasti eksisional, eksisi fragmen dan pemasangan endoprostesus. ( Mansjoer, 2000 : 348 )
F. Komplikasi
1. Deformitas ekstremitas
2. Perbedaan panjang ekstremitas
3. Keganjilan pada sendi
4. Keterbatasan gerak
5. Cedera saraf yang menyebabkan mati rasa
6. Perburukan sirkulasi
7. Ganggren
8. Kontraksi iskemik volkmann
9. Sindrom kompartemen
G. Fokus Pengkajian
Menurut Doenges, 2000 :761, Gejala-gejala fraktur tergantung pada sisi, beratnya, dan jumlah kerusakan pada struktur lain.
- Aktivitas / istirahat
Tanda : Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan, nyeri)
- Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang sebagai respons terhadap nyeri / ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah), takikardi (respon stress, hipovelemia) penurunan / tak ada nadi pada bagian distal yang cedera : pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian distal yang terkena pembekakan jaringan atau hematoma pada sisi cedera.
- Neurosensori
Gejala : Hilang gerakan / sensasi, spasme otot, eksemutan
Tanda : Deformitas lokal : angutasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri / ansietes atau trauma lain).
- Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terkolalisasi pada area jaringan) kerusakan tulang : dapat berkurang pada imobilisasi) ; tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
- Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, ovulasi jaringam pendarahan, perubahan warna pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
- Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Lingkungan cedera.
H. Fokus Intervensi
1. Nyeri ikut berhubungan dengan fraktur (Brunner & Suddarth, 2002 ; 2363)
Intervensi :
a. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring gips, pembebat, traksi.
b. Ringgikan dan dukung ekstremitas yang terkena
c. Hindari menggunakan sprei / bantal plastik di bawah ekstremitas dalm gips.
d. Evaluasi keluhan nyeri, perhatikan lokasi karakteristik, intensitas (0-10)
e. Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah sampai dengan cedera.
f. Dorong menggunakan teknik managemen stress / nyeri
g. Berikan alternatif tindakan kenyamanan : pijatan, alih baring
h. Kolaborasi
- Beri obat sesuai indikasi
- Lakukan kompres dingin / es 24 – 28 jam pertama sesuai keperluan
Rasional
a. Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang / tegangan jaringan yang cedera
b. Meningkatkan aliran balik vena menurunkan edema, menurunkan nyeri
c. Dapat meningkatkan ketidaknyamanan karena peningkatan produksi panas dalam gips yang kering
d. Meningkatkan keefektifan intevensi, tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi/ reaksi terhadap nyeri.
e. Membantu menghilangkan astetas
f. Meningkatkan kemampuan keping dalam manajemen nyeri
g. Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot
h. Diberikan untuk menurunkan nyeri / spasme otot
Menurun edema, pembentukan hematoom dan mengurangi sensi nyeri.
2. Kerusakana mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot
Intervensi :
a. Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera
b. Instruksikan ps untuk / bantu dalam rentang gerak pasien / aktif pada ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.
c. Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang tersakit
d. Tempatkan dalam posisi terlentang secara periodik
e. Bantu / dorong perawatan diri / kebersihan (mandi keramas)
f. Dorong peningkatan masukan sampai 2000 – 3000 mliter / hr termasuk air asam, jus.
Rasional :
a. Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri / persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual
b. Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tunas otot, mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur / afroji
c. Kontraksi otot isometrik tanpa menekuk sendi / menggerakkan tungkai dan membantu mempertahankan kekuatan dengan masa otot
d. Menurunkan resiko kontraktur heksi pangul
e. Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, perawatan diri langsung
f. Mempertahankan hidrasi tubuh menurunkan resiko infexi urinarius, pembentukan batu dan konstipasi.
3. Kerusakan Integritas Jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka
Intervensi :
a. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, pendarahan, perubahan warna
b. Massase kulit dan penonjolan tulang pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan
c. Ubah posisi dengan sering
d. Traksi tulang dan perawatan kulit.
