KOMPAS.com - Perancang muda Dee Ong memang telah mengangkat batik ke dalam rancangan-rancangannya yang berlabel Batik 118. Show perdananya adalah Jakarta Fashion Week 2010/2011 (tahun lalu), dimana Dee mengeluarkan koleksi 33 batik yang mewakili 33 provinsi di Indonesia.
Dari peragaan busana perdananya tersebut, karya Dee Ong diabadikan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata untuk dijadikan promo batik Nusantara hingga saat ini. Dee juga mendapat dukungan penuh untuk mengikuti fashion show di Asian Primer London Fashion Week di Porchester Hall, London, Agustus lalu (namun karena satu dan lain hal, keikutsertaan Dee dalam event ini diundur hingga tahun depan).
Dee mengaku sangat mencintai batik karena faktor sejarahnya yang sangat panjang, dan filosofinya yang amat dalam. "Saya ingin menciptakan desain batik yang meaningful, benar-benar klasik, dan memiliki sejarah yang bagus," ujar perempuan kelahiran Bandung, 25 September 1976 ini.
Kemampuannya dalam mengolah batik membuatnya sering diminta teman-temannya dari luar negeri untuk membuat desain batik yang tematik dan berbeda dari orang lain. Bagi Dee, motif batik bisa mewakili perasaan atau perjalanan hidup seseorang yang mengenakannya apabila pengguna batik mau mempelajari lebih jauh tentang batik-batik yang akan dibelinya.
Namun, ia dingatkan oleh seorang pejabat Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia bahwa kecintaan terhadap Indonesia tak hanya bisa dibuktikan dengan mengangkat batik. Dari ungkapan tersebut, wawasan Dee tentang kain tradisional diuji. Keinginannya untuk mempelajari kain Tapis dari Lampung tiba-tiba muncul. Selama berbulan-bulan Dee lantas mempelajari seluk-beluk tentang kain Tapis, dari sejarah pembuatan, sampai dengan makna setiap corak dari kain tersebut.
Oleh karena itu, dalam event Jakarta Fashion Week 2012, Dee memilih untuk mengeksplorasi kain Tapis dari Lampung. Kain tenun dengan mayoritas motif gunung, tumpal, serta gajah lampung ini merupakan tantangan baru untuknya. Kainnya yang lumayan berat membuatnya harus berpikir keras mendesain kain ini menjadi casual wear yang easy to wear.
"Saya mau menunjukkan kalau kain tradisional itu memakainya nggak ribet, dan bisa digunakan untuk bekerja, untuk shopping, bahkan untuk cocktail party," jelas perempuan bernama lengkap Diana Safitri ini.
Setelah mempelajari aspek geografis daerah penghasil kain tapis, yaitu Lampung, yang juga terkenal sebagai penghasil kopi, Dee mendapat ide untuk tema desainnya, yakni "My Coffee in the Famous Tapis". Dee menyiapkan 13 busana kasual dari kain Tapis dengan warna-warna coffee-ish.
Untuk Jakarta Fashion Week tahun depan, Dee berencana mengeksplorasi kain songket dari Sumatera Barat. Ia mengaku sedang membicarakan kemungkinan kerja sama dengan Dekranasda Sumatera Barat. Selain itu, pada Juli 2012 Dee juga berencana kembali menggelar Fashion for Charity, program yang digagasnya sendiri sebagai pengumpulan dana untuk program UNICEF. Sepanjang Juni 2011 hingga Juni 2012, Dee akan mengeluarkan 200 koleksi rancangan, dimana 8 di antaranya akan dilelang dengan harga di atas Rp 20 juta.
"Sampai saat ini sudah terjual 50 busana dan pembelinya justru berasal dari Singapura dan Malaysia, padahal saya menggunakan kain tradisional yakni batik," jelasnya.
Meskipun baru satu tahun berkecimpung di dunia fashion, namun Dee sudah mengekplorasi budaya Indonesia dan menggunakan beragam kain tradisional untuk rancangannya. Semua ini dilakukan karena kecintaannya pada Indonesia. Bagi Dee, cinta pada negara ini menurutnya adalah modal untuk bisa maju.