Kamis, 01 Desember 2011 | 07:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Suami bisa saja mengaku tak pernah menggunakan narkotika suntik atau tidak pernah "jajan" ke wanita penjaja seks. Namun, kebohongannya pasti terbongkar saat istrinya terpapar virus perontok kekebalan tubuh (human immunodeficiency virus). Apalagi, jika sang istri adalah wanita baik-baik, bukan pengguna narkotika suntik dan tak pernah berhubungan seks dengan pria lain. Celakanya, kasus istri atau ibu rumah tangga baik-baik yang tertular virus HIV dari suami ini terus meroket, termasuk di Ibukota.
"Ibu rumah tangga kini menjadi salah satu kelompok yang paling rawan terkena HIV/AIDS," kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta Rohana Manggala, dalam temu media di Jakarta, Kamis pekan lalu. Hajatan itu digelar berkaitan dengan Peringatan Hari AIDS Dunia, yang jatuh hari ini. Selain Rohana, ikut berbicara juga Ketua Pokja HIV RSUD Tarakan, dokter Ekarini Aryasatiani.
Kasus di Jakarta, sebagai salah satu provinsi dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di Indonesia, menunjukkan hal itu. Selama Januari-Agustus 2011, ibu rumah tangga pengidap penyakit ini ada 147 kasus. Angka ini terbesar kedua di bawah kelompok karyawan dengan angka 283 kasus. Adapun HIV/AIDS di kalangan wanita penjaja seks justru kecil, yakni 9 kasus.
Terjangkitnya ibu rumah tangga itu tak lepas dari kebiasaan kaum pria, juga suami, di Jakarta. Menurut Rohana, sembari mengutip sebuah hasil penelitian, dari sekitar sembilan juta warga Jakarta, ada sekitar satu juta lelaki yang menjadi pelanggan pekerja seks, 11 ribu pengguna napza suntik, dan 61 ribu GWL (gay, waria, dan lelaki suka lelaki). "Para pria dengan risiko tinggi HIV/AIDS itu kemudian menikah dengan sekitar 500 ribu perempuan," katanya.
Besarnya Ibu rumah tangga yang menikah dengan pria berisiko tinggi HIV/AIDS ini membuka penularan kepada anak-anak mereka. Berdasarkan data Seksi Surveilans Epidemiologi HIV/AIDS Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, dari awal 2011 sampai Agustus, terdapat 17 kasus penderita HIV/AIDS pada kelompok umur 0-1 tahun, 13 kasus pada kelompok umur 1-5 tahun, dan 10 kasus pada kelompok umur 5-14 tahun.
Dokter Ekarini menambahkan, penularan HIV/AIDS bisa terjadi melalui berbagai cara, yaitu hubungan seksual, transfuse darah, jarum suntik pengguna narkoba, serta penularan dari ibu dan anak. Untuk kasus di Jakarta pada 2010, mayoritas penyebaran HIV/AIDS terjadi melalui hubungan seksual (40-50 persen) dan jarum suntik pengguna narkoba (45-55 persen). Adapun penyebaran penyakit ini dari ibu ke anak tercatat ada dua persen.
"Banyaknya kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga, umumnya terjadi melalui hubungan seksual dengan suami yang telah terkena HIV/AIDS," kata Ekarini. Misalnya, suami dulu mantan pengguna narkoba, kemudian nikah. Sedangkan istri tidak tahu bahwa suami itu sudah terkena HIV/AIDS. Atau, bisa juga karena suami suka "jajan" dengan wanita penjaja seks, lalu mengidap HIV/AIDS, buntutnya tertularlah sang istri. Nah, ketika istri hamil dan melahirkan, maka virus ini pun tertular ke bayi mereka. Penularan HIV dari ibu ke anak, kata dia, "Bisa terjadi pada saat kehamilan, persalinan, dan menyusui."
Lantaran ada risiko penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak (preventing mother to child transmission/PMTCT), menurut Ekarini, maka pada dasarnya orang dengan HIV/AIDS (ODHA) perempuan tak dianjurkan hamil. Pasangan suami-istri bisa memilih berbagai pilihan kontrasepsi untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, seperti vasektomi dan tubektomi, alat kontrasepsi dalam rahim, suntik dan implant, maupun kondom.
Bagi ODHA, menurut Ekarini, pengobatan antiretroviral harus dilakukan sepanjang hidupnya. Untuk itu, dukungan psikologis, sosial, maupun perawatan untuk mereka sangat dibutuhkan. "Jangan lakukan isolasi sosial atau diskriminasi. Yang dijauhi itu penyakitnya, bukan orangnya," katanya.
AMIRULLAH