TEMPO Interaktif, Siapa tak kenal Hamburg? Kota di pojok utara Jerman ini tak pernah sepi pengunjung. Ada saja urusan yang membuat orang mampir ke sini: ekonomi, bisnis, budaya, perdagangan, dan pariwisata. Begitu banyaknya turis sampai-sampai melebihi jumlah penduduk Hamburg yang cuma sekitar 1,8 juta orang. Menurut biro turisme, pada 2007 saja ada 4 juta turis, dengan lama menginap lebih dari 7,5 juta malam.
Sebagai kota bersejarah, Hamburg, seperti umumnya kota-kota di Jerman, yang juga luluh-lantak digencar bom pada akhir Perang Dunia II, memang menawarkan banyak atraksi menarik. Di sini ada lebih dari 60 macam museum, 40 jenis pertunjukan teater, dan lebih dari 100 jenis pertunjukan musik, seperti "Dirty Dancing" dan "Lion's King".
Hamburg adalah kota pelabuhan ekspor-impor nomor 3 terbesar dan terpenting di Eropa. Juga termasuk satu dari 20 pelabuhan terbesar di seluruh dunia. Pelabuhan Hamburg terhubung dengan 900 pelabuhan di seluruh dunia. Secara berkala, kapal Trans-Atlantik Queen Mary 2 bersandar di sini.
Sektor pariwisata memang berjasa membuat devisa pemerintah daerah membengkak sehingga pendapatan per kapita orang di sini tertinggi di Jerman, yakni US$ 50 ribu (hampir Rp 500 juta) per tahun. Angka pengangguran rendah dan penghasilan rata-rata usia produktif juga tinggi. Tak mengherankan jika banyak imigran bermukim di sini. Mereka berdatangan dari lebih dari 100 negara, di antaranya Turki, Afganistan, Polandia, Pakistan, Afrika, termasuk Indonesia.
Orang Indonesia di Hamburg menyandang berbagai macam profesi, mulai pekerja di salon, insinyur di perusahaan pesawat airbus, sampai dokter. Di sini juga ada Konsulat Jenderal RI dan Lembaga Persahabatan Jerman-Indonesia (DIG). "Indonesia dikenal baik di kota ini," kata Yanti Darmayanti, dosen studi Indonesia di Universitas Hamburg, suatu ketika.
"Mami jadi enggak, sih, ke Miniatur Wunderland?," kata anak saya yang tiba-tiba muncul di depan saya, siap berangkat. Saya tersentak dari lamunan. Hujan turun rintik-rintik dan mendung sepanjang Agustus. Agak aneh karena biasanya pada musim panas seperti sekarang langit terang-benderang.
Saya ragu mau melakukan perjalanan saat cuaca seperti ini. "Ah Mami, badan kita kan enggak terbuat dari gula, yang meleleh jika kena air. Lihat, Mami sudah punya semuanya: jaket, payung, sepatu bot. Apa lagi?" Saya kehabisan alasan, jadi saya menyambar tas dan keluar dari hotel.
Hamburg berasal dari kata "hamma" dan "burg" (istana). Istana Hamma adalah bangunan permanen pertama yang dibangun di atas batu karang di antara Sungai Elbe (sungai terbesar yang membelah Jerman) dan Sungai Alster. Pembangunan itu atas perintah Kaisar Chalermagne pada tahun 808, untuk menahan serangan musuh. Itu yang saya baca di Internet tadi.
Setengah jam kemudian, bus tiba di tempat tujuan. Saya mengucapkan terima kasih kepada wanita asal Brasil yang saya temui di halte bus, yang telah berbaik hati mau mengantar saya sampai ke tujuan. Walau tak tahu arah, saya yakin orang tak bakal kesasar di Hamburg. Orang sini umumnya ramah dan suka menolong. Mungkin karena di sini banyak pendatang, sehingga mereka terbiasa membantu kesulitan orang asing.
Miniatur Wunderland adalah wujud impian si kembar Frederik dan Geritt Braun menciptakan suasana alam kota di berbagai negara dalam ukuran mini (1:87). Ada miniatur Austria, Skandinavia, Las Vegas, Miami, Pegunungan Alpen, dan sebagainya. Semua dibikin persis seperti suasana aslinya.
