KOMPAS.com - Tidak seorang pun yang menginginkan hidupnya dalam tekanan, kesulitan, dan tidak bahagia. Namun dalam realitasnya, tidak sedikit orang-orang yang hidupnya selalu merasa tertekan, baik karena soal materi yang dirasa tidak berkecukupan, dan atau juga malah karena persoalan nonmateri. Tidak heran jika pasien rumah sakit jiwa bertambah banyak. Dan lebih mengerikan lagi, tidak sedikit yang memilih mengakhiri hidupnya karena tidak kuat menanggung beban psikologis tersebut.
Tentu tulisan ini tidak membahas penyebab permasalahan psikologis yang bermuara pada tekanan batin secara menyeluruh. Kita dibahas kenapa orang- orang yang pada dasarnya berkecukupan tetapi masih saja terus merasa kekurangan. Orang-orang yang stres mengejar uang, tanpa merasa puas dengan apa yang dimiliki. Juga orang-orang stres dan khawatir karena merasa investasinya akan gagal.
Pendeknya, akan dibahas persoalan kecukupan materi yang berbanding terbalik dengan tingkat kebahagiaan. Apa sebabnya? Sebabnya adalah, karena sebagian orang menganggap kesejahteraan materi lebih tinggi ketimbang kesejahteraan psikologis. Padahal mestinya, yang paling tinggi derajatnya adalah kesejahteraan psikologis sehingga pada gilirannya bisa merasa bahagia dengan apa yang dimilikinya, termasuk harta benda, berapa pun nilainya.
Tujuan hidup
Adalah benar, setiap orang memiliki tujuan hidup. Yang paling umum bahwa tujuan hidup itu adalah mendapatkan kebahagiaan lahir batin. Dalam konteks kebahagiaan lahir tentu saja adalah keinginan agar hidupnya memiliki harta berkecukupan, jika tidak ingin disebut berlimpah harta.
Namun, pertanyaannya, apakah setelah memiliki harta yang cukup maka hidupnya akan lebih bahagia secara batin? Lebih dari itu, apakah dalam proses mencapai tujuan berupa harta yang cukup juga dijalani dengan rasa yang bahagia? Atau sebaliknya.
Realitas menunjukkan sebagian orang merasa tidak bahagia ketika menjalani proses untuk mencapai tujuan hidupnya. Kenapa bisa demikian? Ada beberapa sebab.
Pertama, keliru dalam menafsirkan bahwa kebahagiaan berbanding lurus dengan harta yang dimiliki. Apa maksudnya? Saat ini pendapatan per kapita di Indonesia sekitar 3.600 dollar AS. Artinya, rata-rata orang Indonesia, penghasilan per tahunnya sekitar Rp 35 juta atau Rp 3 juta per bulan.
Memang benar, angka per kapita itu tidak selalu mencerminkan kondisi sebenarnya. Sebab, bisa saja ada sebagian kecil orang yang pendapatannya miliaran rupiah per tahun. Tetapi ada juga yang di bawah Rp 3 juta per bulan. Namun, secara statistik, angka penghasilan Rp 3 juta per bulan adalah rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia. Artinya, jika pendapatan Anda sudah di atas Rp 3 juta, sebenarnya sudah berada di atas rata-rata.
Namun, tentu saja setiap orang punya kriteria masing-masing. Ada yang menginginkan pendapatan per bulan jauh di atas itu. Dan lebih dari itu, ada yang berupaya agar harta bendanya terus bertambah. Lalu, semakin banyak harta dianggap semakin bahagia. Pertanyaannya, apakah memang demikian?
Jawabannya adalah tidak. Target pendapatan dan harta itu bukanlah tujuan utama dalam kehidupan. Yang utama adalah bagaimana agar tidak miskin. Dan ketika penghasilan sudah di atas rata-rata orang lain, bukankah itu sudah cukup untuk memberikan rasa bahagia? Nyatanya tidak demikian.
Banyak orang terus berlomba-lomba mengumpulkan harta. Dan ketika perlombaan dimulai, di situlah rasa stres dan tertekan mulai muncul. Perasaan seperti itu akan terus ada selama merasa belum cukup dengan harta yang dimiliki. Dengan kata lain, proses mengejar harta akhirnya sama sekali tidak menimbulkan rasa bahagia. Oleh karena itu, memaknai rasa bahagia dengan harta yang dimiliki bukanlah mencari harta sebanyak-banyaknya, melainkan mensyukuri harta yang sudah dimiliki.
Kedua, keliru dalam menafsirkan bahwa harta dan aset adalah segala-galanya dalam hidup. Ketika seseorang melakukan investasi, misalnya, dan investasi tersebut mengalami kegagalan sehingga harta yang sudah dimiliki berkurang, maka tidak sedikit kalangan yang langsung merasa stres berat. Seolah-olah hidup sudah berakhir. Merasa menyesal. Menyalahkan diri sendiri dan lain sebagainya. Termasuk mungkin yang lebih berat, bisa mengalami tekanan jiwa.
Apakah memang harus demikian? Jawabnya juga tidak. Kehilangan harta akibat gagal berinvestasi bukanlah akhir dari segalanya. Sebab, harta bukan juga segala-galanya. Artinya, hal semacam itu selayaknya dimaknai dengan rasa ikhlas. Hal semacam itu merupakan pembelajaran untuk lebih berhati-hati dalam berinvestasi dan memiliki keyakinan bahwa harta yang hilang, suatu ketika bisa diraih kembali. Ringkasnya, harus ada rasa ikhlas terhadap peristiwa yang dialami.
Ketiga, kebahagiaan termasuk melalui kesejahteraan lahir dan batin, hakikatnya adalah permainan pikiran (mind games). Rasa marah, rasa kesal, rasa sedih, sesungguhnya merupakan dorongan emosional yang bisa dikelola oleh pikiran. Hal yang sama—menurut para ahli—juga berlaku dalam menstimulasi rasa bahagia atau tidak bahagia.
Dengan kata lain, kesejahteraan psikologis sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan harta atau aset yang dimiliki, tetapi lebih pada kemampuan mengelola perasaan dan pikiran alias mind games.
Tentu saja, apa yang dipaparkan di atas memang bukan sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan. Kehidupan seseorang mulai dari lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, bekerja dan seterusnya pasti memberi pengaruh dalam membentuk karakter dan juga pola berpikir. Namun, dalam hidup ini juga dipahami bahwa tidak ada yang tidak bisa diubah. Perubahan merupakan keniscayaan yang terjadi setiap saat.
Jadi, jika Anda belum merasa bahagia dengan kekayaan yang dimiliki atau kesejahteraan lahiriah Anda belum memunculkan kesejahteraan psikologis, solusinya bukanlah dengan menambah harta sebanyak-banyaknya, apalagi kalau prosesnya malah menimbulkan tekanan batin.
Solusinya adalah dengan mengubah cara berpikir bahwa harta yang banyak bukan tujuan hidup, melainkan hanya sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan batiniah. Dan semua itu merupakan permainan pikiran. Selamat mencoba.
(Elvyn G. Masassya, praktisi keuangan)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini