KOMPAS.com - Pernahkah melihat orang menerobos antrian, menyikut badan kita di jalan sempit, bahkan menyerempet spion kita di jalan, namun kemudian ia ngeloyor pergi, tanpa mengucap kata "maaf"? Di lingkungan kerja, terkadang kita juga menemui orang yang terlambat datang meeting, tidak menyelesaikan tugas yang menjadi bagiannya, tanpa ungkapan rasa bersalah karena telah merugikan orang lain.
Dalam situasi ini, kita sering tidak habis pikir, mengapa orang tidak segera meminta maaf, meski ia sadar telah membuat kesalahan? Padahal, di Jepang kita mengetahui kata "gomenasai" begitu sering mereka ucapkan dalam situasi keseharian, sehingga bisa dikatakan merupakan salah satu ciri budaya Jepang yang menekankan kepedulian dalam hubungan antarmanusia.
Permintaan maaf yang tulus adalah konsep positif, namun ternyata tidak selalu diyakini sebagai hal yang "seksi" dan "in". Gubernur baru, yang meminta maaf atas kesalahan personilnya, bahkan dicemooh dan dianggap melakukan tindakan pencitraan yang "garing".
Kita juga beberapa kali menyaksikan betapa pihak yang dalam profesinya melakukan kesalahan, malah sibuk mencari alasan atau "kambing hitam", tidak secara terbuka mau mengakui kesalahannya, misalnya saja kasus salah obat yang mengakibatkan penderitaan pasien atau salah hitung dalam konstruksi yang menyebabkan orang celaka.
Dalam hubungan kerja, kita tentu bisa melihat banyak kejadian yang bisa melukai hubungan personal, misalnya menyalahkan orang lain tanpa mengecek kebenarannya. Meski kemudian orang tersebut tahu kejadiannya tidak benar, namun hal ini dianggap sebagai angin lalu saja. Tampaknya, banyak orang tidak menyadari sikap ini bisa mengakibatkan hilangnya motivasi dan respek dari orang lain.
Kita bisa melihat betapa meminta maaf, bukan hal mudah. Tidak sedikit karyawan mengeluhkan atasannya yang enggan mengakui kesalahan, meski nyata-nyata kesalahannya bisa dilihat oleh semua orang. Dalam lirik lagunya, Elton John bahkan mengungkapkan: "Sorry seems to be the hardest word".
Meski sulit, nyatanya orang seperti Lance Armstrong, secara dramatik dan tegar, berani meminta maaf kepada keluarganya dan para pendukungnya, karena kasus doping yang mengharuskannya mengembalikan 7 medali kejuaraan Tour de France. Dalam skala besar, kita pun menyaksikan kejantanan Akio Toyoda, CEO Toyota, meminta maaf kepada pemerintah Amerika, tentang kesalahan produksi mobil Prius.
Meski tidak mudah, kita segera melihat betapa tindakan meminta maaf sangat penting dalam memperkuat dan memperbaiki hubungan interpersonal, yang demikian pentingnya dalam tugas kelompok, organisasi, bahkan negara. Bukankah permintaan maaf yang tulus pun sangat diperlukan untuk memulai negosiasi, menyelesaikan konflik dan memperbaiki rasa percaya?
Alat reparasi hubungan
Kita tentu tahu betapa para frontliner dilatih keras untuk menampilkan empati dan segera menyatakan permohonan maaf saat ada produk, servis atau situasi yang tidak berkenan bagi pelanggan. Tindakan meminta maaf ini jelas sangat kritikal untuk memastikan pelanggan tidak makin kecewa, hubungan tidak rusak, bahkan kemudian mengharapkan situasi ini membuat pelanggan semakin "engaged". Ini contoh nyata betapa "maaf" merupakan alat ampuh untuk mereparasi hubungan.
Dalam kerja tim dan organisasi, di mana kita tidak mungkin menghindari situasi konflik dan sakit hati, jelas berlaku pula hal yang sama. Meski dengan niat baik, kadang kita mengeluarkan kata kasar, mencerca, mendiskreditkan rekan kerja, bawahan atau bahkan atasan, yang menyebabkan hubungan interpersonal terlukai. Kita tentu bisa membayangkan betapa permintaan maaf bisa memfasilitasi perbaikan hubungan, bahkan menghindari perginya seseorang dari tim.
Permintaan maaf di budaya barat banyak diartikan sebagai pengakuan bahwa seseorang bertanggung jawab terhadap situasi yang terjadi. Sementara, dalam budaya Jepang, permintaan maaf lebih mengungkapkan "rasa menyesal" bahwa situasi itu terjadi. Apapun latar belakangnya, permintaan maaf sebenarnya bisa menggambarkan kematangan emosional seseorang. Saat meminta maaf, individu sebetulnya menyalurkan emosi positifnya. Inilah sesungguhnya yang merupakan latihan menuju tingkat kematangan emosi yang lebih tinggi.
The power of "sorry"
Mengapa orang sering enggan meminta maaf? Jawabannya adalah: ego. Penelitian Dr Tyler Okimoto, dari University of Queensland, menemukan bahwa orang-orang yang enggan meminta maaf biasanya merasa dirinya memiliki power yang lebih besar dari orang lain. Psikolog Andrew Howell dan rekan-rekannya di Grant MacEwan University Edmonton membuktikan bahwa orang menjaga "self esteem"-nya melalui keengganan meminta maaf. Dari studi lain, dikatakan ada juga pola asuh yang salah, sehingga membelenggu individu dari tindakan meminta maaf.
"Sejak kecil saya diharuskan meminta maaf untuk hal yang menurut saya bukan salah saya." Dengan pengalaman ini, individu kemudian mengembangkan pandangan bahwa meminta maaf adalah seperti menaruh kepala di tiang gantungan, menyerahkan diri, dan tidak berdaya.
Kita tentu sadar bahwa tidak ada hubungan yang langsung berjalan mulus, baik antar individu, maupun dalam kelompok. Ini terjadi antara orang tua-anak, suami-istri, CEO dan grup pimpinan perusahaan, atasan-bawahan, di mana-mana. Jelas, kita tidak bisa menghindar dari upaya memperbaiki hubungan. Rasa jumawa, gengsi, dan tidak mau kalah, harus kita telan, agar kita bisa terbiasa mengucapkan maaf.
Pertama-tama kita perlu melihat bahwa kita salah dan kita berniat tulus untuk memperbaiki hubungan. Pengakuan pada diri sendiri inilah langkah besar dan paling berat dari keseluruhan proses. Pemahaman ini yang akan membuat intensi memperbaiki hubungan lebih mudah terlihat dan terasa oleh orang lain.
Dengan kejujuran ini, kadang orang bahkan tidak perlu lagi memberi penjelasan akan kesalahannya. Saat meminta maaf, kita sebetulnya pun tidak perlu menuntut diberi maaf, karena niat kita hanya mengakui kesalahan dan memperbaiki hubungan. Bagi kita yang ingin melatih mengembangkan sikap gentle ini, ingat saja rumus "3 R": "Regret, Responsibility, dan Remedy.". Permintaan maaf kita pasti akan bisa dirasakan kedalamannya.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini