JAKARTA, KOMPAS.com - Gabungan Perusahaan Jamu (GP Jamu) mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat Undang-undang khusus jamu. Menurut Ketua GP Jamu Charles Sierang, jamu perlu dibedakan dengan obat-obatan yang telah diatur dalam undang-undang tentang farmasi.
"Selama ini, jamu masih dimasukkan dalam undang-undang farmasi, padahal jamu berbeda dengan obat," ungkapnya dalam jumpa pers terkait hasil survei YPKKI, Rabu (30/1/2013), kemarin di Jakarta.
Menurutnya, jamu merupakan produk khas dari Indonesia yang mencampurkan bahan-bahan alami sehingga berkhasiat untuk kesehatan, sedangkan obat kebanyakan terbuat dari bahan-bahan kimia sintetis. Oleh karenanya jamu tidak boleh dicampur oleh BKO apapun, tutur Charles.
Penyalahgunaan jamu dengan bahan kimia obat (BKO) kini kian marak, terbukti dari masih banyak ditemukannya jamu BKO di pasaran dari survei yang telah dilakukan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI). Bahkan jamu gendong pun, khususnya di Jakarta, sudah banyak diganti dengan jamu berbahan kimia obat.
"Yang mengonsumsi jamu gendong biasanya adalah rakyat kecil. Dengan mengganti jamu alami dengan jamu BKO, rakyat kecil lah yang sengsara. Ingin sehat dengan minum jamu, malah sakit yang didapat," ujarnya.
Ia menilai pemerintah kurang memperhatikan peredaran jamu BKO dan kurang mendukung industri lokal yang memproduksi jamu alami. "Industri lokal diawasi ketat dengan berbagai persyaratan rumit, sedangkan jamu impor dengan BKO mudah saja masuk ke Indonesia. Ini mematikan industri jamu lokal," tegasnya.
Charles juga mengkhawatirkan 23 industri farmasi asal Cina yang akan masuk ke Indonesia pada tahun 2013 ini. Jika pemerintah belum bersikap tegas dalam mengatur hal ini, industri jamu lokal di negeri ini hanya tinggal menunggu ajalnya.