Kompas.com - Ketika mengonsumsi obat-obatan dalam jangka panjang akan timbul suatu fenomena yang disebut dengan toleransi obat, sehingga ada kebutuhan untuk menambah dosis obat demi mendapatkan efek obat seperti yang diinginkan. Toleransi obat ini juga bisa dipakai untuk menentukan tingkat adiksi seseorang.
Menurut peneliti dari Tempo Group, Agus Wiyanto, ada tiga jenis toleransi obat, yakni toleransi farmakokinetik, farmakodinamik, dan toleransi yang dipelajari. Tiga jenis toleransi inilah yang menentukan tingkat adiksi seseorang, sebab adiksi dipicu oleh toleransi.
Toleransi farmakokinetika adalah perubahan distribusi atau metabolisme suatu obat setelah pemberian berulang, yang membuat dosis obat yang diberikan menghasilkan kadar dalam darah yang semakin berkurang dibandingkan dengan dosis yang sama pada pemberian pertama kali. Mekanisme yang paling umum adalah peningkatan kecepatan metabolisme obat tersebut. Contohnya yaitu penggunaan stimultan untuk menambah efek dari obat.
Toleransi farmakodinamik merupakan perubahan adaptif yang terjadi di dalam sistem tubuh yang dipengaruhi oleh obat, sehingga respons tubuh terhadap obat berkurang pada pemberian berulang. "Hal ini misalnya terjadi pada penggunaan antibiotik. Dalam penggunaan jangka panjang, tubuh akan menjadi resisten terhadap antibiotik sehingga membutuhkan penambahan dosis," katanya.
Toleransi yang dipelajari yaitu pengurangan efek obat dengan mekanisme yang diperoleh karena adanya pengalaman terakhir. Misalnya orang yang sudah mempelajari efek alkohol terhadap tubuhnya masih dapat mengendalikan tubuh untuk tidak mabuk. Sehingga ketika dites berjalan lurus, ia masih sanggup.
Kebutuhan dosis obat yang makin meningkat dapat menyebabkan ketergantungan fisik, di mana tubuh telah beradaptasi dengan adanya obat, dan akan menunjukkan gejala putus obat (withdrawal symptom) jika penggunaan obat dihentikan. Di samping toleransi, ada pula variabel lain yang dapat memicu adiksi. Antara lain obat yang terdiri dari ketersediaan obat dan kemurnian obat, dan lingkungan.