Mengisi Ulang Semangat Kerja

KOMPASfemale
KOMPASfemale
Mengisi Ulang Semangat Kerja
Nov 14th 2011, 04:26

KOMPAS.com - Bila kita bertanya pada individu yang terlihat begitu happy, produktif, dan berprestasi dalam pekerjaannya, sering kita mendengar bahwa bagi mereka kuncinya adalah "passion" pada pekerjaannya itu. Namun bagi sebagian orang, pekerjaan yang dilakukan dengan "misi" dan "hati" pun, adakalanya bisa juga membosankan, apalagi bila kita berada di organisasi yang relatif besar, dengan banyaknya anak tangga karier dan rutinitas kerja.

Prinsip "worklife balance" ternyata tidak selalu merupakan jalan keluar. Ada orang yang kemudian mencoba untuk menjauhi pekerjaan itu, namun semakin menjauhi malah makin dihantui rasa bersalah dan tidak menemukan solusinya. Ada orang yang berusaha mencari kambing hitam terhadap sumber kebosanannya, bahkan yang lebih berat, mulai merasa sakit-sakitan karena menahan rasa bosan yang begitu kuat. Rasanya tidak mungkin ada orang yang beranggapan bahwa posisi seperti ini adalah "comfort zone", karena rasa bosan ini pastilah tidak nyaman. Namun, individu yang tidak berusaha mengubah situasinya, mungkin memang tidak tahu caranya.   Kakak ipar saya adalah seorang ibu rumah tangga yang selalu menyatakan bahwa memasak adalah pekerjaan yang paling tidak dia sukai. Namun nyatanya, ia survive selama 40 tahun lebih memasak untuk seluruh keluarga. Rasa masakannya hebat dan menjadi favorit teman dan keluarga. Ia selalu keluar dengan resep-resep baru. Adakalanya ia memasak sesuatu yang sangat simpel, namun tak jarang juga yang canggih. Bila ada individu yang merasa tidak menyukai pekerjaannya, tetapi bisa bertahan sekian lama, maka tentu ada hal yang bisa kita lakukan untuk memerangi rasa bosan dalam bekerja.

Dalam keadaan ekonomi yang relatif sepi begini, banyak spekulasi yang mengatakan bahwa bila keadaan membaik, individu dengan sendirinya dapat meningkatkan gairah kerjanya. Sementara ada pihak lain yang beranggapan, bahwa bila rasa bosan sudah mengakar dalam sikap mental kita, individu menjadi tidak siap untuk bounce back. Tentunya keadaan tanpa gairah ini membahayakan, terutama bila kita masih berada di usia produktif. Perusahaan maupun diri sendiri pasti menghendaki kita untuk tetap alert, produktif, dan berkembang secara personal maupun professional   Inventarisasi diri Ibarat keadaan tubuh yang sudah lama tidak berolahraga, kita bisa merasa tidak peka terhadap kekuatan, gerak, dan fleksibilitas kita. Dalam pekerjaan pun orang bisa merasa "tidak bugar", apalagi bila sudah mengerjakan pekerjaan tertentu selama bertahun-tahun tanpa ada perubahan tantangan, baik dari pelanggan eksternal ataupun secara internal organisasi. Saat-saat seperti ini sebetulnya adalah saat yang paling tepat untuk kita mulai mendata ulang apa saja "lesson learnt" serta ketrampilan-ketrampilan yang sudah kita pelajari dari pengalaman yang lalu.

Menginventarisasi diri adalah kegiatan yang bisa membangun kesadaran kita sekaligus membantu kita melihat sejauh apa pertumbuhan nilai diri, bagi diri sendiri, tim, maupun organisasi. Akan sangat bermanfaat bila lesson learnt yang kita punya kemudian kita gunakan untuk menyiapkan bahan-bahan pelatihan bagi para junior dan melakukan coaching pada mereka. Dengan melakukan coaching atau mentoring, tanpa disadari kita pun sudah meremajakan pengetahuan kita, bahkan menguji kemampuan kita melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan si junior.   Secara otomatis, inventarisasi diri akan membawa kita memeriksa hafalan dan intuisi, sekaligus mempertanyakan apakah cara kerja saya sudah efisien? Apakah ada cara lain yang lebih praktis?  Banyak penelitian membuktikan bahwa alat-alat baru dan cara-cara yang lebih praktis justru ditemukan oleh orang-orang yang merasa bosan pada pekerjaannya. Seorang kepala cabang di sebuah bank tiba-tiba menemukan adanya pengulangan kerja terhadap sebuah dokumen yang menyebabkan perbedaan memproses sampai 2 x 24 jam. Dengan memeriksa ulang pekerjaan rutin, kita bisa menemukan efisiensi dan simplisiti yang luar biasa. Terkadang, kita juga butuh pandangan orang lain dan memanfaatkan persepsi orang lain terhadap pekerjaan kita. Dengan adanya "second opinion", baik dari orang dalam, rekan sendiri, ataupun konsultan maupun orang luar, kita bisa mendapatkan masukan berharga.

Efek interaksi dan "benturan" Banyak orang menyarankan untuk menjauh sementara waktu dari hal rutin yang kita lakukan untuk mengusir kebosanan, misalnya mempelajari hal di luar pekerjaan secara jangka pendek. Hal ini sebetulnya ada benarnya dan ternyata sangat berpengaruh pada sikap mental kita. Kita mengenal fenomena "medici effect", di mana seseorang justru menemukan jalan keluar dari masalahnya, setelah mengalami hal lain di luar pekerjaannya. Hal ini juga dilakukan para atlet yang selalu juga melakukan latihan di luar keahliannya. Efek interaksi ini bukan hal yang misterius. Persepsi dari "dalam" pekerjaan tentunya akan berbeda dengan persepsi dari luar. Bila sesekali kita mengerjakan pekerjaan lain, maka kita akan memperkaya diri kita.

Kita tidak perlu alergi terhadap rasa bosan, karena rasa bosan terhadap pekerjaan sebetulnya juga merupakan alarm bahwa kita siap untuk memperkuat diri. Kita bisa menambah ketrampilan tertentu atau sekadar menambah kegiatan olah raga baru. Kita bisa mendapatkan teman-teman baru atau memulai kegiatan media sosial seperti twitter, facebook dan linked-in yang bisa membawa kita ke lingkungan kerja yang lebih luas dan lebih maju. Yang jelas, semangat kerja kita memang memerlukan gizi pembugar. Bentuknya bisa berupa asupan-asupan teman baru, pengetahuan dan ketrampilan baru, ataupun latihan-latihan keras dan sulit sehingga urat syaraf kita terlatih untuk menghadapi tantangan baru.

(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)

Sumber: Kompas Cetak

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.
If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions
Next Post Previous Post