Jakarta, Kompas - Uji toksisitas merupakan hal terpenting dalam mengembangkan dan memproduksi obat herbal.
Hal itu ditekankan ahli farmasi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Keri Lestari Dandan, dalam 2nd Anniversary and Scientific Seminar "Preparing Indonesia for Studies in Herbal Medicine" yang diadakan Asosiasi untuk Studi Obat di Indonesia (IASMED), Sabtu (22/9/2012), di Jakarta.
Uji toksisitas memberikan informasi tentang bahaya kesehatan akibat paparan bahan tertentu pada tubuh. "Kalau hasil uji toksisitas suatu obat herbal buruk dan tidak bisa diperbaiki, sebaiknya pengembangannya tidak diteruskan," kata dia.
Pengujian toksisitas akut, subkronis, dan kronis penting, biasanya obat herbal digunakan dalam jangka waktu lama. Jika pada pengujian toksisitas akut zat uji hanya diberikan satu kali atau beberapa kali pada hewan, coba dalam pengujian subkronis pemberian zat uji berulang selama 90 hari. Adapun pada uji toksisitas kronis pemberian zat berulang selama satu tahun. Peneliti melihat efek pemberian berulang pada organ seperti hati dan ginjal. Uji toksisitas subkronis dan kronis kerap dilewatkan karena perlu waktu panjang.
Tanaman yang dikembangkan sebagai obat herbal harus mempertimbangkan tujuan pengobatan. Sebagai contoh, ekstrak biji pala mengandung safrole dan myristicin. Untuk pengembangan obat diabetes, kedua zat itu harus dihilangkan karena dalam jangka panjang dapat merusak ginjal. Sebaliknya, jika untuk insomnia, kedua zat itu dibutuhkan.
Keri berpandangan, jika ingin menyejajarkan herbal dengan obat berbahan kimia, pengujian terstandar menjadi penting agar herbal dapat digunakan secara aman. Obat herbal juga akan mudah masuk ke sistem kesehatan formal.
Ketua Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia Hardhi Pranata mengatakan, dibutuhkan perjuangan bagi herbal untuk masuk ke sistem kesehatan formal. Dokter enggan memasukkan herbal sebagai terapi tanpa adanya bukti ilmiah.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu, Charles Saerang, mengatakan, industri jamu berkembang. Jika tahun 2006 omzet industri jamu Rp 5 triliun, tahun 2011 meningkat menjadi Rp 11 triliun. Sampai akhir tahun 2012 diperkirakan omzet industri jamu mencapai Rp 13 triliun.
Sampai tahun 2015, potensi penjualan lokal jamu diperkirakan Rp 20 triliun dan ekspor sekitar Rp 16 triliun. Saat ini tercatat ada 10 industri jamu skala menengah dan sekitar 1.000 industri jamu skala kecil.
Tantangan obat herbal antara lain masuknya jamu impor, kasus penambahan bahan kimia obat ke jamu yang dapat merusak citra, dan beralihnya masyarakat dunia pada pengobatan alam mendorong perburuan bahan baku di Indonesia. (INE)