The Everyday Heroes: Mereka Berbagi karena Cinta

Beranda - Kompas Female
http://4skripsi.blogspot.com/
The Everyday Heroes: Mereka Berbagi karena Cinta
Nov 10th 2012, 08:42

KOMPAS.com - Betapa dahsyatnya kekuatan cinta. Karena cinta, seseorang bisa tergerak untuk melakukan sesuatu yang besar. Dengan cinta, kita jadi punya energi yang besar untuk menghadapi segala tantangan. Berkat cinta, Anda mampu berempati pada orang lain, dan mengorbankan sebagian kehidupan Anda untuk menolong orang lain.

Itulah yang terjadi pada tiga perempuan ini: Yulia Absari Baso alias Ijul Baso, Ina Madjidhan, dan Dessy Suprihartini alias Ibu Uun. Berbekal kekuatan cinta, dengan cara masing-masing mereka bergerak untuk berbagi pada sesama. Karena kecintaannya pada anak-anak, Ijul Baso memutuskan berhenti bekerja dan memilih menjadi relawan di berbagai komunitas sosial yang peduli pada peningkatan kualitas pendidikan anak-anak kurang mampu.

Berawal dari berbagi nasi bungkus untuk para pemulung setiap hari Jumat, Ina Madjidhan yang memiliki kehidupan yang terbilang mapan menggagas Gerakan Berbagi. Gerakan ini berfokus pada empat bidang: pangan, kesehatan, pendidikan, dan tanggap darurat, dengan pertimbangan bahwa satu sama lain saling berkaitan.

Kehidupan masa kecil yang susah membulatkan tekad Ibu Uun untuk berkeliling kampung di Parung Panjang, Bogor, memberikan bantuan apa saja bagi masyarakat miskin di sekitarnya. Dari memberi bantuan pangan untuk anak dengan gizi buruk, mendampingi pasien kanker serviks yang tak punya akses ke layanan kesehatan, hingga mengurus pemakaman mereka yang menyerah karena penyakitnya.

Apa yang membuat Ijul dan Ina rela melepaskan sebagian kehidupannya yang telah mapan dan memilih turun langsung membantu orang-orang yang kekurangan?

Ina mengenang pada Mei 2010, usai shalat Maghrib, ketika tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. "Sepanjang hidup, saya merasa hidup saya kok begini-begini saja. Kehidupan saya cukup, tapi cukup aja. Saya cuma mikirin diri sendiri," ujar Ina, yang berlatar pendidikan komunikasi visual dari Australia, suatu pagi di Poste Kitchen & Bar, Mega Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Ia kemudian terpikir untuk membagi nasi bungkus kepada para pemulung, penyapu jalanan, supir truk, siapa saja yang dianggapnya membutuhkan di sekitar tempat tinggalnya di Cinere. Diajaknya pula beberapa orang temannya. Sejak pertama dilakukan, gerakan Nasiku Nasimu ini tidak pernah absen dilakukannya tiap Jumat hingga sekarang. Pembagian nasi juga sudah tersebar ke beberapa titik di Jakarta, bahkan gerakan ini sudah bergulir ke Padang dan Jogjakarta. Nasi bungkus sengaja dipesan ke ibu-ibu, supaya mereka pun bisa mendapatkan penghasilan dari sini.

Untuk bidang kesehatan, Ina antara lain menggiatkan orang untuk menjadi pendonor darah aferesis, untuk pasien kanker yang terganggu sistem pembekuan darahnya akibat pengobatan dengan radiasi atau kemoterapi. Hampir setiap hari ia mengunjungi rumah sakit-rumah sakit untuk mencari anak-anak yang membutuhkan pendonor. Ia sudah punya sejumlah pendonor tetap yang siap siaga, supaya para pasien cepat tertolong. 

Ibu Uun, yang sejak tahun 1988 bekerja di Yayasan TBC, pada tahun 2000 memutuskan untuk mengundurkan diri supaya bisa total bekerja secara independen membantu warga miskin. Di kawasan Bogor Barat, menurutnya banyak kasus anak yang menderita gizi buruk dan perempuan yang mengidap kanker serviks. Baginya, untuk bekerja sosial kita tidak perlu membayangkan untuk membantu masyarakat di pelosok Indonesia lainnya.

"Ngapain jauh-jauh, yang dekat saja masih banyak yang membutuhkan bantuan?" serunya.

Tiap hari Ibu Uun keluar masuk desa untuk menimbang badan anak-anak, dan ngobrol dengan ibu mereka. Banyak hal mengenaskan ia temukan di sini. Uun heran, mengapa meski sudah diberi sumbangan makanan yang bergizi, berat badan anak-anak itu sulit sekali naik. Ternyata, makanan sumbangan itu dibagikan lagi untuk delapan anak. "Pantesan (berat badan) anak balita nggak naik-naik. Naik 1 kg saja susah. Paling naiknya 1/2 ons," katanya.

Di kawasan tersebut, Ibu Uun juga memberikan penyuluhan bagi para perempuan. Ia bertekad, para perempuan tidak boleh bodoh meskipun kondisinya miskin. Perempuan harus bisa berdaya, paling tidak untuk diri sendiri. Ibu Uun mengajarkan warga menyiapkan surat-surat sebagai persyaratan pembuatan JAMKESDA, supaya mereka bisa mendapatkan layanan kesehatan di rumah sakit. Ia juga pernah menggelar pernikahan massal, dan membantu para perempuan mengurus surat N1 hingga N4 di KUA untuk melegalisasi perkawinannya.

Suka-duka mereka
Yang tak kalah penting saat mendampingi warga yang sakit adalah memberikan semangat hidup. Menurut Uun, percuma jika ia berjuang membantu pengobatan jika si pasien sudah tak bersemangat untuk sembuh.

"Saya bahagia kalau bisa menolong anak yang tadinya berstatus gizi buruk menjadi bergizi baik. Saya bahagia ketika seorang ibu mampu berjuang mandiri (untuk mendapatkan layanan kesehatan)," ujarnya. "Dukanya kalau terlambat menolong, pasien sudah komplikasi sehingga dalam seminggu sudah meninggal. Ada juga perempuan yang mengidap kanker serviks pada stadium 4, tetapi suaminya malah minta cerai. Bahkan anaknya juga dibawa suaminya...."

Ina juga merasakan pentingnya pendampingan pasien dan orangtuanya. Bagaimana agar seseorang bersedia patuh pada takdirnya. Ketika seorang pasien anak tidak bisa ditolong lagi, ia mendampingi keluarga agar dapat mengantar anak berpulang dengan cara yang bermartabat. Agar orangtua ikhlas menyiapkan kepergian sang anak, dibutuhkan pendampingan intens yang menurut Ina bisa tiga kali seminggu.

Mengajak orang untuk menjadi pendonor juga bukan hal yang gampang. Untuk menjadi pendonor, seseorang harus berkomitmen waktu karena prosesnya yang lama. "Sebelum mendonor, mereka (calon pendonor) saya ajak ketemu pasien dulu supaya lebih ada kedekatannya. Interaksi, ngobrol, dengerin keinginan mereka. Lalu ketika tiba waktunya untuk mendonorkan darahnya, saya katakan, 'Kamu masih inget kan, si A? Dia perlu kamu sekarang'," tutur Ina.

Tantangan yang dihadapi Ijul, yang berkonsentrasi di bidang pendidikan anak, tak jauh berbeda. Bukan hanya anak-anak yang harus mendapat binaan, tetapi juga orangtuanya. Pada anak-anak, pelajaran sederhana seperti membuang sampah atau budi pekerti lainnya lebih mudah diterima. Yang sulit adalah pendekatan pada orangtua.

"Orangtua lebih sulit menerima, bahkan yang sudah lama (menerima binaan) saja susah. Kalau anak, pelajaran itu akan lebih mudah tersimpan di memorinya. Untuk mengubah orangtua, kami nggak bisa menjamin sepenuhnya. Butuh waktu lama untuk mengubah mindset orangtua," kata Ijul, yang memilih menjadi relawan "freelance" di berbagai komunitas, seperti Komunitas Lebah, Hadiah Sahabat, Kelinci, dan 1N3B (1 Nusa, Bahasa, Bangsa, Bumi).

Tak jarang mereka menerima penolakan dari orang yang ingin mereka bantu. Ijul kadang-kadang merasa kesulitan mencari anak untuk diajak bermain atau belajar. Sebab, banyak orangtua menganggap anak-anak itu lebih baik membantu orangtua bekerja. Sedangkan Ina jadi mengerti bahwa tidak semua orang "miskin" butuh pertolongan. Soalnya, orang-orang yang dikiranya hidup miskin dan susah itu ternyata nyaman-nyaman saja dengan hidupnya.

