Selama bertahun-tahun, ia tak bisa mengenakan celana jeans kesayangan. Bahkan untuk berhubungan seksual pun ia selalu merintih kesakitan. Finally, di usianya yang ke-28 tahun, kunjungan terakhir ke seorang plastic surgeon mengubah segalanya.
KapanLagi.com - Ini bukan pertama kalinya saya mengeluh kesakitan saat mengenakan celana. Bahkan sampai sekarang ini, saya tidak bisa mengenakan celana tanpa muncul rasa gelisah kesakitan, merasa seperti ada sensasi yang membara (panas, lebih tepatnya) di area vagina. Mau duduk, berdiri, sampai berjalan sekalipun, rasanya ingin sekali loncat-loncat di tempat dan berteriak kesakitan. Mau dibilang sudah terbiasa, memang terlampau biasa. Namun, untuk bisa sampai ke tahap 'terbiasa', kondisi ini terbilang sangat menyiksa.
Terasa kian parah ketika rasa sakit ini tidak cuma mengusik masalah berbusana, tapi juga berimbas ke hubungan seks bersama pasangan. Seks bagi saya sudah tak terasa nikmatnya lantaran tertutup dengan rasa sakit, bahkan ketika nyaris menyentuh the big O, aktivitas ini terpaksa harus saya hentikan. Sudah tak terhitung lagi berapa kali saya dan pasangan mengurungkan niat untuk beraksi intim. Lagi-lagi karena tak kuat menahan rasa nyeri membuat hidup makin sengsara. Padahal seks itu seharusnya dipenuhi gairah, gelora, dan hasrat yang menggebu-gebu. Situasi yang terjadi pada vagina saya lambat-laun melempar saya hingga sampai ke titik terbawah dan mulai membatasi ruang gerak saya.
Semua ini bermula dari infeksi jamur yang dokter temukan di area vagina ketika saya baru saja masuk kuliah. Rasa geli yang begitu menyengat tak kunjung hilang meski entah berapa banyak krim OTC telah saya oleskan di area vagina. Pergi ke dokter umum untuk konsultasi juga saya lakukan, sampai-sampai ia memberi saya obat oles dengan dosis yang lebih tinggi dari sebelumnya. Selama beberapa bulan obat itu saya konsumsi, tapi tetap saja tanda-tanda kesembuhan belum juga muncul. Derita sakit dan nyeri yang tak kunjung mereda ini pelan-pelan menyiksa saya. Sedemikian sakitnya.
Dalam kebingungan memikirkan apa langkah selanjutnya yang harus saya tempuh, dokter menyarankan saya untuk memeriksakan kondisi ini ke tempat yang khusus menangani masalah kewanitaan secara mendetail di sebuah sexual-health clinic. Rangkaian tes STD (Sexually Transmitted Disease), atau penyakit seks menular, kembali harus saya jalani. Cemas menanti hasil tes keluar, saya dikejutkan dengan hasil yang menyatakan kalau ternyata saya negatif mengidap penyakit seks menular – jenis apapun! Dari sana, tim dokter kembali menyarankan saya untuk mengunjungi dokter kandungan (ob-gyn). Tak putus mengobarkan semangat untuk menemukan kondisi apa yang sebenarnya terjadi di vagina, tak disangka sudah setahun berlalu sejak gejala ini muncul. Itu artinya, setahun sudah vagina ini membuat hidup saya sengsara!
Sebuah NAMA untuk rasa nyeri itu!
Untungnya, dokter spesialis yang menjadi landasan terakhir saya akhirnya berhasil mengakhiri segala teka-teki yang membelenggu dan tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Ia mendiagnosa kalau saya mengidap penyakit vulvodynia. Sebuah kondisi yang pernah disebut-sebut Carrie Bradshaw dalam salah satu episode serial Sex and The City sebagai, vulva-what-ia? Anda ingat? Vulvodynia adalah rasa nyeri yang disertai rasa sakit, terbakar atau iritasi pad area bukaan vagina (vulva). Begitu dokter menyebutkan nama penyakit disusul dengan menjelaskan gejala-gejala apa yang timbul, saya tak lagi meragukan hasil diagnosanya. Dokter juga menjelaskan kalau infeksi akibat jamur yang dulu pernah saya alami mengakibatkan syaraf-syaraf di area vulva menegang, sehingga muncul rasa seperti terbakar tanpa henti. "Jadi ini penyebabnya mengapa vagina saya kerap terasa seperti tersengat sesuatu yang panas," ujar saya dalam hati. Kepastian ini membuat saya sedikit bisa menghirup aroma lega.
