Kompas.com - Kerusakan otak permanen akibat serangan stroke bisa menyebabkan cacat fisik sehingga diperlukan rehabilitasi fisik dan dukungan moril bagi penyintas stroke. Apalagi 1 dari 12 penyintas stroke kerap berpikir untuk bunuh diri.
Depresi berat yang dialami penyintas stroke itu jauh lebih besar dibanding yang dialami pasien serangan jantung atau kanker.
"Dengan terapi yang tepat untuk depresi, pasien akan lebih termotivasi untuk meminum obat, melakukan terapi rehabilitasi dan melakukan kehidupannya seperti semula," kata Dr.Amytis Towfighi dari University of Southern California di Los Angeles, AS.
Setiap tahunnya ratusan ribu orang terkena stroke. Menurut data di Amerika, sepertiga dari pasien stroke itu mengalami depresi, tetapi hanya sedikit yang menunjukkan pikiran untuk bunuh diri.
"Keinginan bunuh diri tidak selalu rencana untuk mati, tetapi bisa juga terpikir mereka tak perlu diselamatkan saat serangan stroke," kata Towfighi.
Untuk mengetahui mengenai pengaruh depresi pada pasien stroke, Towfighi menggunakan data lebih dari 17.000 orang yang disurvei antara tahun 2005-2010.
Para responden ditanya mengenai keinginan bunuh diri. Ternyata, sekitar 8 persen penyintas stroke mengakui pernah berpikir bunuh diri. Angka itu lebih besar dibanding penyintas serangan jantung (6 persen), diabetes (5 persen), dan kanker (4 persen).
Pikiran bunuh diri tersebut kebanyakan ditemui pada mereka yang depresi berat, berusia muda, kegemukan, kurang berpendidikan, miskin, wanita, atau tidak menikah.
Depresi pada pasien stroke terjadi karena serangan stroke menyebabkan kerusakan pada bagian otak yang mengontrol mood. Dengan kata lain, depresi terjadi bukan hanya setelah stroke, tetapi penyakit itu sendiri juga menyebabkan depresi.