Rasional :
a. Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan mungkin masalah yang mungkin disebabkan oleh alat / pemasangan gips, edema
b. Menurukan tekanan pada area yang peka dan resiko kerusakan kulit
c. Mengurangi tekanan konstan pada area yang sama dan meminimal
d. Mencegah cedera pada bagian tubuh lain.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
Intervensi :
a. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi / robekan kontinuitas
b. Kaji sisi pen / kulit perhatikan keluhan peningkatan nyeri
c. Berikan perawatan pen / kawat steril
d. Observasi luka untuk pembentukan buta, krepitasi, bau drainase yang tidak enak
e. Kaji tonus otot, reflek tendon dalam dan kemampuan berbicara
f. Selidiki nyeri tiba-tiba / keterbatasan gerakan dengan edema lokal
g. Berikan obat sesuai indikasi
Rasional
a. Pen / kawat tidak harus dimasukkan melalui kulit yang terinfeksi kemerahan abrasi
b. Dapat mengindentifikasi timbulnya infeksi lokal
c. Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi
d. Menghindari infeksi
e. Kekuatan otot, spasme tonik rahang, mengindikasi tetanus
f. Dapat mengindikasikan adanya osteomrelitis.
( Doenges, 2000 )
dafid Arifiyanto, 2008
A. Pengertian
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan dari tulang itu sendiri dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap, tidak lengkap. (Arice, 1995 : 1183)
Patah tulang adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan.(Oswari, 2000 : 144)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. (Mansjoer, 2000 : 42)
Mandibula membentuk rahang bawah. Mandibula merupakan satu-satunya tulang pada tengkorak yang dapat bergerak. (Pearce, 2000 : 50)
Mandibula adalah rahang bawah (Laksman, 2000 : 210)
Fraktur Mandibula adalah terputusnya kontinuitas tulang rahang bawah yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
B. Penyebab
Penyebab fraktur / patah tulang menurut (Long, 1996 : 367) adalah :
a. Benturan dan cedera (jatuh pada kecelakaan)
b. Fraktur patologik (kelemahan hilang akibat penyakit kanker, osteophorosis)
c. Patah karena letih
d. Patah karena tulang tidak dapat mengabsorbsi energi karena berjalan terlalu jauh.
C. Pathofisiologi/Pathway
Fraktur / patah tulang terjadi karena benturan tubuh, jatuh / trauma (long, 1996 : 356). Baik itu karena trauma langsung, misalnya : tulang kaki terbentur bumper mobil, karena trauma tidak langsung , misalnya : seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa oleh karena trauma akibat tarikan otot misalnya tulang patella dan dekranon, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi. (Oswari, 2000 : 147).
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. (Mansjoer, 2000 : 346).
Sewaktu tulang patah pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. (Corwin, 2000 : 299).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembekakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan syndrom kompartemen. (Brunner & Suddarth, 2002 : 2287).
Pengobatan dari fraktur tertutup bisa konservatif atau operatif. Theraphy konservatif meliputi proteksi saja dengan mitella atau bidai. Imobilisasi dengan pemasangan gips dan dengan traksi. Sedangkan operatif terdiri dari reposisi terbuka, fiksasi internal dan reposisi tertutup dengan kontrol radio logis diikuti fraksasi internal. (Mansjoer, 2000 : 348).
Pada pemasangan bidai / gips / traksi maka dilakukan imobilisasi pada bagian yang patah, imobilisasi dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan otot dan densitas tulang agak cepat (Price & Willsen, 1995 : 1192).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi dari imobilisasi antara lain : adanya rasa tidak enak, iritasi kulit dan luka yang disebabkan oleh penekanan, hilangnya otot (Long, 1996 : 378).
Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh diimobilisasi, mengakibatkan berkurangnya kemampuan perawatan diri (Carpenito, 1999 : 346).
Pada reduksi terbuka dan fiksasi interna (OKIF) fragme-fragmen tulang dipertahankan dengan pen, sekrup, pelat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadi infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price & Willson, 1995 : 1192).
Pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot dan sendi dapat mengakibatkan nyeri yang hebat (Brunner & Suddarth, 2002 : 2304).
D.