Miniatur terbesar di dunia itu berdiri di lahan seluas lebih dari 6.000 meter persegi. Dilengkapi sekitar 300 ribu lampu yang secara berkala byar-pet untuk memberi efek siang-malam, dan lebih dari 200 ribu pohon mini.
Sayangnya, tiket seharga 12 euro ini tidak bisa langsung digunakan. Hari itu terlalu banyak pengunjung. Ruangan tidak cukup menampung sebegitu banyak orang. Jadi, baru pukul 14.00 kami dapat giliran masuk. Saya melirik jam tangan, masih pukul 10.00. "Jadi, ke mana dulu kita?" kata anak saya. "Jalan-jalan saja di luar," jawab saya sambil melangkahkan kaki keluar gedung bekas gudang pelabuhan berdinding merah bata ini.
Hujan sudah berhenti. Sebagian turis antre karcis pertunjukan horor di sebelah gedung pameran Miniatur Wunderland ini. Kami berjalan melintasi jembatan yang dulunya dilalui kapal-kapal pengangkut barang.
"Mami, ke sini saja, yuk," kata anak saya tiba-tiba, seraya menunjuk baliho bertulisan "Spicy's Museum" bergambar cabai merah, yang tergantung di pagar jembatan. Saya terbelalak. "Museum Bumbu? Apa yang istimewa dari bumbu sampai dimuseumkan?" pikir saya. Tapi, sebagai penggemar bumbu, saya dibikin penasaran. "Yuk," kata saya sambil menarik tangan anak saya. Kami naik ke tangga di depan pintu yang basah bekas hujan ke lantai dua.
Tiket masuk ke museum ini seharga 3,50 euro buat orang dewasa dan 1,50 euro untuk anak-anak. Petugas memberikan tiket dan sebungkus kemasan merica hitam dari Indonesia. Saya melihat sekeliling. Ini museum terkecil yang pernah saya kunjungi. Cuma satu lantai, sekitar 300 meter persegi saja.
Bau rempah-rempah segera merasuki hidung saya. Dinding dan tempat peragaan bumbu-bumbu terbuat dari kayu. Ini penting untuk menahan kelembapan, sehingga bumbu yang dipajang tidak rusak. Sepintas kesan ruang peraga ini seperti dapur raksasa. Kesan itu semakin terasa jika kepala mendongak ke langit-langit. Di situ bergelantungan topi-topi koki masak berwarna putih.
Apalah artinya rasa masakan tanpa rempah-rempah. Dan rempah-rempah pula yang menjadi identitas untuk mengenal asal-muasal masakan. Dalam soal ini, pelabuhan Hamburg berjasa melancarkan perdagangan rempah-rempah, karena di sinilah kapal-kapal dari dan ke seluruh dunia mangkal. Di Museum Bumbu, pengunjung boleh menyentuh, membaui, bahkan mencicipi semua bumbu yang dipamerkan.
Di sebelah loket terdapat deretan bumbu-bumbu racikan yang sudah dijual di pasar, seperti bubuk kare India serta bumbu siap masak berisi racikan wortel dan jahe kreasi ahli masak asal Bayern, Alfons Schuhbeck. Ada juga bumbu pedas kreasi museum berupa campuran remasan cabai kering dan merica yang dikemas dalam tabung cantik seharga 4 euro.
Tiba-tiba seorang wanita berambut pirang di sebelah saya mendesah-desah kepedasan. Pipi dan hidungnya memerah serta matanya basah oleh air mata. "Saya tidak menyangka sepedas ini, padahal saya cuma mencicipinya seujung jari," katanya kepada saya, sambil menunjuk cabai bubuk dari Kolombia. Rasa pedas memang bukan "sahabat" lidah Eropa.
