KOMPAS.com - Di antara rindang pohon Desa Kembaran di pelosok Bantul, DI Yogyakarta, tinggallah Jeannie Park. Ia perempuan berdarah Korea kelahiran Amerika Serikat. Dulu direktur galeri seni rupa ternama di Los Angeles, lalu menjadi penari jawa klasik. Tentu saja ia bukan salinan Elizabeth Gilbert, sang penulis novel Eat, Pray, and Love. Mereka berdua sama sekali berbeda.
Sungguh, berjumpa Jeannie Park seperti berjumpa seorang Jawa tulen. Bahasa tubuh, cara berpikir, dan tampangnya. Ia tertawa ketika ditanya soal wajahnya yang tak menyisakan kesan seorang berdarah Korea. "O, ya? Bagus, ha-ha-ha," Jeannie tertawa.
Hampir tak ada kesan "asing" dalam keseharian Jeannie Park. Penampilannya sederhana, busana berwarna biru bermotif lembut, celana kasual berwarna krem, sepatu sandal merah menyala, macam anak muda. Toh riasan tipisnya gagal menyembunyikan keayuannya.
Dalam obrolan, baru muncul jejak "asing" Jeannie. Bahasa Indonesianya terkadang sengau, seperti kebanyakan pengucapan seseorang yang berbahasa ibu bahasa Inggris. Kalau sengaunya hilang, pengucapan bahasa Indonesianya medhok Jawa. Seperti saat ia menerima telepon. "Piye," Jeannie menyapa si penelepon. "Injih (iya), injih, jadi," Jeannie sibuk berbincang.
Proses "menjadi Jawa" putri dua seniman Korea Selatan, Chong-Gil Park dan Hi-ah Chai Park, itu berawal pada tahun 1979. Saat berumur sepuluh tahun, Jeannie berjumpa maestro tari klasik jawa, Kanjeng Raden Tumenggung Sasminta Mardawa, yang menjadi dosen tamu di University of California, Los Angeles, Amerika Serikat.
"Saat beliau memasuki panggung, memakai pakaian adat Jawa, saya terpana. Cara beliau masuk, iramanya, tariannya, keseluruhan gerak tubuhnya. Wow, iki opo yo (ini apa ya)? Saya langsung terpikat tarian klasik jawa. Dan saya memutuskan harus mengunjungi daerah asal tarian itu," kata Jeannie, ibu dua anak itu.
Cita-citanya terkabul ketika ia mengikuti University of California Education Abroad Program pada Juni-Oktober 1991. Dia belajar di Pusat Studi Indonesia Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dia tentu belajar menari lagi. Namun, katanya, tiga setengah bulan belajar itu seperti hanya mencicipi. "Saya akhirnya mengenal tempat asal tarian jawa, ha-ha-ha," ujarnya.
"Suwung"-kosong Setelah kembali ke AS, ia "putus hubungan" dengan Yogyakarta dan tari klasik jawa. Jeannie meniti kariernya sebagai kurator seni rupa dan Associate Director Jan Turner Gallery, Los Angeles. Tahun 1993 - 1996 ia menjadi Direktur Kohn Turner Gallery, Los Angeles, galeri seni rupa kontemporer papan atas dengan klien para bintang sekelas Robin Williams, Tom Hanks, dan bintang rock Bruce Springsteen.
"Karier saya bagus, saya bahkan sudah ditawari menjadi partner untuk ikut memiliki galeri itu. Secara materi saya berkecukupan. Jalan hidup saya sudah sangat jelas. Namun, di dalam diri saya seperti ada sesuatu yang kosong. Suwung, kata orang Jawa. Semuanya baik-baik saja, tetapi saya selalu bertanya apa yang belum saya temukan di dalam hidup saya."
Di tengah kegelisahan itu, saat Jeannie tenggelam dalam timbunan pekerjaan, pada akhir Juni 1996 telepon galerinya berdering. Yang menelepon staf Konsulat Jenderal Indonesia di Los Angeles. "Mereka memberi tahu, saya disetujui mengikuti program Darmasiswa untuk belajar seni budaya di Yogyakarta selama setahun. Padahal, saya sudah lupa kapan saya mendaftarkan diri, ha-ha-ha."
Maka pada September 1996, ia kembali ke Yogyakarta. Ia kembali belajar tari klasik jawa di Institut Seni Indonesia. Ketika masa studi setahun berakhir, ia meminta perpanjangan. "Saya mengalami pencerahan karena diberi ruang mengalami, merasakan, dan belajar cara berpikir orang Jawa yang menciptakan kesenian yang saya cintai."
Dengan segala totalitasnya menjalani laku menjadi penari klasik jawa, Jeannie pun menjadi salah satu yang terbaik. Pada 1997 ia mulai kerap diundang menari di Keraton Yogyakarta. Pada Juli 1998 ia mendapatkan kehormatan membawakan tari Bedhaya Sang Amwarbumi di Kepatihan Yogyakarta.
Pada 1999 ia terlibat pendokumentasian Bedhaya Sinom di Dalem Pujokusuman, Yogyakarta. Itulah untuk pertama kali ia menari bedhaya berdurasi 1,5 jam. Yang paling mengesankan baginya adalah ketika ia mendapat kesempatan menarikan Bedhaya Sang Amwarbumi di Bangsal Kencono pada 2001 bersama dua putri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Pembayun dan Gusti Candra Kirana.
Menemukan cinta Bukan hanya meraih banyak pencapaian sebagai penari klasik jawa, ia juga menemukan cintanya di Yogyakarta. Jeannie menikah dengan penari klasik jawa, Lantip Kuswala Daya, pada tahun 2000. Itu yang membulatkan tekadnya untuk tinggal di Yogyakarta. Keduanya kini dikarunia dua buah hati, Jivan Aruna (8 tahun) dan Mohan Kalandara (5 tahun).
Tahun 2004 Jeannie sekeluarga pernah tinggal lagi di AS saat Jeannie mendapatkan beasiswa dari John F Kennedy Center for the Performing Arts. Lagi-lagi Jeannie dan keluarga pulang ke Yogyakarta. "Yogyakarta is my hometown. Saya bahkan sudah bisa mengendarai sepeda motor di Malioboro. Kalau Anda bisa mengendarai motor di Malioboro, Anda siap menyetir di mana pun," Jeannie tertawa.
Sejak 2007, ia didapuk menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Bagong Kussudiardja, mengurus Padepokan Seni Bagong Kussudiardja di Kasihan, Bantul. Seperti di AS, ia kembali mengurusi rewelnya para seniman dan menikmatinya. Tentu saja, Jeannie tak berhenti menari.
Bulan Mei lalu ia terlibat dalam rekonstruksi tari Srimpi Teja karya Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang didokumentasikan Taman Budaya Yogyakarta dan Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa. Ia kembali menari selama 1,5 jam.
"Menarikan tari klasik secara utuh memiliki kepuasan tersendiri. Yang menonton pasti tersiksa, tetapi yang menari tidak secapek kelihatannya kok," bisik Jeannie meyakinkan.
(Aryo Wisanggeni)
Sumber: Kompas Cetak