Jakarta, Kompas - Pasien miskin dan pengguna jaminan kesehatan sosial tetap diam meski mengalami diskriminasi layanan rumah sakit. Mereka terpaksa menerima ketidakadilan itu karena tak tahu hak dan kewajibannya.
"Orientasi profit rumah sakit membuat pasien yang mampu membayar mendapat layanan lebih berkualitas daripada pasien miskin," kata Arief Rachmat Fauzi, pemenang pertama Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia Ke-11 untuk kategori Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan, di Jakarta, Kamis (27/9).
Arief adalah mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada. Penelitian tentang diskriminasi layanan publik itu dilakukan di sebuah rumah sakit umum besar di Yogyakarta.
Menurut hasil penelitian, diskriminasi dilakukan semua petugas rumah sakit, mulai dokter hingga petugas kebersihan, dan terjadi sejak pendaftaran pasien hingga pelaksanaan operasi.
Di loket pendaftaran, pasien dengan jaminan kesehatan sosial akan dilayani terakhir meski mereka datang lebih awal. Jumlah loket bagi mereka lebih sedikit.
Saat meminta informasi layanan, pasien miskin sering dipingpong. Informasi dari perawat dan dokter tentang kesehatan pasien sering berbeda. Selain itu, pelayanan, tutur kata, dan sikap perawat, dokter, hingga petugas kebersihan lebih baik kepada pasien di kelas lebih tinggi. "Kebijakan rumah sakit, gaji yang tak seimbang dengan beban, perbedaan status sosial pemberi layanan dan pasien memicu terjadinya diskriminasi," ujarnya.
Dosen Politik dan Kebijakan Publik Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Andrinof A Chaniago, mengatakan, diskriminasi layanan publik masih terjadi di mana-mana, termasuk rumah sakit besar yang mengantongi berbagai penghargaan.
"Pembedaan layanan antarkelas perawatan rumah sakit umum sulit dihindari, tapi seharusnya tak mencolok," ujarnya.
Andrinof mengingatkan penyelenggara layanan publik, termasuk rumah sakit, terikat UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Ada prinsip dan standar layanan yang harus dipatuhi.
Untuk meningkatkan layanan publik, peningkatan kesejahteraan petugas, subsidi silang antarkelas perawatan, pembiayaan pemerintah yang memadai, serta pendidikan hak dan kewajiban pasien harus dilakukan seiring. (MZW)