KOMPAS.com - Sejumlah perempuan keluar dari zona nyaman dengan bertualang. Ada yang menjajal reli padang pasir, mendaki gunung, dan bersepeda menjelajah negeri. Mereka keluar dari zona nyaman untuk mencari keseimbangan hidup.
Awalnya, Yudith Thesia (34), Shanti R Witoelar (45), Edwina (26), dan Feri Susanti (31) hanya iseng ketika mendaftar sebagai peserta laga Rallye Aicha des Gazelles di Gurun Maroko. Begitu tiket lomba ada di tangan, mereka sontak kegirangan dan siap berlaga pada 15-30 Maret ini.
Rallye Aicha des Gazelles merupakan ajang khusus wanita yang sudah diselenggarakan untuk ke-23 kali. Peserta tahun ini berjumlah 150 tim dari 22 negara yang akan bertolak dari kota Paris menuju Gurun Maroko.
"Tantangan baru ada di depan saya. Kami harus memacu diri sendiri agar bisa melakukan lebih dari yang bisa dipikirkan," kata Feri.
Feri selanjutnya akan bergabung satu tim dengan Edwina, sedangkan Yudith berpasangan dengan Shanti. Dalam latihan di Maroko pada awal Januari lalu, mereka membuktikan mampu meraih juara. "Realistis saja. Tetapi saya bisa kok. Pas latihan, sudah terbukti kami tangguh. Kalau didorong melewati batas, ternyata kami bisa," kata Yudith.
"Agar dunia tahu bahwa Indonesia memiliki srikandi-srikandi yang tak hanya cantik, tetapi juga tegar menghadapi rintangan," ujar Presiden Direktur dan General Manager Total E&P Indonesia Elisabeth Proust yang mendukung keikutsertaan empat perempuan tersebut.
Tidur di gurun
Selama lebih kurang sepuluh hari, mereka akan menyusuri padang pasir dengan hanya bermodalkan kompas konvensional dan peta topografi. Mereka tidur dengan tenda di gurun dan harus bangun pada pukul 04.00 untuk berangkat lagi menuju pos berikutnya.
Waktu bukan menjadi ukuran untuk menang, jaraklah yang menjadi penentu. Makin sedikit jarak yang ditempuh untuk mencapai pos persinggahan, maka makin tinggi poin yang diraih. "Harus nekat. Kami sepakat gantian menyetir. Lumayan melelahkan, bisa jalan lebih dari 200 kilometer per hari," kata Edwina.
Empat perempuan ini juga harus berlatih ekstrakeras untuk membiasakan diri dengan setir kiri. Jalanan di gurun pasir menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan-perempuan yang kebanyakan hanya menyetir mobil pada akhir pekan ini. Selain menyiapkan diri dengan memperbanyak olahraga dan menjaga stamina tubuh, mereka juga telah menyiapkan sebanyak-banyaknya rekaman lagu, camilan, dan kopi.
Karena bertubuh mungil, Shanti sudah menyiapkan jaket untuk mengganjal kursi agar ia bisa duduk nyaman saat menyetir. "Pas coba mobil Eropa, tangan saya enggak nyampai ke rem tangannya," ujar Shanti menceritakan pengalaman ketika berlatih.
Rallye Aicha des Gazelles sekaligus menjadi ajang pembuktian kemampuan diri. Ajang ini menjadi persentuhan pertama dengan alam liar bagi Edwina. Edwina, yang sehari-hari menggeluti pekerjaan di bidang hukum, sama sekali tidak pernah menjajal aktivitas yang memicu adrenalin.
"Ini kompetisi satu-satunya yang berbau otomotif dan punya sisi petualangan yang saya ikuti. Sebelumnya sih ikut kegiatan yang aman-aman saja. Saya ingin mencoba," kata Edwina.
Sebagai ibu dari tiga anak, Shanti sempat membuat keluarga besarnya terkaget-kaget ketika memutuskan ikut reli di gurun pasir. "Saya ingin punya sesuatu yang bisa disampaikan ke anak dan suami. Kalau ada, kesempatan ambil saja," kata Shanti yang sedang berusaha menata hati karena bakal tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga ketika sedang berlaga.
Penyeimbang kehidupan
Kegiatan di alam liar juga menjadi ajang pembuktian diri bagi Ade Dewijanti (42). Perempuan yang bekerja di Singapore Petroleum Company ini baru menjajal bertualang di usia 37 tahun. "Sebelumnya, aku jadi anak mal. Begitu menjajal naik gunung, jadi kecanduan," kata Ade.
Tak tanggung-tanggung, Ade menargetkan pendakian gunung minimal satu kali dalam setahun. Ia jatuh cinta dengan Gunung Rinjani dan Gunung Tambora. Tak hanya di Tanah Air, ia pun menjadwalkan pendakian ke luar negeri, seperti ke Nepal. Karena tak ingin menjadi beban dalam rombongan, Ade terbiasa naik gunung seorang diri dengan hanya ditemani satu porter dan satu pemandu. "Rasanya sangat puas ketika sampai di puncak," ujar Ade.
Ade kini benar-benar kecanduan petualangan di alam liar dengan bersepeda, rafting, lari maraton, bahkan triatlon. Ade antara lain sudah ikut ajang bersepeda di Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan. Di luar negeri, ia bersepeda ke Kamboja, Vietnam, dan Thailand.
Tantangan baru di luar kegiatan sehari-hari di kantor ternyata mampu membangkitkan kekuatan diri yang selama ini terpendam. Dari petualangan itu, para perempuan ini memetik kemandirian, ketabahan, dan tentunya kesenangan.
Pengembaraan serupa juga dilakukan Aristi Prajwalita Madjid (33). Ia keluar dari rutinitas kesibukan sebagai pelayan kesehatan masyarakat dengan bersepeda jarak jauh sorangan wae alias sendirian. Ia pernah bersepeda dari kota Bharu, Malaysia, bablas ke Vietnam. Ia menempuh jarak hampir seribu kilometer.
"Saya ingin membuka pandangan teman-teman bahwa apa pun dapat kita lakukan asal mau mengambil langkah baru, keluar dari pakem secara positif, mencoba keluar dari zona nyaman, dan selalu yakin bahwa kita bisa," kata Aristi yang tinggal di Bogor.
"Kotak-kotak pikiran yang membuat batas pada hidup kita itu yang mesti diubah. Jadi bersepeda jarak jauh itu adalah pula perwujudan lain dari cara menjalani hidup," kata Aristi menambahkan.
Bagi Aristi, menjelajah negeri dengan sepeda itu tidak berhenti sebagai sekadar mencari sensasi bertualang. Pun juga bukan sekadar aktivitas olahraga atau berwisata. Ke mana pun tujuan perjalanannya, itu adalah hal nomor dua. "Hal nomor satu adalah proses pembelajaran terhadap diri sendiri dan orang lain serta lingkungan."
Ia mengibaratkan pengembaraannya itu sebagai laku hidup. Ada tanjakan dan turunan, katanya. "Ada jalan datar yang membosankan, tetapi semua mesti kita lewati dengan baik. Enggak boleh mundur. Ada lelah yang kita mesti kompromikan dengan diri sendiri. Dan terus bergerak agar enggak jatuh," kata Aristi. (XAR)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini