KOMPAS.com - Jembatan merah di Kebun Raya Bogor ternyata bisa dengan apik membingkai pinggul. Cerita rakyat pada relief di Candi Borobudur pun bisa dituangkan jadi motif kain cantik yang membalut tubuh.
Desain busana yang menonjolkan motif cetak digital bukan barang baru di jagat mode. The New York Times awal tahun ini mencatat tren itu sudah bertahan tak kurang dari 10 tahun, sejak koleksi Balenciaga yang eksplosif pada 2001 dan otoritas ranah cetakan Prada.
Pekan Mode London untuk musim panas 2013 yang digelar September lalu pun masih memeragakan kekuatan motif cetak, antara lain lewat karya Mary Katrantzou dan Peter Pilotto.
Di Indonesia, perancang Ghea Panggabean menjunjung tradisi misalnya dengan eksplorasi celup ikat dan batik, tetapi sudah bertahun-tahun pula ia menuangkan motif tradisional seperti jumputan dan tenun melalui cetakan pada kain. Dalam koleksi terbaru bertajuk "Symbolism", Ghea masih konsisten bercerita tentang Indonesia antara lain dengan teknik cetak digital.
"Kali ini bukan unsur kain yang menginspirasi saya, tetapi wayang," ujar Ghea. Selain gemar mengoleksi kain antik Indonesia, Ghea memang kolektor wayang dari berbagai daerah. Ia memindahkan citra wayang melalui cetak digital pada kain sutra, sifon, dan satin. Beludru dan tulle digunakannya sebagai padu padan.
Meski eksplorasi cetak digital bukan hal baru, butuh waktu tiga tahun bagi Billy Tjong untuk memberanikan diri menuangkan ceritanya tentang Indonesia lewat motif cetak pada kain. "Di luar negeri orang biasa lebih ekspresif seperti terlihat di motif cetaknya. Tetapi di Indonesia, saya sempat enggak pe-de, apa orang bakal suka dengan motif jembatan atau cabe, petai, terong, dan nanas di bajunya," ujar Billy.
Selain merancang busana, Billy juga seorang fotografer. Motif yang ia cetak pada kain dalam koleksi desainnya kali ini merupakan hasil jepretan kamera yang ia bawa dalam perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia. Koleksi bertajuk "Mi Paradiso" itu adalah pengalaman pertama Billy mengolah kain dengan teknik cetak digital.
"Foto-foto itu jadi inspirasi saya untuk menentukan seperti apa desain bajunya," kata perancang yang berkarier sejak tahun 2000. Sawah yang membentang indah di Ubud, Bali, misalnya disuguhkan Billy sebagai motif rok pensil. Warna hijau sawah itu ia kontraskan dengan warna langit yang diubah secara digital menjadi ungu.
Sementara keindahan bawah laut dipadukan dengan karang dan mutiara yang ia potret terpisah, menjelma pada sebuah gaun ketat memeluk tubuh dengan pundak terbuka. Dengan bordir, Billy menambahkan aksen yang menyerupai koral laut menjalar pada gaun berbahan sutera dupion.
Kekhawatiran Billy untuk meluncurkan desain baju dengan teknik cetak ini terpatahkan oleh sambutan pasar. Ia mencontohkan, gaun berpemandangan bawah laut itu misalnya terjual dengan harga Rp 50 juta lewat lelang. Padahal, Billy mematok harga untuk "Mi Paradiso" yang juga koleksi busana siap pakai pertamanya pada kisaran Rp 250.000 hingga Rp 5 juta.
Kata Billy, dalam benaknya ia sudah menyusun lebih banyak cerita yang terekam lewat kameranya untuk dituangkan menjadi gaun-gaun cantik lewat cetak digital. "Masih banyak banget yang bisa diceritakan tentang Indonesia," ujarnya.
Relief candi
Bermain dengan cetak digital dalam koleksi bertajuk "Antiquated Modernity", juga pengalaman pertama bagi Yosafat Dwi Kurniawan. Perancang berusia 24 tahun ini memilih cetak digital karena terpikat pada relief Candi Borobudur. Yosafat mengolah hasil jepretan kameranya untuk menyusun ulang cerita rakyat pada relief candi itu.
Mempertahankan warna batu yang keabu-abuan pada kain dengan motif cetakan digital bukan hal mudah, karena hitam dan putih justru bukan warna yang tersedia dalam percetakan yang bisa ditemukan Yosafat di Jakarta. "Perlu waktu sebulan untuk eksperimen sampai ketemu warna yang pas," ujarnya.
Tak sekadar itu, ia juga mencetak motif pada kain tulle yang berlapisan payet penuh. "Biasanya satu jam nge-print bisa dapat empat meter kain. Karena di atas tulle berpayet jadinya dua-tiga jam baru dapat dua meter karena mesinnya harus bolak-balik berhenti," ujarnya.
Jerih payah mencetak itu menghasilkan gaun panjang pas tubuh tanpa lengan dengan punggung terbuka. Relief candi pada gaun itu membingkai sisi-sisi tubuh, menampilkan siluet seksi sekaligus anggun. Payet halus yang menutup lapisan bahan jala tipis ini memberi efek berkilat dan mewah.
Yosafat memperhitungkan dengan cermat di bagian mana motif cetakan itu ia tempatkan pada busana. Meski tetap menggunakan konstruksi rumit yang menjadi ciri potongannya, Yosafat memilih siluet-siluet sederhana. Dengan begitu, motif cetakannya menjadi sorotan dalam porsi yang pas.
Begitulah, tak terbatas kreasi yang bisa menampilkan wajah Indonesia melalui kain-kain cantik. Koleksi Ghea, Billy, dan Yosafat ini sempat ditampilkan pada ajang Jakarta Fashion Week 2013, November lalu.
(Nur Hidayati)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini