KOMPAS.com - Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah masih maraknya praktek pengeksploitasian anak. Anak dijadikan pengemis, pengamen, bahkan sebagai pekerja seks komersial (PSK). Eksploitasi ini umumnya terjadi akibat rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi di sebagian masyarakat. Menurut sebuah penelitian, pada tahun 2009 sekitar 14,2 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, dengan tingkat pengangguran 8,14 persen.
"Selain kemiskinan ada banyak penyebab lain yang membuat anak-anak ini akhirnya dieksploitasi. Misalnya saja agar dapat bertahan hidup di Jakarta, atau kurangnya pendidikan si anak," ungkap Ahmad Sofian, koordinator nasional ECPAT Indonesia, saat launching "Laporan Pemantauan Global: Memonitor Status Aksi Melawan ESKA di Indonesia 2011" di Hotel Ibis, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (18/10/2011).
Kasus human trafficking ini nyatanya masih sering diabaikan oleh pemerintah. Peraturan perundang-undangan yang pernah ditetapkan untuk mengatasi Eksploitasi Seksual Komersil Anak (ESKA) ternyata masih lemah. Sangat disayangkan, karena di mata dunia sebenarnya Indonesia dianggap sebagai salah satu negara "media pembangunan manusia", namun kenyataan yang terlihat justru sebaliknya.
"Anak-anak adalah masa depan bangsa. Ketika mereka bebas dieksploitasi, khususnya untuk eksploitasi sosial, hal ini akan merusak moral dan masa depan bangsa itu sendiri," ungkap Ahmad.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menghadiri kongres dunia ketiga untuk melawan eksploitasi seksual komersial anak di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 2008, dan telah menyatakan komitmennya untuk mengambil langkah menghapus segala bentuk ESKA. "Namun setelah tiga tahun ini, peran serta pemerintah Indonesia dalam mengambil langkah-langkah untuk implementasi penghapusan praktek ESKA ini belum terlihat jelas. Bahkan sekarang ini malah semakin marak kasus pornografi terhadap anak," tambahnya.
Menurut Ahmad, kenaikan tingkat pornografi pada anak ini dibuktikan dengan munculnya tren baru dalam aksi pornografi anak, yaitu si anak mulai menyebarkan sendiri foto-foto ataupun video porno untuk berbagai alasan seperti sekadar mencari kesenangan dan popularitas, untuk mendapat uang, dan adanya pihak ketiga yang menyebarkan dokumentasi pribadi.
Modus lain dalam praktek pornografi adalah model pariwisata anak. Oleh beberapa negara, Indonesia dianggap menjadi sumber dan negara tujuan untuk perdagangan manusia, khususnya anak. Hal ini termasuk pula dalam negara sebagai tujuan wisata seks. Sejumlah resor wisata juga menjadi tujuan utama bagi perdagangan anak, sehingga menjadi terkenal sebagai pariwisata seks.
Bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, dan gunung meletus, yang melanda Indonesia selama enam tahun terakhir secara tak langsung juga berpengaruh pada peningkatan jumlah eksploitasi seks pada anak. Bencana alam ini menyisakan anak-anak yang kehilangan orangtua dan semua harta bendanya. Anak-anak menjadi terlantar karena harus mampu menghidupi dirinya sendiri.
"Anak-anak tak beruntung ini kemudian dibujuk oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab dan dijanjikan akan diberi pekerjaan. Namun yang terjadi akhirnya mereka hanya dijadikan pekerja seks," sesal Ahmad.
Catatan ECPAT, lokasi di Indonesia yang terkenal sebagai lokasi pariwisata seks adalah Bali, Batam, bagian utara pulau Bintan, dan Lombok. Setiap tahunnya, ada sekitar 3.000 wisatawan asal Singapura dan Malaysia yang datang ke Batam untuk melakukan pariwisata seks. Yang paling disayangkan adalah, para pekerja seks di Batam ini 30 persennya (5.000-6.000) merupakan remaja perempuan berusia sekitar usia 18 tahun.
"Menurut perkiraan ada sekitar 40.000 sampai 70.000 anak korban eksploitasi seksual di seluruh Indonesia, dan di pulau Jawa sendiri diperkirakan ada 21.000 anak yang terlibat prostitusi," tambahnya.
Untuk mencegah semakin bertambahnya angka prostitusi dan ESKA di Indonesia, diperlukan adanya kerjasama dari berbagai pihak untuk bersama-sama memerangi hal ini. Sebaiknya hal ini juga tidak sebatas menjadi wacana atau kampanye belaka, melainkan diikuti dengan berbagai tindakan konkret seperti menambah pendidikan mengenai life skills dan ketrampilan lain. Dengan demikian anak mempunyai bekal dalam mempertahankan hidupnya, dan dengan cara yang halal.
Selain itu ECPAT mengharapkan keseriusan pemerintah untuk memberikan perhatian khusus pada masalah ini, dengan cara menindaktegas pelaku ESKA dan menjeratnya dengan UU Perlindungan Anak yang tegas. "Yang paling menyedihkan, dulu sempat ada rancangan Keputusan Presiden tentang hal ini, namun tidak tahu kenapa akhirnya Keppres ini hanya dijadikan sebagai Keputusan Menkokesra. Ini kami nilai sebagai ketidakseriusan pemerintah pada hal-hal semacam ini," tukas Ahmad.