Dicari: Pemimpin yang Memiliki "Soft Skills"

KOMPASfemale
KOMPASfemale
Dicari: Pemimpin yang Memiliki "Soft Skills"
Jan 27th 2012, 07:50

KOMPAS.com - Dalam tim atau organisasi yang berhasil dan sukses, hampir bisa dipastikan bahwa ada pemimpin yang hebat di situ. Begitu menariknya kita mendengarkan bagaimana para CEO dan pemimpin ini menginspirasi, sehingga kita sesungguhnya tidak pernah kehabisan bahan untuk belajar dari berbagai kisah sukses mereka yang diangkat oleh media.

Hal yang kerap membuat kita tercengang adalah melihat kapasitas total seorang pemimpin sukses dibandingkan dengan kapasitas fisiknya. Ada CEO yang sudah memanfaatkan ginjal dan lever orang lain, ada CEO yang menjalankan peran kepemimpinan dengan berkursi roda, ada pula CEO yang mengupayakan agar selalu bersuara keras karena ia menyadari badannya kecil. Semua pandai, memiliki kejagoan teknis atau "hard skills" yang kuat, namun tidak satu pun yang tidak menyatakan bahwa mentalitas dan kebesaran jiwalah yang menyebabkan mereka survive. Keterbatasan fisik tidak pernah dijadikan alasan untuk menghalangi keberhasilan.

Di lain pihak, kita juga bisa menyaksikan pimpinan atau CEO yang biasa-biasa saja alias melempem. Mereka tidak kalah pandainya, banyak yang memiliki "tongkrongan" keren, tetapi tidak mengeluarkan aura "get things done"-nya dengan keras, bahkan tak mampu mengkolaborasikan tim satu dengan yang lain. Perbedaan yang kelihatan dari para CEO sukses adalah pencapaian sasaran perusahaan dilakukan dengan penuh semangat oleh para karyawannya, sementara CEO yang kurang sukses biasanya memimpin karyawan yang kurang happy, dan seringkali tidak kuat kerjasamanya.

Kita lihat bahwa apapun bentuk organisasi yang dipimpinnya, seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap terciptanya lingkungan yang memungkinkan karyawannya untuk bersinergi dan "excel" dalam pencapaian targetnya. Tidak heran bahwa dalam cerita sukses para CEO, mereka selalu menekankan "soft skills" sebagai modal untuk bisa bekerja efektif, melampaui keadaan, bahkan mengatasi berbagai hambatan. Bila "soft skills" ini sedemikian penting, kita tentu perlu mengevaluasi bagaimana perangkat pengukuran kinerja di tempat kerja kita. Masihkah kita berpatokan pada pengukuran kinerja yang semata berorientasi "hard skills" seperti pencapaian sasaran dan Key Performance Indicator, tanpa mementingkan penularan spirit dan semangat yang positif?

Tanda kematangan Dengan kecepatan jalan bisnis, serta sengitnya persaingan, sikap pemimpin atau profesional yang menunjukkan "I have the right answer", benar-benar tidak efektif. Seorang ahli bahkan menyatakan bahwa sikap ini hanya boleh diperlihatkan oleh seorang mahasiswa. Di tempat kerja, kita perlu bersikap "I can help make this work", dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada, office politics, serta segala agenda yang dimiliki pihak-pihak lain. Tidak heran bila pemimpin yang masih sering bersikap "I'm OK, you're not OK", merasa diri paling pintar dan paling benar, akan sulit untuk membawa organisasinya berprestasi "beyond average".

Kesuksesan dalam bisnis sama sekali tidak terletak pada bagaimana mendapatkan jawaban yang tepat, namun lebih pada memastikan gerak roda bisnis bergulir dengan lancar. Ada perusahaan yang seolah jalan di tempat karena karyawan sampai direkturnya tidak menunjukkan rasa memiliki yang disebabkan pucuk pimpinannya kurang bisa bersikap asertif. Bila pemimpin sungguh-sungguh ingin menciptakan kisah sukses, ia memang perlu menciptakan dan menjaga baik-baik atmosfir di perusahaan. Bila ada pihak yang sudah mulai tidak melaporkan kejadian-kejadian penting, tidak menyatakan pendapatnya, tidak bisa menolak hal yang sebetulnya merugikan perusahaan, atau bahkan menunjukkan sikap "walk out", maka pimpinan perlu bersiaga satu dan mulai menelaah kembali praktek-praktek komunikasi yang dikembangkan. Selain melihat angka pertumbuhan, memelototi indikator pencapaian finansial, para pimpinan juga perlu meraba-rasa bahwa lingkungan kerja masih diwarnai suasana seru dan asik di kalangan karyawannya, sehingga karyawan tetap bekerjasama dalam pencapaian tujuan. Atmosfir positif ini semakin kritikal bila perusahaan memang sedang mengalami tekanan, apakah tekanan waktu, persaingan, dikeluarkannya produk baru, ataupun perubahan.

Kepekaan dan respons Banyak orang yang begitu dipromosikan langsung berpikiran: "Saya dapat apa?". Pada saat itulah orang tersebut mulai "invalid", bahkan mematikan tombol inisiatifnya. Sebaliknya, keinginan untuk membuat tempat kerja kita sebuah tempat yang lebih baik adalah tanda awal yang positif. Dengan sikap mental seperti ini kita pasti tidak keberatan menolong orang lain, berusaha menyelesaikan tugas dengan lebih cepat, serta mengembangkan hubungan interpersonal dan kerja tim yang lebih baik. Jadi kekuatan bersikap positif, optimis, dan percaya diri bukanlah sekadar bumbu kehidupan bekerja, tapi menjadi sumber kekuatan untuk berprestasi. Kekuatan ini membuat kita mempunyai kontrol yang kuat terhadap lingkungan. Sikap "do it yourself" juga sangat terlihat pada figur-figur sukses, yang justru menghilangkan birokrasi, mudah dihubungi, banyak melakukan pekerjaan-pekerjaannya sendiri tanpa asisten.

Kita lihat di jaman di mana perkembangan teknologi demikian canggih dan seolah-olah berkejaran dengan otak manusia, ada sisi lain dari kekuatan manusia yang benar-benar perlu diperhatikan dan difokuskan. Kita perlu lebih peka terhadap sense dan respons, kekuatan sosialisasi, engagement, pemilihan kata-kata, interpretasi terhadap waktu dan informasi dengan jeli yang kesemuanya sering tidak dipelajari di bangku sekolah, melainkan di lapangan. Inilah "soft skills".

(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)

Sumber: Kompas Cetak

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.
If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions
Next Post Previous Post