Pengorbanan mereka
Ada banyak tantangan yang mereka hadapi sehari-hari, yang berkaitan dengan pembinaan, pendampingan, dan birokrasi di berbagai instansi. Namun tantangan terbesar justru datang dari lingkungan keluarga dan pergaulan mereka sendiri.

Ina dan Ijul sepakat, menjadi pekerja sosial harus siap terhadap dua pilihan: dikagumi atau dicibir. Niat baik mereka kerap ditanggapi dengan cibiran oleh sebagian orang di lingkungan pergaulan mereka. Susah hidup mapan, untuk apa sih repot-repot mengurusi orang miskin dan orang sakit? Ina, yang di waktu senggangnya menjadi pengajar senam, mengaku banyak kehilangan teman.

"Kerja sosial itu full time job, nggak bisa cuma dilakukan saat weekend. Karena, anak-anak (yang sakit) itu ada setiap saat. Bahkan awalnya suami sempat minta saya berhenti melakukan kegiatan ini untuk berpikir dulu. Hidup harus penuh kalkulasi, katanya. 'Is it worth it? Waktu, uang, kehidupanmu kamu potong'. Saya sempat perang batin. Stres," katanya.

Mereka juga dinilai hanya ingin cari nama dengan menjadi pekerja sosial. Apalagi, mereka banyak sharing mengenai kegiatan mereka melalui media sosial. Media sosial memang menjadi sarana bagi mereka untuk memberi kabar dan mencari sumbangan.

"Kerja sosial kok digembar-gemborkan di socmed? Anggapan itu membuat kami dinilai tidak tulus. Ada yang bilang uang donasi dipakai (untuk kepentingan pribadi). Padahal, uang sumbangan kan dipakai untuk mendanai kegiatan, bukan membayar relawan. Menghadapi cibiran seperti itu, saya tutup kuping saja. Terserah apa kata orang. Biar saja mereka lihat sendiri hasilnya," kata Ijul, yang lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (NHI).

Ia tidak mengelak, dari segi penghasilan, menjadi pekerja sosial tidak bisa dibandingkan dengan ketika mereka bekerja kantoran. Tidak ada gaji dan tunjangan tetap yang mereka. Untuk mencari nafkah, mantan staf di Kedutaan Amerika ini bekerja paruh waktu sebagai penerjemah di Himpunan Penerjemah Indonesia.

Baik Ijul maupun Ina tidak membutuhkan waktu lama untuk berpikir dan memantapkan diri menjadi pekerja sosial. Mereka merasa menerima kebahagiaan yang berkali lipat dengan menjalani pilihan hidup mereka ini.

"Waktu melihat senyum mereka saat menerima bantuan kami, rasanya tidak bisa dilukiskan. Sebenarnya mereka lah yang memberi saya banyak pelajaran hidup. Saya jatuh cinta tiap hari, dan setiap pagi saya bangun dengan berpikir, siapa yang bisa dibantu hari ini. Cinta saya yang sedikit ternyata impact-nya banyak," tutur Ina dengan mata berkaca-kaca.

Ia menyadari, hanya segelintir orang yang bersedia melakukan tindakan nyata untuk membantu sesama. Tetapi yang sedikit itulah yang memang diperlukannya. Bagaimana pun, setiap orang punya fungsinya sendiri. Namun, setiap orang harus punya perasaan bahwa kita diperlukan orang lain. Setiap orang punya kemampuan untuk melakukan kebaikan, dengan atau tanpa ketrampilan.

"Dasar dari semua ini adalah cinta. Kalau nggak, nggak akan maksimal," sambung Ijul. "Saya bahagia melihat wajah anak-anak yang antusias ketika bermain bersama kami. Senengnya itu nagih."

Ibu Uun juga menegaskan, tanpa materi pun kita tetap bisa berbagi. Ia senang karena bisa menularkan semangat berbaginya. Terlihat dari banyaknya perempuan yang pernah dibantu kini ingin mengikuti jejaknya, membantu warga yang kekurangan. Cinta mereka sanggup menguatkan dan menggerakkan, menjadi virus yang menular ke lingkungan sekitarnya.

Editor :

Dini

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions
Next Post Previous Post