Agak menjorok ke tengah ruangan, terdapat meja panjang bersusun. Di sini ditata deretan 50-an macam rempah-rempah dari mancanegara, seperti daun ketumbar bubuk dari Mesir, anis dari Turki, peterseli dari Jerman, biji mustard dari Kanada, pala dari Granada, dan bunga kayu manis dari Indonesia. Di dekatnya terpajang tangga kayu tradisional Indonesia yang zaman dulu digunakan masyarakat Sumatera Selatan untuk memetik buah lada.
Di gambar memang diterangkan bagaimana buah-buah lada itu dipetik, dikeringkan, hingga siap diperdagangkan. Seperti kita tahu, perusahaan penjajah Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), merampas rempah-rempah Indonesia ini dan memonopoli perdagangannya ke seluruh dunia.
Selain merica hitam dan putih, dipamerkan rempah-rempah Indonesia lainnya, seperti pala, cengkeh, dan kayu manis asli yang masih terbungkus dalam karung-karung pengangkut zaman dulu. Racikan bumbu Indonesia memang akhirnya dikenal dan dicintai di dunia. Di lemari kaca dipajang cobek dan perangkat masak lain untuk meracik bumbu.
Pada 1903, Friedrich Heed mengoperasikan mesin penggiling rempah-rempah pertama di Jerman. Mesin yang kini dipajang di museum itu dulunya amat populer. Sampai 1998, perusahaan penggiligan di Eibeck, Hamburg, ini masih beroperasi. Lalu, mereka bangkrut tergilas pabrik-pabrik penggilingan bumbu yang muncul lebih modern dan canggih.
Di lemari kaca lain diterangkan asal-muasal kata "chili" dan bagaimana rasa pedas bisa nikmat di lidah. Di Meksiko, pedas disebut "chile, orang Spanyol menyebutnya "pimiento". Di Skandinavia, orang bilang "spaansk pepper". Lain lagi di Prancis, orang sana menyebutnya "pimena d'Espellete".
Disebutkan pula trik menghilangkan rasa pedas yang ternyata bukan dengan minum air putih, karena air malah bikin rasa pedas menjadi-jadi. Yang paling ampuh untuk mengusir rasa yang bisa membuat lidah seperti terbakar dan mandi keringat ini adalah dengan minum susu atau makan roti tawar dan yoghurt.
Gewuerz Museum alias Museum Bumbu didirikan pada 1991 oleh Viola Vierk, wanita 49 tahun yang sudah 17 tahun berkecimpung di dunia perdagangan bumbu di Hamburg. Banyak program "memanjakan lidah" di sini. Misalnya, "Malam Oriental", yakni aneka masakan Asia yang kaya bumbu berikut resepnya yang bermunculan. Atau "Menyusuri 80 Jenis Masakan Berbumbu Mancanegara", dan mengolah masakan bersama. Meski ruangan museum ini kecil, pengunjung tak berhenti datang dan pergi. Konon, tiap tahun lebih dari 150 ribu orang datang ke museum langka ini.
Setelah menyeruput habis suguhan minuman jahe dan kayu manis yang rasanya sungguh sedap itu, kami beranjak keluar. Hampir tiga jam kami menghabiskan waktu di sini. Kami lalu melongok pelataran pameran seni di pinggir Sungai Elbe di Kota Hafen, yang ada di seberang gedung museum, yang kini sudah berubah menjadi lebih modern dan dipadati turis. Kapal-kapal layar bertiang tinggi bersandar juga di sini. Beberapa turis bahkan ikut menjajal kapal uap menyusuri Sungai Elbe. Tak ada tarikan tiket masuk di sini. Pelataran pameran yang lebar, bersih, dan indah ini semakin penuh oleh turis ketika langit semakin terang. Tanda hujan sudah menyingkir.
Anak saya menarik tangan saya ke arena Miniatur Wunderland, yang sebentar lagi dibuka. Kaki saya penat bukan main menyusuri jalan begitu panjang, sedangkan ia lari kian kemari mengagumi tatanan miniatur kota-kota di dunia yang begitu indah menakjubkan. Saya duduk di pojok kecapekan. Hidung saya masih membaui rempah-rempah di sana tadi. Enak sekali.
SRI PUDYASTUTI BAUMEISTER (Hamburg)