Gratis Sudah, tapi Capek Antre dan Kehabisan Obat...

New Feature - Kompas
http://4skripsi.blogspot.com/
Gratis Sudah, tapi Capek Antre dan Kehabisan Obat...
Feb 21st 2013, 02:55

Oleh: Neli Triana/Windoro Adi/K12

Laksana berpuluh-puluh orang kelaparan berebut sepiring nasi. Mungkin begitulah gambaran ketersediaan layanan kesehatan murah di negeri ini. Di RSUP Fatmawati, awal pekan ini, bahkan ada lima bayi harus antre masuk instalasi gawat darurat.

Program Kartu Jakarta Sehat (KJS), yang diluncurkan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama memang dirasakan seperti kucuran air segar kepada warga yang kehausan.

Dengan KJS, proses pengobatan jadi tidak merepotkan, tinggal menunjukkan KTP DKI Jakarta, KJS, dan rujukan dari puskesmas, pasien miskin bisa dirawat sesuai kebutuhannya di rumah sakit.

Namun, ujung tombak pelaksana KJS, seperti di tingkat puskesmas dan rumah sakit, masih kedodoran karena tidak siap dengan tingginya minat.

Sejak subuh

Konsekuensi dari yang serba gratis itu, warga pengguna KJS harus antre dari pagi hari. Pertama, mereka harus mengambil nomor antrean di loket khusus, lalu mengantre untuk verifikasi data. Kemudian, dengan nomor antrean berbeda, pasien menunggu giliran diperiksa. Setelah menjalani pemeriksaan, mereka kembali antre untuk menukarkan resep yang mereka terima.

"Sekarang sedang menunggu untuk menukar resep buat obat. Hari ini saya sudah ngantre sejak pukul 05.00 dan istri baru dapat giliran periksa ke dokter pukul 11.00," kata Robert Simamura (53), warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Meski demikian, Robert tetap bersyukur dengan adanya KJS. Sebelum ada KJS, hampir dua tahun terakhir dia menahan keinginan istrinya, Nurhaida (53), untuk menjalani operasi katarak karena biayanya sampai Rp 6 juta dan mereka belum ada uang.

Kini, dengan KJS, istrinya dirujuk ke RSUD Pasar Rebo untuk menjalani perawatan kesehatan yang diperlukannya. "Sekarang, mulai dari biaya operasi, konsultasi ke dokter, hingga obat, semuanya gratis," ungkapnya.

Mila Handoko (42) yang datang menemani orangtuanya, Jamhari (80), untuk berobat sakit jantung dan tulang di Pasar Rebo juga merasakan, sebelum ada KJS, proses pelayanan pasien miskin sangat rumit.

"SKTM (surat keterangan tidak mampu) prosesnya ribet. Banyak banget berkas yang harus disiapkan, seperti pengantar RT, RW, kelurahan, puskesmas, dan KTP. Kalau sekarang, belum dapat KJS tetap dilayani, tinggal bawa KTP DKI, foto kopi kartu keluarga, dan rujukan dari puskesmas," katanya.

Obat sering tidak ada

Meskipun sudah gratis, Mila mengaku masih kerepotan menggunakan KJS karena antreannya panjang sekali. Selain capek mengantre, obat-obatan yang sangat dibutuhkan untuk pengobatan orangtuanya juga sering tidak ada di rumah sakit. Karena itu, oleh dokter, ia diminta menebus resep di luar.

Nasib serupa dialami Suhayat, warga Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. "Saya pernah sakit gigi dan berniat berobat ke puskesmas. Datang pukul 08.00, dapat nomor 30. Setelah menunggu dua jam, belum juga dipanggil. Saya akhirnya lari ke klinik," katanya.

Di klinik di Jalan Panjang, Suhayat terpaksa mengeluarkan uang Rp 190.000 untuk biaya layanan dokter dan obat. Padahal, jika bertahan di puskesmas, ia tidak mengeluarkan biaya. "Kalau untuk sakit berat dan butuh perawatan segera, saya tidak yakin," katanya.

Indra Sibarani (32), warga Cibubur, Ciracas, Jakarta Timur, merasakan kebahagiaan setelah adanya KJS. Istrinya, Krisitika Kesumawati (32), kini telah melahirkan anak keempat melalui operasi caesar tanpa dipungut biaya sepeser pun di Pasar Rebo.

Kontrol ke dokter dan ultrasonografi (USG) saja gratis. Sebelumnya, saat istrinya melahirkan anak ketiga dengan operasi caesar, Indra harus membayar Rp 5 juta.

Petugas kerepotan

Konsekuensi dari membeludaknya pengguna KJS, sementara jumlah rumah sakit yang bekerja sama dengan Pemprov DKI masih terbatas, banyak petugas kesehatan kewalahan.

"Repotnya kalau pukul 06.00 pas pengambilan nomor antre dibuka. Pengunjung yang sudah nunggu langsung ngerumunin. Jadi, biar enggak pada rebutan, saya harus memanggil nama mereka satu per satu," tutur Abdi Hidayat (20), penjaga loket antrean elektronik.

Petugas registrasi lainnya, Heru Hardianto (34), berharap pengunjung pun mau mengantre dan bersabar, serta tidak ada kesalahpahaman.

Leli, yang bertugas di bagian pasien penyakit dalam, juga menuturkan hal yang sama. Akibat dari meningkatnya jumlah pasien, ia tidak sempat beristirahat. "Saking banyaknya, kadang-kadang saya enggak istirahat. Bahkan, untuk ke kamar kecil saja, saya enggak sempat," ungkapnya.

Kondisi ini bahkan dirasakan para petugas kebersihan di RSUD Pasar Rebo. "Dulu, sebelum ada KJS, enggak sekotor sekarang, penuh banget sampahnya. Sudah kayak tempat piknik aja jadinya," canda Tri, salah satu petugas kebersihan.

Benahi puskesmas

Ketua Satuan Tugas Perlindungan Anak dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia M Ihsan menilai, program ini sebenarnya sudah sangat bagus karena berupaya keras memenuhi hak setiap warga mendapatkan layanan kesehatan layak. Untuk itu, sudah saatnya pemerintah mengimbangi penerapan KJS dengan pola pelayanan publik yang profesional, berkualitas, dan transparan.

"Puskesmas perlu dibenahi sehingga bisa memberikan pelayanan terdepan bagi masyarakat. Jangan sampai menumpuk di RSUD," kata Ihsan.

Data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menunjukkan, di seluruh Jakarta ada 295 puskesmas kelurahan dan 44 puskesmas kecamatan. Selain itu, ada 44 puskemas layanan 24 jam, 10 layanan puskesmas rawat inap, dan 44 puskesmas PPK-BLUD (pola pengelolaan keuangan-badan layanan umum daerah).

Dengan lebih dari 300 puskesmas di seluruh Jakarta, Ihsan meyakini puskesmas bisa dimaksimalkan melayani pasien KJS.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions
Next Post Previous Post