KOMPAS.com - Saya terkesan pada seorang teman, ia adalah Product General Manager di perusahaan multinasional yang beroperasi secara global. Ia sudah benar-benar pekerja internasional. Hidupnya naik turun pesawat. Gaji dan upah sangat berlebih.
Pada suatu hari ini memutuskan untuk kembali ke tanah air, berpikir untuk bekerja di sebuah sekolah saja. Apa alasannya? Ia mengatakan bahwa pada suatu titik ia merasa bahwa ia hanya ingin berbuat lebih banyak untuk keluarganya dan bahkan buat negaranya. Meskipun pada akhirnya, ia tetap bekerja sebagai profesional di bidangnya, namun ia memilih berkarya di perusahaan swasta nasional yang dikenal tidak modern, bahkan tidak terlalu kondusif, karena ingin lebih menikmati kariernya sendiri. Lagi-lagi kita diingatkan betapa gaji tinggi tidak selalu dicari dan tidak selalu memuaskan orang.
Di sisi lain, kita tetap melihat banyak profesional "kutu loncat" yang menggunakan uang sebagai ukuran kesuksesannya. Beberapa profesional yang berusia 35-45 tahun, kerap mengeluhkan generasi milenial, yaitu mereka yang baru lulus atau baru bekerja profesional 2-3 tahun. Generasi termuda ini sering dianggap bekerja "suka-suka", tidak disiplin dan tidak serius. Benarkan begitu? Benarkah kelompok ini tidak serius dalam memikirkan "arti" bekerjanya?
Penelitian mengatakan bahwa generasi muda ini memang sangat pandai hitung-hitungan, juga lebih peka terhadap uang. Namun, mereka sekaligus mempunyai pendapat yang kuat mengenai tempat kerja. Mereka lebih terbiasa dengan feedback dan transparansi. Mereka pun bisa mengembangkan tanggung jawab yang besar, bila mendapat kepercayaan dari organisasi.
Anak-anak muda ini tampaknya lebih percaya pada organisasi yang tidak birokratis tetapi akuntabilitasnya jelas. Jadi sebenarnya, memaknai pekerjaan bisa berbeda-beda pada setiap individu. Hal yang juga nyata adalah bahwa makna pekerjaanlah yang menentukan apakah seseorang akan eksis terus di pekerjaan, punya semangat yang seolah tidak ada matinya, dan tetap happy.
Kehidupan sosial memberi makna
Dari studi kepuasan kerja yang terkenal seperti teori Abraham Maslow, kita tahu bahwa dasar dari kebutuhan manusia bekerja adalah uang, yang lalu diikuti oleh rasa aman. Selanjutnya, kebutuhan sosial-lah yang dicari orang bila ia sudah mapan dalam kebutuhan fisiknya. Ya, tempat kerja adalah arena sosial, orang tidak bisa happy bila ia bekerja sendirian.
Dari sinilah kita bisa melihat bahwa kehidupan sosial bisa membantu individu untuk mencari makna kerjanya. Itu sebabnya, acara-acara kebersamaan tidak bisa disepelekan, karena dalam event seperti inilah mutu hubungan interpersonal ditingkatkan. Kegiatan sosial yang efektif bahkan bisa mencapai tingkat saling kritik membangun dan bermaafan dengan tulus. Bila ini tercapai, maka pergaulan di kantor akan memaknai kehidupan individu.
Keterlibatan dalam kelompok sosial memang bisa sangat berarti, bahkan membuat individu melalui keyakinannya bisa berprestasi dobel. Southwest Airlines, contohnya, bisa survive karena sense of belonging para karyawannya. Apalagi bila kebersamaan ini diwarnai dengan kebanggaan dan dipercayanya individu menjadi duta lembaga dan diberi kepercayaan untuk berkreasi.
"Meaning amplification" juga bisa dikembangkan dari minat kehidupan sosial individu. Bila kerja tim selalu digaungkan sebagai tindakan tolong-menolong, individu akan lebih suka bekerja tim. Saat ini terjadi, bukan pelanggan saja yang impressed, namun karyawan pun bisa merasa bekerja sama.
Kita tahu perusahaan seperti Starbucks menggaungkan tagline: "one person, one cup and one neighborhood", yang impact-nya membuat karyawan bangga menjadi bagian perusahaan. Mereka mendapatkan "rasa" bahwa mereka berkontribusi bukan hanya ke perusahaan, tetapi juga membantu kehidupan masyarakat.
Nokia, pernah membagikan gelang plastik kepada setiap karyawan sebagai reminder pada setiap karyawan untuk "tidak mengeluh" selama 21 hari. Keluhan tidak usah seputar manajemen atau urusan kantor tetapi juga di rumah. Hal ini bisa menyebabkan individu lebih mawas diri dan pada akhirnya mempunyai kesempatan berkontemplasi. Ini pun contoh betapa makna pekerjaan tidak selamanya terkandung di dalam tugas individu sendiri tetapi juga dibungkus oleh pengembangan karakter, kehidupan sosial, dan karakter organisasinya.
Realisasikan diri
Pembuktian diri juga jelas-jelas hal yang bisa membuat diri lebih bermakna. Banyak orang yang berjuang untuk membuktikan, paling tidak pada dirinya sendiri, bahwa ia bisa mencapai prestasi tertentu. Ini sebabnya kebiasaan belajar sangat penting. Perusahaan yang membiasakan karyawannya belajar sesuatu dari setiap tugas yang ia dapatkan akan bisa lebih mudah memetik manfaat dari rasa berhasil para karyawan.
Teman saya, pemilik restoran, tidak berhenti berusaha sampai ia bisa membuat menu baru yang perfek. Ini dilakukan bukan sekadar mempermanis menu, tetapi 'sense of accomplishment-nya inilah yang membuat ia tetap bersemangat.
Makna dalam bekerja sering bervariasi sebatas diri sendiri, keluarga, perusahaan, atau bisa juga negara atau masyarakat. Itu juga yang menjadi alasan mengapa para pasukan khusus tentara, bersedia untuk melakukan penyerangan berbahaya ataupun tugas-tugas menantang maut lainnya dengan kebanggaan "Bela Negara". Makna pekerjaan tidak bisa didapat dari tulisan di profil perusahaan yang dibuat perusahaan sebagai informasi untuk pelanggan maupun karyawan karena makna pekerjaan dirajut setiap individu antara rumah, kerja, dan merupakan proses ketrampilan, pengetahuan sikap, dan nilai-nilai nya.
Begitu individu menemukan makna dalam pekerjaannya, ia sudah tidak perlu mengolah semangatnya lagi. Ia bisa saja lelah, bisa bekerja keras, atau bersantai tanpa perlu berpikir keras mengenai mutu kualitas kehidupan dan pekerjaannya. Komitmen dan engagement tidak perlu lagi susah-susah digali, karena seolah sudah ada secara otomatis.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini