"Meeting Melulu, Kapan Kerjanya...?"

Karir - Kompas Female
http://4skripsi.blogspot.com/
"Meeting Melulu, Kapan Kerjanya...?"
Apr 22nd 2013, 07:16

KOMPAS.com - "Meeting melulu, kapan kerjanya…?" Keluhan semacam ini cukup sering kita dengar, bahkan mungkin kita sendiri pun pernah melontarkannya, bukan? Tidak hanya karyawan yang bekerja di organisasi besar, individu di organisasi kecil pun kerap mengeluhkan hal yang sama.

Meeting sebagai sarana evaluasi, koordinasi, konsolidasi, konsultasi, tentu saja hal yang penting. Namun, betapa sering sebuah meeting yang menghasilkan notulen, lengkap dengan deadline dan "person In charge"-nya, pun meleset kesuksesan pelaksanaannya. Banyak hal yang membelokkan perhatian, baik karena data tidak lengkap, info tidak update, orang yang tidak hadir, atasan masih harus memutuskan, sehingga ujung-ujungnya, apa yang disepakati dalam meeting, "tidak terjadi". Pekerjaan pun tidak maju-maju. Tidakkah ini membuat kita frustrasi?

Bila kemajuan tidak terjadi, kita biasanya sadar bahwa ada kesenjangan antara keputusan untuk melakukan sesuatu, dengan pelaksanaanya. Namun, tetap saja banyak orang yang seolah lupa bahwa pelaksanaan yang sukses akan membuahkan kebahagiaan dan kepuasan.

Bila dalam meeting ditanyakan siapa yang akan mengambil tindakan, body language celingak-celinguk kiri-kanan sering terjadi. Belum lagi, banyak pula individu yang seolah tidak melihat akuntabilitasnya, atau bersikap cuci tangan terhadap penyelesaian masalahnya.

Fenomena ini tidak sekadar terjadi di lembaga pemerintahan, perusahaan keluarga, BUMN, atau di Indonesia saja. Bahkan, organisasi dengan pimpinan berpendidikan tinggi sekalipun, ternyata tidak menjamin keberhasilan pelaksanaan pekerjaan dengan sukses.

Mike Roach, pakar Corporate Governance, dengan jelas mengatakan: "Strategy without execution is hallucination!" Namun, kita ketahui pengajaran yang dilakukan di sekolah-sekolah tinggi manajemen, paling-paling hanya 5 persen yang berfokus pada bagaimana "make things happen". Porsi pengajaran terbesar adalah pencanangan strategi yang canggih-canggih. Padahal, harus kita sadari bahwa idealnya waktu implementasi adalah 95 persen dari waktu memikirkan strategi.

Lemahnya pelaksanaan kemudian memunculkan berbagai inisiatif, misalnya menciptakan speedometer tugas, agar pencapaian dan penyelesaian bisa dimonitor. Terjaminkah pekerjaan selesai? Ternyata tidak juga, karena kita tetap perlu memperhitungkan unsur manusia, engagement di dalam dan antartim yang juga sangat penting.

McChesney, Covey dan Huling mengingatkan: "The highest level of performance always comes from people who are emotionally engaged. Unless we consistently hold each other accountable, the goal naturally disintegrates in the whirlwind". Kita bisa melihat, betapa implementasi tugas, yang mestinya dikerjakan secara otomatis, kini menjadi disiplin ilmu tersendiri.

5W, 1H
Panjangnya birokrasi jelas menjadi tantangan dalam eksekusi. Suatu waktu di sebuah bank besar, CEO-nya menyatakan: "Kita tingkatkan customer retention dari 70 persen menjadi 80 persen". Satu kalimat ini saja sudah langsung melibatkan seribu satu tindakan dan pertanyaan. Untuk menjawab: "Siapa sebenarnya fokus customer kita?", sudah mengundang beda pendapat yang kemudian perlu dibahas dalam suatu lokakarya.

Selanjutnya, timbul lagi pertanyaan: Siapa yang selama ini mempunyai data paling akurat? Siapa yang akan memelototi  faktanya secara "real-time"? Apa "remedial action" yang harus dilakukan? Siapa yang akan mengimplementasi? Siapa yang paling melibatkan emosinya pada aksi ini? Apakah diperlukan tim baru atau tetap tim lama?

Proses delegasi, menjadi tantangan selanjutnya. CEO mendelegasikan ke VP, yang kemudian mendelegasikannya ke manager. Para manager ini tentu meneruskan ke frontliner ke garda depan, namun pada tahap ini seringkali mereka yang sudah penuh menjalankan aktivitas sehari-hari, tidak siap dengan data paling update, bahkan sudah kehilangan visi. Ini baru masalah pendelegasian, padahal kita juga perlu mempertimbangkan hubungan baik antartim, bahkan mentalitasi Silo, di mana masing-masing bagian biasanya berusaha mencapai sasaran kerja di bagiannya dulu.

Di berbagai perusahaan, tidak jarang program-program baru diluncurkan, mulai dari CSR, restrukturisasi, pembukaan cabang, pengembangan produk, pemotongan cost, dan perubahan-perubahan kecil lainnya. Namun,  tak jarang kita melihat pelaksananya "dia-dia lagi". Situasi seperti ini pun berulang kali kita lihat di pemerintahan, di mana proyek A yang pelaksanaanya belum beres dan belum bisa dinikmati, sudah ditimpa oleh rencana proyek lain. Padahal para filsuf sudah mengingatkan: "The more you fill your plate, the less you will actually accomplish".

Bila kita fokus pada eksekusi, yang perlu kita perhatikan sesungguhnya adalah apakah kita "melihat' dengan jelas kaitan target yang kita canangkan dengan implementasinya. Kita tentu akan sulit bergerak bila tidak bisa mendefinisikan dan menerjemahkan: "What, When, Where, Who, Why, How"-nya dari suatu gerakan?

Pertanyaan yang juga perlu kita jawab adalah: sudahkah kita melihat kaitan antara fakta satu dengan yang lain? Apakah fakta bisa kita temukan dari data saja? Bukankah di organisasi banyak "pengecualian",  hal yang tidak terdokumentasi, "workarounds" rutin yang tidak tertulis? Hal-hal yang tidak jelas inilah yang sering menjadi penghambat, atau alasan mengapa suatu proyek "tidak jalan".  

Implementasi: hal rutin bukan ad hoc
Kita semua tentu sadar betapa "blue print" perubahan, atau strategi memang sangat penting. Namun, rencana ini bisa tinggal rencana, kalau tidak ada kejelasan target, terjemahan target tersebut ke dalam action, rutinitas monitoring, kekuatan penggalangan spirit interpersonal, dan penekanan akuntabilitas seseorang.  Hal ini tentu tidak bisa dibebankan pada manajer lini sebagai ujung tombak, namun harus jelas ada pada pemikiran pimpinan puncak perusahaan.

Perusahaan-perusahaan yang sukses, dengan bantuan multi media bisa menyediakan sarana FAQ (Frequently Asked Questions), untuk menyampaikan jawaban dari CEO-nya. Hal sederhana ini, menciptakan sambung pemahaman dan rasa, antara karyawan yang paling bawah sekalipun, dengan perancang strateginya.

"Working to bridge the 'execution gap' is no longer optional. It has become a competitive necessity." Itu sebabnya, kita masing-masing perlu mengingatkan diri untuk bukan saja merutinkan meeting tetapi justru merutinkan monitoring tindakan kita: "Make execution a habit; it's the way things are done around here".

(Eileen Rachman/Sylvina Savitri)

Sumber: Kompas Cetak

Editor :

Dini

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions
Next Post Previous Post