Kompas.com - Penyakit epilepsi yang ditandai dengan kejang berulang paling banyak, hampir 80 persen, ditemukan di negara miskin dan berkembang. Sayangnya, sekitar 60 persen penderita tidak mendapatkan terapi yang layak.
Penelitian mengenai kejadian penyakit epilepsi secara global tersebut dipublikasikan dalam jurnal The Lancet. Dalam editorialnya mereka meminta agar epilepsi juga menjadi prioritas kesehatan global.
Epilepsi merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh terganggunya aktivitas listrik otak sehingga memicu terjadinya kejang berulang. Ada sekitar 40 jenis epilepsi. Meski tidak termasuk penyakit mental, tapi epilepsi terjadi setelah cedera atau kerusakan di otak.
Menurut para peneliti, tingginya insiden epilepsi di negara berkembang terkait erat dengan faktor risiko seperti cedera kepala dan infeksi, misalnya dari cacing daging babi dan kebutaan sungai yang umumnya terjadi di benua Afrika.
Angka kematian pasien epilepsi, menurut Prof.Charles Newton ketua peneliti, lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Salah satu penyebabnya adalah terapi pengobatan yang salah.
"Hambatan penyakit epilepsi adalah mayoritas terjadi di negara miskin dan di sana kurang fasilitas untuk diagnosis, perawatan dan manajemen epilepsi," kata Newton.
Ia menambahkan, banyak orang di negara berkembang yang tidak paham bahwa epilepsi bisa dikendalikan dengan pengobatan yang tepat. "Karena itu pemahaman dan tata pengobatan harus ditingkatkan," katanya.
Adanya stigma dari masyarakat terhadap penyakit epilepsi juga membuat pasien enggan mencari pengobatan dokter. Di beberapa negara juga ada kepercayaan bahwa epilepsi adalah penyakit kutukan.