Jakarta, Kompas - Kebijakan fiskal diperlukan untuk mengendalikan bahaya rokok di Indonesia. Selain kenaikan cukai rokok, pemerintah perlu segera memberlakukan pajak rokok.
Cukai dan pajak rokok yang tinggi diharapkan menurunkan keterjangkauan harga rokok sehingga makin sedikit masyarakat yang bisa mengonsumsinya. Dana yang diperoleh bisa digunakan untuk promosi kesehatan dan membangun fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok.
Masalah itu dibahas dalam seminar "Peranan Kebijakan Fiskal dalam Promosi Kesehatan Melalui Pengendalian Tembakau", Selasa (6/11), di Jakarta. Seminar diadakan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Abdillah Ahsan, Koordinator Penelitian Aspek Ekonomi dan Pengendalian Tembakau, Lembaga Demografi UI, mengatakan, Indonesia akan mengalami bonus demografi hingga tahun 2030. Bonus demografi adalah kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) di suatu negara sangat besar dibandingkan penduduk tidak produktif.
Rasio ketergantungan, yakni jumlah usia produktif yang menanggung orang usia tidak produktif, hingga tahun 2030 akan makin turun. Tahun 1971 rasio ketergantungan 86. Artinya, tiap 100 orang produktif akan menanggung 86 orang tidak produktif. Tahun 2030 diperkirakan rasio turun menjadi 44.
Abdillah mengingatkan, bonus demografi tercapai jika produktivitas penduduk usia kerja tinggi. Hal itu bisa dicapai jika penduduk memiliki pendidikan dan kondisi kesehatan yang baik.
Ironinya, kondisi kesehatan penduduk usia kerja terancam rokok. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan prevalensi merokok penduduk Indonesia meningkat. "Jika konsumsi rokok tidak dikendalikan, dampak buruk konsumsi rokok akan dialami," kata Abdillah.
Djaka Kusmartata dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mengatakan, pajak rokok akan dikenakan sebesar 10 persen dari cukai rokok dan diberlakukan Januari 2014. (IND)