Namun begitu, di saat yang sama, dokter juga mengambil tindakan yang tetap menyiksa saya dengan rasa sakit yang luar biasa. Mereka memberi pengobatan yang membuat vagina ini terasa seperti sedang ditinju kepalan tangan berulang-ulang. Membuat saya (lagi-lagi) terjebak dalam kesakitan setiap hari, setiap jam, dan, well, setiap saat.
Tidak ada obat pasti yang dapat menyembuhkan vulvodynia, tapi bukan berarti ini sebuah akhiran yang absolut. Ada beberapa langkah pengobatan yang bisa meringankan rasa sakit yang saya derita. Seminggu sekali saya rutin mengunjungi physical therapist, yang akan memberi pijatan dengan menancapkan ibu jarinya di area selangka saya dengan penuh kelembutan. Saya juga mulai mengonsumsi obat anti depresi dosis rendah...untuk vagina saya. Dokter beralasan, "Dengan menempuh cara ini maka bisa sedikit menenangkan syaraf-syaraf vagina apabila sedang menegang- maaf, saya mulai terasa panas." Berawal dari sini, saya berpikir untuk lebih memprioritaskan kesembuhan saya. Maka, daripada terus-terusan melemparkan keluhan-keluhan tiada henti pada pekerjaan sebagai seorang investment banker, saya putuskan untuk pergi meninggalkan pekerjaan, dan memusatkan konsentrasi pada pengobatan.
Saya juga pernah memanfaatkan dilator untuk memperlebar bukaan vagina dan memang pada awalnya sedikit helpful untuk membuatnya terasa relaks. Bentuknya yang terlihat serupa dengan vibrator, memancing saya untuk juga menjadikannya sebagai 'penolong' saat melakukan pemanasan sebelum berhubungan seksual, sampai pereda rasa sakit sebelum tidur. Walau kadang usaha ini bisa membawa rasa sakit itu pergi, tapi vulvodynia tetap mengacaukan hidup saya. Kerja berjam-jam, dan menghabiskan waktu duduk di balik meja kerja rasanya seperti habis dijatuhi hukuman cambuk. Nyeri sekali. Belum lagi, harus beranjak dari kursi untuk pergi ke kamar mandi setiap 20 menit sekali. Ya, secepat itu. Terkadang, ingin rasanya menangis kencang-kencang karena tak sanggup hidup seolah 'dirantai' dan diberi batasan.
Pada titik ini, empat tahun semenjak gejala itu pertama kali saya rasakan, saya bertemu dengan pria tambatan hati dan akhirnya menikah. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada 'liang kenikmatan' saya di bawah sana. Lama-kelamaan ia paham sendiri dengan situasi betapa seringnya saya membutuhkan bantuan dilator, dan selalu mengoleskan krim 'anti rasa sakit' sebelum akhirnya kami berdua sama-sama 'sibuk' di atas ranjang.
Ada kalanya, aktivitas seksual kami berjalan mulus tanpa hambatan. Hanya muncul sedikit rasa nyeri ketika Mr.Happy-nya mulai menyapa dinding vagina saya, sampai akhirnya ia bisa menjelajahi vagina saya dengan kedalaman dan kenikmatan yang maksimal. Tapi hubungan seksual yang disertai rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk lebih SERING mewarnai ranjang kami, sehingga kami terpaksa menghindari seks untuk sementara waktu. Sebagai seorang istri, wajar jika saya merasa kecil hati lantaran tak bisa jadi pelampiasan nafsu suami, dan parahnya, harus menelan fakta pahit kalau saya tak bisa berhubungan seksual dengan suami.
Namun, jika pola pikir saya terus seperti ini, lama-kelamaan mungkin ia akan merasa kalau saya tak bahagia berada di sampingnya. Beruntung sekali memiliki ia sebagai pendamping saya dan mengerti benar situasi sulit yang saya hadapi.
