Kompas.com - Masalah sehari-hari memang bisa membuat mood swing datang menghampiri. Jika cepat diatasi, hal itu adalah sesuatu yang normal. Tetapi waspadai jika perasaan atau mood sering berubah secara ekstrem pada waktu tertentu. Pada satu masa depresi, murung, hingga ingin bunuh diri, dan di waktu lain merasa gembira berlebihan dan bersemangat.
Perubahaan mood yang ekstrem tersebut merupakan salah satu ciri gangguan jiwa yang disebut dengan gangguan bipolar. Gangguan ini termasuk penyakit kronis, sering kambuh, dan bersifat episodik atau ada periode kambuh dan ada periode normal.
Menurut dr.Margarita Maria Maramis, Sp.KJ gangguan bipolar disebabkan karena gangguan pada neurotransmiter otak sehingga memengaruhi emosi pasien.
"Secara normal kita juga mengalami perubahan mood, tetapi hal itu tidak sampai merusak kehidupan atau relasi dengan orang lain. Pada pasien gangguan bipolar perubahan mood ini memengaruhi pikiran, energi dan perilaku," kata Maria yang juga staf pengajar di departemen psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Selain perasaan depresi, pasien juga mengalami gejala mania atau kumpulan gejala yang ditandai rasa senang yang tidak normal sehingga pasien mengalami semangat menggebu, aktivitas meningkat dan juga nafsu seksual meningkat.
Seperti yang dialami oleh Ibu Nita (48) yang menderita gangguan bipolar sejak usia 25 tahun. Ketika sedang dalam periode mania ia tidak ragu menunjukkan rasa sukanya pada lawan jenis. "Psikiater saja saya tawari kencan. Tapi saya hanya suka melihat-lihat cowok ganteng saja, kalau untuk berhubungan seksual tetap hanya dengan suami," katanya.
Sementara itu salah seorang pasien dr.Nurmiati Amir, Sp.KJ, seorang wanita dari desa di Jawa Barat yang setiap kali mengalami periode manik selalu datang ke kota Bandung dan bisa melakukan hubungan seks dengan pria yang baru dijumpainya.
"Tetapi setelah ia kembali normal muncul perasaan bersalah yang besar kepada keluarganya. Penyakit gangguan bipolar memang bisa mengubah kepribadian seseorang," kata Nurmiati.
Gangguan bipolar bukan hanya mengganggu fungsi kehidupan pasien dan keluarga, tapi juga berdampak buruk pada performa pekerjaan, aktivitas interpersonal, dan kualitas hidup keseluruhan. Menurut penelitian angka perceraian pada kelompok gangguan bipolar tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok normal.
Sayangnya mendiagnosis gangguan bipolar tidak mudah, apalagi gejalanya hampir mirip dengan skizofrenia. Padahal, diagnosis yang tidak akurat dapat meningkatkan angka bunuh diri dan juga mengakibatkan penyalahgunaan zat adiktif dan terjadinya seks bebas.
Sebenarnya gangguan bipolar bisa diobati, baik secara farmakologi atau pun intervensi psikososial. "Kedua terapi yang berkesinambungan tersebut bermanfaat sampai 90 persen memberikan perbaikan gejala," kata Maria.
Maria menambahkan, sasaran utama dari terapi gangguan bipolar adalah menstabilkan mood pasien dan mencapai remisi atau tidak kambuh lagi. Obat-obatan yang diberikan bertujuan untuk merangsang perbaikan sel-sel saraf otak.
"Obat-obatan yang ada sekarang ini bersifat jangka panjang. Karenanya pasien tidak boleh malas minum obat meski sudah merasa sembuh," kata Maria.
Selain pasien, dokter juga akan melibatkan anggota keluarga dalam terapi psikoedukasi. "Psikoterapi untuk pasien ditujukan supaya mereka mengenali penyakitnya, sedangkan pada keluarga diharapkan lebih paham dan bisa membantu pasien," katanya.