Oleh : Martin Khor *
Kalangan pemerhati kesehatan, masyarakat dan kelompok pro-pasien di seluruh dunia telah lama berjuang memprotes kesepakatan perjanjian perdagangan bebas yang sedang dalam proses negosiasi antara Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan negara-negara berkembang. Mereka khawatir dampak kesepakatan tersebut akan membawa kenaikan harga obat-obatan, khususnya jenis obat-obatan penting untuk melawan penyakit-penyakit mematikan.
Kesepakatan regional seperti ini akan lebih mempersulit atau bahkan bisa memblokir akses pemerintah dan pasien terhadap versi obat-obat generik yang lebih murah. Akibatnya, jutaan pasien tidak akan bisa mendapatkan obat-obatan penting untuk membantu mempertahankan hidup mereka melawan penyakit-penyakit mematikan karena mereka dan juga pemerintah mereka tidak mampu membeli produk obat-obatan bermerek (yang dipatenkan).
Isu memprihatinkan saat ini adalah Kesepakatan Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership Agreement/TPPA), yang sedang dalam proses negosiasi antara Amerika Serikat, Australia, Malaysia, Brunei, Vietnam, Singapore, New Zealand dan Peru.
Khususnya menyangkut perumusan bab tentang “kekayaan intelektual” TPPA, dimana AS dengan getolnya mengusulkan bahwa hak para pemegang paten (yang mayoritas adalah perusahaan-perusahaan farmasi raksasa) harus lebih “dilindungi”. Jika disepakati, hal ini akan berdampak buruk bagi para produsen obat-obatan generik, pemerintah negara-negara berkembang/miskin yang selama ini bergantung dan membeli stok obat-obatan untuk rumah sakit mereka, dan juga bagi para pasien.
Dalam perjanjian kesepakatan TRIPS Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pemerintah memiliki hak dan wewenang tersendiri untuk mengatur standar pagi pemberian (hak) serta untuk menolak aplikasi paten yang dianggap bukan merupakan hasil penemuan yang berdampak singnifikan.
Namun peraturan juga memungkinkan pemerintah untuk memberikan “ijin wajib” bagi perusahaan obat-obatan lain untuk memproduksi obat-obatan versi generik dari yang telah dipatenkan berdasarkan beberapa pertimbangan: bila perusahaan pemegang hak paten tidak memperkenankan perusahaan lain memproduksi (obat-obatan tersebut) tanpa alasan yang jelas, atau jika terjadi monopoli (oleh pemegang hak paten) atau dalam situasi dimana adanya upaya anti-kompetisi (oleh pemegang hak paten), dan yang terakhir adalah jika pemberian ijin memengaruhi kepentingan/hajat hidup orang banyak.
Dalam berbagai upaya negosiasi TPPA ini, AS mengusulkan kewajiban bagi negara-negara untuk memperketat undang-undang hak paten yang lebih ketat dari kesepakatan TRIPS WTO. Hal ini untuk memberi lebih banyak hak istimewa bagi para perusahaan farmasi raksasa tersebut untuk menikmati paten mereka, serta membatasi pemerintah negara-negara berkembang untuk memanfaatkan peraturan “fleksibilitas” yang dijinkan oleh WTO.
Kajian organisasi kemanusiaan medis internasional MSF (Medecins Sans Frontieres/Dokter Lintas Batas), pemenang penghargaan Nobel Perdamaian, menguraikan dampak buruk bagi dunia kesehatan jika usulan Amerika Serikat disepakati dalam TPPA.
Kajian tersebut menekankan pentingnya obat-obatan generik. Harga obat-obatan paten HIV generasi pertama telah berhasil diturunkan 99 per sen dari harga aslinya dalam dekade terakhir -- dari 10.000 dollar AS (Rp. 95.830.000) per orang di tahun 2000 menjadi sekitar 60 dolar AS (Rp. 574.980) saat ini -- berkat upaya produksi obat-obatan generik di India, Brazil dan Thailand dimana obat-obat tersebut belum dipatenkan.
Penurunan harga yang dramatis ini telah memampukan upaya peningkatan penangan dan pengobatan HIV/AIDS sehingga bisa menjangkau lebih dari 6 juta orang di negara-negara berkembang.
MSF berpendapat bahwa usulan AS dalam TPPA akan menimbulkan berbagai masalah-masalah berikut ini :
Pertama, usulan AS akan memperluas ruang lingkup paten: AS ingin membuat proses mematenkan bentuk-bentuk baru obat lama menjadi lebih mudah, walaupun (produk baru tersebut) tidak menawarkan khasiat terapi tambahan bagi pasien. Aturan WTO memungkinkan pemerintah untuk memutuskan jenis "inovasi" yang layak untuk dilindungi oleh hak paten. Namun, usulan AS membatasi kemampuan pemerintah untuk menentukan apa yang bisa "dipatenkan". AS mendesak ijin pematenan sebuah "bentuk baru, penggunaan, atau metode penggunaan" produk yang sudah ada - bahkan jika tidak ada peningkatan khasiat atau jaminan keberhasilan.
