Minggu, 04 Desember 2011 | 03:26 WIB
TEMPO.CO,:- Sekitar seratus gambar berbagai ukuran di atas kertas tergantung di teralis pagar hijau. Ada komik strip, gambar monster, pocong, gadis cantik, juga suasana Kota Bandung. Sebagian gambar lainnya ditata di atas trotoar yang teduh bernaung pohon.
Empat pemuda yang duduk di sekitarnya tengah asyik menggambar di tengah lalu lalang orang yang singgah. Seorang pemuda lainnya melayani seorang bocah yang membuka-buka buku koleksi gambarnya.
Pegiat dan anggota Komunitas Pensil dan Kertas itu rutin berkumpul tiap Ahad di trotoar dekat Rumah Sakit Santo Borromeus, Bandung. Kegiatan ngeriung itu mulai berjalan sejak Jalan Dago ditutup sementara dari pukul 06.00-10.00 WIB sebagai kawasan bebas kendaraan bermotor pada Mei 2010.
Kalau mereka absen, berarti sedang menghadiri acara di tempat lain, seperti di Lapangan Gasibu. Selain menggelar karya, mereka selalu mengajak pengunjung untuk menggambar bersama. "Temanya bebas, tapi seringnya kita ajak warga untuk merancang Kota Bandung masa depan," kata ketua komunitas, Taufik, 28 tahun.
Rancangan itu sekaligus kritik warga dan anggota komunitas terhadap kondisi Ibukota Jawa Barat. Tema yang diangkat seperti masalah sampah, kemacetan, dan lingkungan. Mereka mengajak warga berimajinasi tentang kota ideal yang diharapkan lewat gambar. "Kami ingin warga dan pemerintah mewujudkan kota yang layak huni," kata.
Komunitas itu dibentuk alumni Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 14 Seni Rupa Bandung pada 13 Februari 2009. Para pendiri yang berjumlah 6 orang, kata Taufik, awalnya memerlukan wadah buat menyalurkan kegemaran mereka menggambar setelah lulus sekolah, kuliah, atau bekerja.
Setiap Sabtu sore mulai pukul 15.00 WIB, anggota komunitas biasanya juga berkumpul di markas Gang H. Kurdi Nomor 111, Kiaracondong. Di lantai dua rumah toko sewaan, mereka berbagi hasil karya, mulai dari gambar, fotografi, desain grafis, hingga film animasi. "Paling banyak memang yang menggambar ilustrasi," kata Taufik.
Tak hanya menggambar untuk kesenangan dan belajar, para anggota juga menerima pesanan untuk iklan, tampilan website, dan membuat proyek film animasi tentang kritik sosial di Bandung. Mereka juga membuka kursus menggambar dan kertas lipat bagi para pelajar sekolah. Biayanya dipatok Rp 500 ribu per bulan untuk dua kali pertemuan tiap pekan.
Penghasilan itu digabung dengan iuran bulanan sekitar 50 anggota masing-masing Rp 10 ribu, ditambah sumbangan anggota komunitas dari tiap karya yang terjual atau dibeli sebesar 30 persen. Dana itu dipakai untuk operasionalisasi kegiatan komunitas, seperti untuk membayar sewa ruko, listrik, air, dan transportasi acara.
Sebulan sekali, anggota yang kebanyakan mahasiswa dari berbagai kampus di Bandung seperti ITB, UPI, Unikom, dan Itenas, punya agenda berkunjung ke galeri seni. Tujuannya, kata Taufik yang lulusan diploma jurusan Teknik Informatika LPKIA 2007 itu, untuk menambah wawasan, apresiasi, dan perbandingan dengan karya seniman lain.
Rahman Prawa Dika sengaja bergabung dengan komunitas itu karena senang mendapat banyak teman. Di komunitas itu pula ia mengenal beberapa teknik menggambar. "Jadi membantu tugas kuliah juga," kata mahasiswa seni rupa UPI semester 5 tersebut.
Tahun depan, menurut Taufik, komunitas Pensil dan Kertas akan beraksi mewujudkan Bandung sebagai Kota Desain. Mereka kini tengah menyiapkan diri untuk menggarap tong-tong sampah untuk digambar dan dirancang seunik mungkin. Tempat sampah itu akan diletakkan di penjuru kota. "Karena masalah terbesar di Bandung itu sampah. Gagasan ini akan kami ajukan ke Walikota," katanya.
ANWAR SISWADI