Trauma Langsung
Tak terdapat hub. dg
dunia luar
Tertutup
Pendarahan lokal dan
Kerusakan jar. lunak
Reaksi peradangan hebat
Sel drh putih dan sel mart berakumulasi
Peningkatan tekanan aliran drh ke tempat tsb
Fagositesis & pembersihan sisa sel mati
Terbentuk bekuan
Fibrin
Jala melekat sel-sel
Baru
Osteoblast segera terangsang
Sel tulang baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati
Trauma tidak langsung
Fraktur
Trauma akibat tarikan otot
Nyeri
Kerusakan
Interitas jaringan
Terbuka
Kr perlukaan di kulit dan jaringan sekitar
Terdapat hubungan
dg dunia luar
Edema
Peningk. tekanan jaringan, oklisi drh total anoksia serabut saraf & otot rusak
Resti Infexi
Terapi operatif
Pembedahan
Pen, sekrup, paku
Resiko infeksi
Terapi
konservatif
Terapi Bidai
gips
Imobilisasi
Kekuatan otot berkuang
Kerusakan mobilitas fisik
Sindrom
Kompartemen Pathway dan Masalah Keperawatan
D. Klasifikasi
1. Klasifikasi patah tulang menurut bentuk patah tulang
a. Fraktura complet, pemisahan komplit dari tulang menjadi dua fragmen
b. Fraktura incomplet, patah sebagian dari tulang tanpa pemisahan
c. Simple atau closed fraktura, tulang patah, kulit utuh
d. Fraktur complikata, tulang yang patah menusuk kulit, tulang terlihat
e. Fraktur tanpa perubahan posisi, tulang patah, posisi pada tempatnya yang normal.
f. Fraktur dengan perubahan posisi, ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat patah.
g. Communited fraktura, tulang patah menjadi beberapa fragmen.
h. Impacted (telescoped) fraktura, salah satu ujung tulang yang patah menancap pada yang lainnya.
2. Klasifikasi Menurut Garis Patah Tulang
a. Greenstick, retak pada sebelah sisi dari tulang (sering terjadi pada anak dengan tulang yang lembek)
b. Transverse, patah menyilang
c. Obligue, garis patah miring
d. Spiral, patah tulang melingkari tulang
( Long, 1996 ; 358 )
D. Manifestasi Klinik dan Pemeriksaan Penunjang
Manifestasi Klinis Fraktur adalah nyeri, hilangnya sungsi deformitas, pemendekan ekstremitas krepitus, pembekakan lokal dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai frogmen tulang diimobilisasi spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap menjadi seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada faktur lengan atau tungkai menyebabkan defromitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm.
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya fragmen satu dengan lainnya (uji krepitus dapat kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5. Pembekakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. ( Brunner dan Suddarth, 2001 : 2358 )
Pemeriksaan penunjang dan diagnostik yang sering dilaksanakan pada keadaan patah tulang adalah :
1. Pemerikasaan rontgen, menentukan luasnya fraktur, trauma
2. Scan tulang, tomogram, memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi jaringan lunak
3. Arteriogram, dilakukan bila dicurigai ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap
5. Ht mungkin meningkat (Hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur / organ jauh pada trauma multiple).
Kreatmin, trauma otot meningkat beban creatrain untuk klirens ginjal.
( Doenges, 2000 : 762 )
E. Penatalaksanaan
Terapi Konservatif
- Proteksi saja
Misal mitella untuk fraktur collum chirorgicom homeri dengan kedudukan baik.
- Imobilisasi saja tanpa reposisi
Misal pemasangan gips pada fraktur incomplete dan fraktur dengan kedudukan baik.
- Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips
Misal pada fraktur supracondillus, fraktur collest, fraktur smith, reposisi dapat dalam anestesi umum / lokal.
- Traksi untuk reposisi secara perlahan
Pada anak-anak dipakai traksi kulit. Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dengan beban kurang dari 5 kg.
Terapi Operatif
- Reposisi terbuka, fiksasi interna
Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi eksterna terapi operatif dengan reposisi anatomis diikuti dengan fiksasi interna (open reduction and internal fixation), artoplasti eksisional, eksisi fragmen dan pemasangan endoprostesus. ( Mansjoer, 2000 : 348 )
F. Komplikasi
1. Deformitas ekstremitas
2. Perbedaan panjang ekstremitas
3. Keganjilan pada sendi
4. Keterbatasan gerak
5. Cedera saraf yang menyebabkan mati rasa
6. Perburukan sirkulasi
7. Ganggren
8. Kontraksi iskemik volkmann
9. Sindrom kompartemen
G. Fokus Pengkajian
Menurut Doenges, 2000 :761, Gejala-gejala fraktur tergantung pada sisi, beratnya, dan jumlah kerusakan pada struktur lain.
- Aktivitas / istirahat
Tanda : Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan, nyeri)
- Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang sebagai respons terhadap nyeri / ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah), takikardi (respon stress, hipovelemia) penurunan / tak ada nadi pada bagian distal yang cedera : pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian distal yang terkena pembekakan jaringan atau hematoma pada sisi cedera.
