JAKARTA, KOMPAS.com - Penularan penyakit melalui transfusi darah masih menjadi permasalahan bagi isu kesehatan di Indonesia. Hal inilah yang mendesak perlunya metode skrining yang lebih efektif untuk mendeteksi virus atau materi penyakit dalam darah yang dapat memperkecil kemungkinan penularan penyakit jadi pendonor ke penerima donor.
Teknologi Nucleic Acid Testing (NAT) merupakan teknologi terbaru skrining darah yang dikembangkan oleh Novartis. NAT telah hadir di Indonesia dan mulai digunakan oleh Palang Merah Indonesia (PMI). Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh NAT adalah kemampuannya memperkecil periode terinfeksinya darah hingga terdeteksinya infeksi dalam darah, atau yang lebih dikenal dengan window periode.
"NAT hadir untuk melengkapi metode serologi, bukan untuk menggantikannya," ujar Presiden Direktur Novartis Indonesia Luthfi Mardiansyah dalam diskusi kesehatan SEHATi dengan tema 'Pentingnya Keamanan Darah Guna Mengurangi Prevalensi Transfusi Darah Terinfeksi di Indonesia' Rabu (13/2/2013) di Jakarta.
Menurutnya, metode serologi yang selama ini dipakai untuk skrining darah masih memiliki beberapa kelemahan, di antaranya pendeteksian virus masih memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga seringkali mendatangkan diagnosa "false negative". Diperlukan waktu dua bulan setelah darah terinfeksi untuk dapat mendeteksi antibodi hepatitis C dengan metode serologi.
Sementara dengan metode NAT, materi genetik asam ribonukleat (RNA) dari virus Hepatitis C dapat dideteksi dalam kurun waktu 5 hari setelah darah terinfeksi. Kendati metode NAT merupakan metode terbaru dan efektif untuk skrining darah, tetapi penggunaannya di Indonesia masih tertinggal dibanding negara lain di dunia, bahkan di ASEAN.
"Penggunaan NAT di Indonesia masih 7 persen dari total skrining darah di Indonesia," jelas Direktur Unit Transfusi Darah PMI Yuyun Soedarmono.
Jika dibandingkan Thailand yang sudah mencapai 60 persen, dan Malaysia yang 50 persen, angka ini terbilang sangat kecil. Hal ini dikarenakan metode NAT masih cukup mahal dan membutuhkan keterampilan khusus untuk melakukan skrining dengan metode tersebut.
"Harga pengolahan darah dengan metode NAT masih terbilang mahal, sebab PMI masih belum mampu memproduksi reagensia sendiri, jadi harus impor," ungkap Yuyun.
Menyikapi hal ini, pemerintah sebenarnya sudah memberikan subsidi untuk melakukan metode skrining ini. Namun dengan jumlahnya yang belum banyak, kata Yuyun, hasil darahnya saat ini lebih banyak digunakan untuk penderita penyakit kelainan darah seperti thalasemia dan hemofilia.
Sampai sejauh ini, PMI sudah memiliki alat skrining NAT di 8 wilayah di Indonesia, antara lain dua di Jakarta, dan masing-masing satu untuk kota Bandung, Semarang, Surabaya, Solo, Denpasar, dan Makassar. "Rencananya tahun ini alat skrining akan ditambah menjadi 15," ujar Yuyun.