Jum'at, 27 Januari 2012 | 14:50 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Banyak wanita tahu bahwa sepatu berhak tinggi seringkali tidak nyaman, tidak stabil, sekaligus tidak praktis. Namun, tetap saja kaum hawa ini memilih mengenakan sepatu jenis tersebut karena alasan meningkatkan kepercayaan diri.
Sepatu hak tinggi memang indah, tetapi menyakitkan. Para ilmuwan dari Australia menemukan bahwa mengenakan sepatu hak tinggi atau mengarahkan jari kaki ke bawah secara terus-menerus akan mengubah cara berjalan seseorang sehingga juga berisiko merusak otot-otot kaki secara permanen.
Para ilmuwan dari Griffith University Australia membandingkan satu grup pecinta hak tinggi dengan satu grup kontrol, yakni wanita berusia remaja akhir hingga usia 30-an tahun yang jarang mengenakan sepatu berhak tinggi. Para wanita tersebut diminta oleh para peneliti agar berjalan tanpa alas kaki kemudian diamati untuk mengetahui adakah ada perubahan dalam cara melangkah akibat menggunakan sepatu hak tinggi. Demikian tulis koran Amerika New York Times seperti dikutip kembali oleh situs Daily Mail edisi 26 Januari 2012.
Semua wanita itu diminta untuk berjalan di landasan pacu sepanjang 26 kaki yang dasarnya dipasangi sensor. Yang dimonitor adalah kekuatan masing-masing kaki saat menapak di tanah maupun sendi dan otot saat beraktivitas.
Hasil penelitian yang dipublikasikan bulan ini di Journal of Applied Physiology menemukan, meskipun saat berjalan di tanah yang rata, para penggemar hak tinggi, yaitu mereka yang kerap mengenakan alas kaki setinggi 2 inci atau lebih selama 40 jam per minggu atau lebih selama lebih dari dua tahun, mengalami cara berjalan yang disesuaikan secara mekanik dibandingkan dengan mereka yang bukan penggemar alas kaki berhak tinggi.
Para pengguna alas kaki datar melangkah lebih panjang dengan menggunakan tendon mereka untuk berjalan dan tidak banyak melibatkan betis mereka.
Perhatikan cara berjalan salah satu pesohor dunia yang gemar bersepatu hak tinggi, Victoria Beckham. Ia melangkah lebih pendek dan agresif, serta memberikan tekanan lebih pada otot betis, kata New York Times.
Cara berjalan seperti itu, menurut tim dari New York Times, adalah cara berjalan yang tidak efisien karena para pengguna sepatu hak tinggi memaksa betis mereka bekerja ekstra keras untuk melangkah ketimbang menggunakan tendon mereka yang mengontrol cara berjalan tanpa alas kaki.
The New York Times melaporkan bahwa temuan tersebut sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan bagi para peneliti yang diketuai oleh Dr. Neil J. Cronin yang saat ini sudah pindah ke University of Jyvaskyla, Finlandia.
Hasil penelitian untuk mengungkapkan bahwa setelah dua tahun, para pengguna sepatu hak tinggi akan cenderung untuk menderita kelelahan otot dan luka akibat tekanan.
Karena itu, kata Dr. Cronin, diperlukan perawatan khusus ketika melakukan olahraga dan memberikan tekanan pada tendon yang tidak sering tertekuk sepenuhnya. Disarankan juga untuk beristirahat sejenak dari penggunaan sepatu hak tinggi karena alas kaki jenis itu sebaiknya hanya dikenakan sekali atau dua kali seminggu.
ARBA'IYAH SATRIANI/ DAILY MAIL