Kedua, AS ingin negara-negara lain untuk memungkinkan paten bagi tanaman dan hewan, dan metode diagnostik, terapi dan bedah untuk pengobatan manusia, meskipun Perjanjian TRIPS WTO memungkinkan negara-negara untuk mengecualikan paten untuk hal-hal tersebut diatas.
Ketiga, AS mengusulkan untuk membatasi persetujuan awal oposisi paten, meskipun aturan WTO memungkinkan hal ini.
Keempat adalah usulan untuk memiliki bentuk-bentuk baru penegakan dan pelaksanaan pertauran Kekayaan Intelektual, seperti mengijinkan petugas bea cukai untuk menyita pengiriman obat (bahkan dalam transit), walaupun hanya berlandaskan dugaan belaka bahwa paket tersebut adalah produk palsu, demi mengurangi pelanggaran terhadap Kekayaan Inteltual.
Kelima, dan yang paling serius, adalah usulan AS tentang "eksklusivitas data". Hal ini akan mencegah perusahaan obat generik menggunakan data penelitian klinis yang ada (yang telah dimasukan sebelumnya oleh perusahaan obat originator) untuk mendapatkan persetujuan peraturan obat-obatan mereka, sehingga produsen obat generik terpaksa harus melakukan duplikasi uji klinis atau harus menunggu sampai periode masa "monopoli data" berakhir.
Keenam, AS ingin jangka waktu hak paten diperpanjang dari aturan yang diterapkan WTO (20 tahun) menjadi lebih dari 20 tahun. AS diperkirakan akan berusaha keras untuk memperpanjang periode hak paten untuk mengkompensasi keterlambatan administrasi dalam proses regulasi.
Tujuh, AS berusaha untuk menghubungkan isu hak paten dengan peraturan keamanan obat-obatan, dan akan memberdayakan jajaran otoritas pengawas obat sebagai "polisi paten", menurut MSF.
Di Malaysia, beberapa kelompok pemerhati kesehatan masyarakat dan kalangan medis telah mengeluarkan pernyataan bersama menentang usulan AS yang menurut mereka akan mengurangi akses terhadap obat-obatan.
"Kami secara tegas menentang tuntutan AS untuk memperpanjang hak paten obat-obatan dan dan teknologi medis yang penting untuk menyelamatkan nyawa masyarakat Malaysia," kata pemimpin dari National Cancer Society Malaysia, Breast Cancer Welfare Association, Malaysian AIDS Council, MTAAG +, Thoracic Society Malaysia dan Mental Health Association Malaysia.
Menurut mereka, (penanganan penyakit) kanker payudara membutuhkan obat-obatan kemoterapi yang murah. Jenis obat-obatan HIV seperti Kaletra saja masih dianggap mahal saat ini, padahal obat ini diperlukan untuk mempertahankan dan memperpanjang hidup penderita HIV.
Masih banyak upaya penanganan penyakit lain seperti kanker, TBC, malaria dan diabetes, yang juga sangat bergantung pada obat-obatan generik.
Mereka menambahkan bahwa obat-obatan yang dipatenkan sangatlah mahal harganya, untuk pengobatan Glivec (untuk mengobati kanker gastro-intestinal) misalnya, butuh Rp 30.680.000 setiap bulannya per pasien. Sorafenib Tosylate (untuk mengobati kanker hati dan kanker ginjal) membutuhkan biaya Rp. 30.265.820 per bulan untuk 1 pasien, sedangkan dengan obat versi generik-nya hanya membutuhkan biaya sekitar Rp 1,1 juta saja.
Mereka meminta agar usulan AS, termasuk untuk perpanjangan masa paten, hubungan data, dan langkah-langkah pengawasan perbatasan, ditolak.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan proses negosiasi TPPA yang sedang berlangsung dan dilakukan sepenuhnya secara rahasia ini. Karena mempengaruhi kesehatan publik/kepentingan orang banyak, negosiasi ini seharusnya secara transparan sehingga masih ada ruang untuk pengawasan publik. Situasi ini mendesak, karena upaya-upaya negosiasi TPPA berlangsung dengan intensitas yang sangat cepat dan dijadwalkan harus selesai pada akhir tahun ini.
* Direktur Eksekutif South Centre dan Kolumnis Koran Malaysia, The Star