Saat saya telah berada pada fase sanggup meyakinkan diri untuk mulai bisa menerima kondisi ini dan mulai berusaha menjalani hidup dengan normal, saya menerima sebuah e-mail dari sahabat dekat yang bilang, "Kamu harus baca ini segera!" Ia mengirimkan sebuah link yang ternyata sebuah blog post tentang sejumlah wanita yang melakukan botox di beberapa area intim kewanitaan. Awal membacanya saya tertawa – bayangan wanita-wanita di serial Real Housewives yang kerap melakukan operasi plastik terlintas di kepala. Namun akhirnya saya jadi semakin serius menelusuri link tersebut. Basically, Peter Pacik, seorang dokter bedah plastik di New Hampshire, sedang menguji coba botox untuk membekukan otot-otot vagina yang dapat mengurangi rasa nyeri seperti yang saya rasakan.
Walau sebenarnya masih diselimuti kekhawatiran karena pengobatan ini masih dalam tahap uji coba, namun setelah melakukan riset dari berbagai sumber, saya akhirnya memutuskan untuk mencoba dan mulai mengontak kantor Dr. Pacik. Mendengar saya bersedia menjadi pasiennya, Dr.Pacik meyakinkan kalau saya akan menjadi kandidat yang cocok, dan kami pun mulai menentukan jadwal operasi. I crossed my finger!
Perjalanan dari New York menuju klinik Dr.Pacik di New Hampshire boleh jadi perjalanan terhening bagi saya dan suami. Dalam benak, mulai hadir pikiran yang tidak-tidak. Bagaimana jika saya mati di bawah pengaruh obat bius dan nantinya semua orang tahu kalau saya mati di atas meja operasi demi botox vagina? Oh no!
Ketika kami tiba, sesaat setelah ganti baju, dokter segera membius saya. Sebelum operasi dilakukan, suami saya diizinkan melihat saya sekali lagi. Pada saat itu, saya berada di atas tempat tidur dalam keadaan kaki terbuka lebar menggantung pada pijakan kaki berbentuk pelana kuda, tanpa sehelai benang pun membaluti vagina. Sungguh pemandangan yang sangat memalukan untuk dilihat olehnya. Operasi berjalan dengan sangat baik. The next thing I knew, saya terbangun dengan rasa gugup dan menyadari ada sebuah dilator besar...di dalam vagina saya.
Hari itu juga, ketika tubuh mulai terasa lebih baik, kami pergi keluar untuk makan siang – masih dengan dilator menyangga di vagina. Dengan pertolongan underwear yang cukup ketat, maka dilator itu pun selalu tepat berada di posisinya kemanapun saya berjalan. Yang terpikirkan oleh saya saat itu hanyalah self-pity – mengapa saya bisa bernasib begini? Butuh waktu selama delapan hari hingga suntikan cairan botox itu bekerja masuk ke dalam tubuh. Tapi sebelumnya, saya harus merasakan benda bernama dilator itu masuk ke dalam vagina saya, for at least dua jam dalam satu hari, setiap harinya. Tapi penderitaan menyakitkan yang berlangsung sementara itu setimpal, karena kini I just feel...better.
Mengenakan celana sampai saat ini masih terasa sedikit tak nyaman. Tapi yang harus digarisbawahi di sini ialah saya bisa menikmati seks tanpa harus menahan sakit lagi. Pengaruh botox akan hilang dalam kurun waktu empat bulan. Paling tidak, otot-otot vagina ini sudah mulai bisa menyesuaikan diri untuk bisa relaks. Kalau semua berjalan sesuai rencana, dengan senang hati saya akan mencoba botox vagina untuk kedua kalinya. Tujuannya kali ini supaya jeans kesayangan saya tak lagi jadi sekadar pajangan di lemari tapi bisa saya pakai ke manapun, kapanpun, dengan rasa tak nyaman = zero. In the mean time, saya merasa sangat bersyukur karena 'teriakan dalam keheningan' saya sudah berhasil terlewati.
Treat Your Vagina RIGHT!
Kalau keluhan Anda, "My vagina is too small!" atau "My vagina is too tight!" maka Anda tak boleh asing lagi dengan:
Vagina Tightening
Bedah plastik untuk mengencangkan area dinding-dinding pada vagina dan memberi solusi untuk keluhan Miss Cheerful Anda yang oh-so-tight. Dengan begitu, Anda bisa merasakan setiap inci Mr.Happy menggesek 'liang kenikmatan' dengan sempurna. Prosedurnya sendiri memakan waktu 1-2 jam.
Vagina Rejuvenation
Untuk mengencangkan otot-otot pada vagina, memberinya kekuatan dengan kualitas seperti semula. Juga efektif mengurangi diameter vagina. (Cosmo/bee)
Source: Cosmopolitan Edisi Desember 2011, Halaman 233