KOMPAS.com - Apa yang pertama kali terlintas di benak Anda saat mendengar istilah "mentalitas entrepreneur"? Banyak orang langsung mengartikannya sebagai mentalitas pedagang yang berorientasi meraup sebanyak-banyaknya untung, dan tujuannya "UUD" alias "ujung-ujungnya duit".
Dengan pengertian ini, banyak orang yang secara halus ataupun terang-terangan menolak untuk mengembangkan mentalitas entrepreneur. Ada yang merasa tidak berbakat, ada pula yang menilai mentalitas ini tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ia pegang karena ia lebih mengunggulkan nilai-nilai lain ketimbang berfokus pada upaya untuk mencari uang saja. Sebagian orang beranggapan bahwa entrepreneur atau wirausaha adalah sebuah profesi atau alternatif profesi, ketika misalnya ia sudah pensiun. Dengan pandangan yang sempit mengenai kewirausahaan, tak heran bila kita melihat banyak orang yang banting setir menjadi wirausahawan malahan tidak berhasil.
Istri teman saya, yang suaminya bekerja sebagai pegawai negeri, mempunyai sebuah kebiasaan positif. Setiap menempati pos baru, ia mengajak suaminya bersilaturahmi ke tetangga baru dan para pejabat di kota itu. Setelah berkeliling selama satu minggu, sang istri biasanya sudah akan mengantongi beberapa murid yang berminat belajar bahasa Inggris dan belajar merangkai bunga di rumahnya. Sang istri yang berprofesi sebagai guru les ini, selain happy, nyatanya juga berpenghasilan lebih dari gaji suami sehingga keluarga hidup nyaman dan tidak berkekurangan.
Kita lihat bahwa nafas berwirausaha tidak sebatas ada pada para pedagang atau pengusaha. Seorang ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai guru les saja bisa mempunyai semangat berwirausaha dan tidak pernah kehilangan kesempatan. Mentalitas wirausaha ini sebetulnya ditandai dari adanya semangat berprestasi dan kejelian menangkap serta menciptakan peluang untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Apakah semangat entrepreneur yang demikian ampuh ini tidak perlu dikembangkan dalam diri para karyawan dan pekerja kantoran?
Dalam keadaan ekonomi di mana kemapanan sudah tidak ada lagi, kita memang selalu akan dituntut untuk melakukan perbaikan. Perbaikan selalu bermuara pada kebutuhan pasar dan juga inovasi produk yang menjawab kebutuhan tersebut. Seorang pemilik perusahaan atau CEO memang dituntut untuk berpikir kreatif, melihat jalan keluar, dan menemukan produk-produk baru. Namun, bila perusahaan dipenuhi karyawan yang menjauhi mentalitas entrepreneur, siapa yang akan mengusung misinya dan mengimplementasikan ide-ide si pucuk pimpinan? Apakah perusahaan bisa survive bila dalam kultur perusahaan tertanam faham bahwa yang perlu berpikir secara wirausaha, hanya individu bagian tertentu saja, atau bahkan cukup si empunya perusahaan dan CEO-nya? Bukankah para karyawan lah yang akan menggerakkan roda perubahan bisnis yang disuarakan oleh para pucuk pimpinan?
Ukuran sukses Dalam organisasi besar, di mana manajemen kinerja sudah dikembangkan dengan mantap, ukuran sukses kerap dihubungkan dengan pencapaian KPI (key performance indicator). Kita tahu bahwa memastikan pencapaian KPI adalah hal yang sangat penting dan positif, namun kita tentu sadar bahwa perusahaan kita ada di ambang masalah bila banyak karyawan berpuas diri dengan mengatakan: "Pokoknya, KPI kami sudah tercapai." Kita pasti segera menyadari bahwa mekanisme fleksibilitas, menyusun prioritas, mendahulukan kepentingan pelanggan, mengendus perubahan pasar, dan mengetatkan barisan karena serangan kompetitor tidak bisa dijamin oleh pengukuran-pengukuran ini.
Mengembangkan mentalitas entrepreneur berarti mengajak setiap individu untuk melihat dirinya sebagai profesional sukses, di mana kesuksesan tersebut sambung-menyambung dan terus hidup untuk menyambut tantangan baru. Pengusaha kripik home-industry di kota Bandung, yang bisa meraup keuntungan puluhan juta rupiah per hari, mengungkapkan bahwa mereka mengembangkan pemasaran dari para rekan-rekan dan karyawan yang mereka sebut sebagai "jendral". Para "jendral" dengan mentalitas entrepreneur yang terus berpikir kreatif inilah yang menghidupkan bisnis dan terus memperluas jaringan. Hal ini bisa dilakukan dengan membangkitkan rasa percaya diri dan memberi tanggung jawab kepada individu sehingga setiap orang bisa merasakan seolah dirinya adalah mesin produksi yang selalu memutar roda giginya dan berkata pada dirinya sendiri: "Saya bisa! Saya bisa!"
Menciptakan sukses Pengertian sukses sebagai profesional sekarang perlu mengacu pada konsep diri yang lebih dalam. Kita tidak bisa lagi mengembangkan konsep diri sebagai "ambtenar" yang menunggu instruksi dari "pusat" atau "atas". Setiap individu, apapun dan di manapun posisinya, harus sudah menjadi pemain dalam bisnis yang dijalankan perusahaan. Ini berarti kita sendiri yang mesti punya visi mengenai seperti apa kita nantinya di masa datang.
Dengan sasaran pribadi yang jelas, kita otomatis akan lebih siap untuk menguatkan intensitas kerja dan lebih tahan terhadap kesulitan yang menghadang. Paradigma bahwa perusahaan yang bertanggung jawab untuk menyediakan sukses karier, kenaikan pangkat, penambahan fasilitas, sudah usang. Sukses karier hanya bisa dijamin oleh diri sendiri. Semua orang tahu bahwa kesempatan itu sebenarnya ada, bahkan gratis, tetapi harus ditemukan. Inilah salah satu inti dari mentalitas entrepreneur.
Kita juga perlu sadar bahwa kesempatan hanya bisa diraih oleh individu yang sudah punya ancang-ancang. Daud tidak mungkin bisa mengalahkan Goliat, bila ia tidak beribu kali berlatih bermain katapel. Itu sebabnya kerja keras, berlari kencang, bekerja dengan passion sudah harus standby ketika kesempatan datang. Tidak ada yang mengatakan bahwa mengembangkan mentalitas entrepreneur ini hal yang mudah. Namun, sikap mental yang sekadar menunggu sudah jelas tidak mendapatkan tempat lagi di kancah persaingan profesi sekarang ini.
Eileen Rachman & Sylvina Savitri/EXPERD CONSULTANT
Sent from Indosat BlackBerry powered by
Sumber: Kompas Cetak