KOMPAS.com - Studi mengenai status gizi anak (South East Asia Nutrition Survey/SEANUTS) untuk wilayah Indonesia menunjukkan, secara umum program gizi yang dilakukan pemerintah kepada bayi dan anak-anak selama ini masih perlu ditingkatkan. Indonesia menghadapi beban ganda kekurangan gizi dan kelebihan gizi.
Dalam pemaran hasil studi di Jakarta, Rabu (14/11/12), Sandjaja, ketua pelaksana studi, menyebutkan kondisi kekurangan zat gizi mikro terutama vitamin A, anemia, dan yodium, sudah jauh menurun dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2010. Akan tetapi masih ada masalah lain yang belum terselesaikan, yakni jumlah anak pendek (stunting) yang masih mencapai 34 persen, berbeda sedikit dengan Riskesdas 2010 yang angkanya mencapai 35 persen. Sementara itu gizi kurang masih diderita 6,9 persen anak Indonesia.
"Kekurangan zat gizi mikro bisa diturunkan secara bermakna, bahkan secara klinis dan subklinis kita bebas kekurangan vitamin A. Ini berarti program suplementasi yang dilakukan pemerintah cakupannya tinggi," kata Direktur Bina Gizi Kementerian Kesehatan, Minarto, dalam kesempatan yang sama.
Untuk persoalan stunting dan gizi kurang, menurut Minarto, tidak cukup diselesaikan dengan program suplementasi, namun perlu intervensi sejak kehamilan. Karenanya, saat ini pemerintah memfokuskan pada 1.000 hari pertama, yakni sejak kehamilan sampai bayi berusia dua tahun. Persoalan gizi lain yang mengemuka adalah anak kegemukan atau obesitas.
"Dibandingkan dengan negara tetangga, angka di Indonesia memang masih kecil hanya 3,1 persen tetapi sejak tahun 2000 terus terjadi peningkatan," kata Sandjaja.
SEANUTS merupakan survei mengenai status gizi anak-anak usia 6 bulan sampai 12 tahun secara komperhensif. Studi yang dibiayai sepenuhnya oleh FrieslandCampina itu dilakukan oleh Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) di 48 kabupaten/kota dari 25 provinsi dengan responden mencapai 7.200 anak. Studi ini juga dilakukan di Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang bekerja sama dengan universitas atau lembaga setempat.
Menurut Hendro Harijogi, director public affair and regulatory affairs FrieslandCampina, hasil studi tersebut diharapkan bisa melengkapi data gizi yang sudah ada. Keempat negara dipilih karena dianggap mewakili 80 persen negara di wilayah ASEAN. "Selama ini pengembangan produk dilakukan berdasarkan studi di negara Barat. Dengan SEANUTS, kami bisa mengetahui kondisi sebaran gizi paling baru," kata Hendro.
Ia menambahkan, data studi ini dimaksudkan terbukan dan bisa dipergunakan, tetapi dengan prosedur tertentu. "Tentu, kami menetapkan prosedur agar data bisa dipakai secara bertanggung jawab," katanya.
SEANUTS dilakukan dengan cara-cara penelitian yang sesuai dengan standar WHO. Selain kuisioner, pengambilan data juga dilakukan dengan pengukuran antropometri dan biokimia, serta analisa oleh pakar kesehatan anak.