- Neurosensori
Gejala : Hilang gerakan / sensasi, spasme otot, eksemutan
Tanda : Deformitas lokal : angutasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri / ansietes atau trauma lain).
- Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terkolalisasi pada area jaringan) kerusakan tulang : dapat berkurang pada imobilisasi) ; tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
- Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, ovulasi jaringam pendarahan, perubahan warna pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
- Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Lingkungan cedera.
H. Fokus Intervensi
1. Nyeri ikut berhubungan dengan fraktur (Brunner & Suddarth, 2002 ; 2363)
Intervensi :
a. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring gips, pembebat, traksi.
b. Ringgikan dan dukung ekstremitas yang terkena
c. Hindari menggunakan sprei / bantal plastik di bawah ekstremitas dalm gips.
d. Evaluasi keluhan nyeri, perhatikan lokasi karakteristik, intensitas (0-10)
e. Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah sampai dengan cedera.
f. Dorong menggunakan teknik managemen stress / nyeri
g. Berikan alternatif tindakan kenyamanan : pijatan, alih baring
h. Kolaborasi
- Beri obat sesuai indikasi
- Lakukan kompres dingin / es 24 – 28 jam pertama sesuai keperluan
Rasional
a. Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang / tegangan jaringan yang cedera
b. Meningkatkan aliran balik vena menurunkan edema, menurunkan nyeri
c. Dapat meningkatkan ketidaknyamanan karena peningkatan produksi panas dalam gips yang kering
d. Meningkatkan keefektifan intevensi, tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi/ reaksi terhadap nyeri.
e. Membantu menghilangkan astetas
f. Meningkatkan kemampuan keping dalam manajemen nyeri
g. Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot
h. Diberikan untuk menurunkan nyeri / spasme otot
Menurun edema, pembentukan hematoom dan mengurangi sensi nyeri.
2. Kerusakana mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot
Intervensi :
a. Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera
b. Instruksikan ps untuk / bantu dalam rentang gerak pasien / aktif pada ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.
c. Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang tersakit
d. Tempatkan dalam posisi terlentang secara periodik
e. Bantu / dorong perawatan diri / kebersihan (mandi keramas)
f. Dorong peningkatan masukan sampai 2000 – 3000 mliter / hr termasuk air asam, jus.
Rasional :
a. Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri / persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual
b. Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tunas otot, mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur / afroji
c. Kontraksi otot isometrik tanpa menekuk sendi / menggerakkan tungkai dan membantu mempertahankan kekuatan dengan masa otot
d. Menurunkan resiko kontraktur heksi pangul
e. Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, perawatan diri langsung
f. Mempertahankan hidrasi tubuh menurunkan resiko infexi urinarius, pembentukan batu dan konstipasi.
3. Kerusakan Integritas Jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka
Intervensi :
a. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, pendarahan, perubahan warna
b. Massase kulit dan penonjolan tulang pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan
c. Ubah posisi dengan sering
d. Traksi tulang dan perawatan kulit.
Rasional :
a. Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan mungkin masalah yang mungkin disebabkan oleh alat / pemasangan gips, edema
b. Menurukan tekanan pada area yang peka dan resiko kerusakan kulit
c. Mengurangi tekanan konstan pada area yang sama dan meminimal
d. Mencegah cedera pada bagian tubuh lain.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
Intervensi :
a. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi / robekan kontinuitas
b. Kaji sisi pen / kulit perhatikan keluhan peningkatan nyeri
c. Berikan perawatan pen / kawat steril
d. Observasi luka untuk pembentukan buta, krepitasi, bau drainase yang tidak enak
e. Kaji tonus otot, reflek tendon dalam dan kemampuan berbicara
f. Selidiki nyeri tiba-tiba / keterbatasan gerakan dengan edema lokal
g. Berikan obat sesuai indikasi
Rasional
a. Pen / kawat tidak harus dimasukkan melalui kulit yang terinfeksi kemerahan abrasi
b. Dapat mengindentifikasi timbulnya infeksi lokal
c. Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi
d. Menghindari infeksi
e. Kekuatan otot, spasme tonik rahang, mengindikasi tetanus
f. Dapat mengindikasikan adanya osteomrelitis.
( Doenges, 2000 )
Perawat bahagia
"