KOMPAS.com - Maraknya obat palsu di Indonesia salah satunya disebabkan oleh karakter masyarakat Indonesia yang masih belum kritis terhadap efek menyimpang obat. Kebanyakan masyarakat Indonesia bersikap "ikhlas" menerima jika gangguan penyakit tak kunjung sembuh, bahkan memburuk, setelah minum obat tertentu.
Demikian disampaikan staf pengajar Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI Dr. Melva Louisa dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (2/5/2013) kemarin.
"Seharusnya masyarakat bisa lebih kritis jika penyakit tidak sembuh-sembuh, apalagi kalau sampai terjadi kematian jangan langsung menganggap karena takdir, bisa jadi salah konsumsi obat palsu," tandasnya.
Melva mencontohkan, negara dengan kasus obat palsu yang terus menurun adalah Hongkong dan Singapura. "Kedua negara itu sangat kritis pada pasien yang keadaannya bertambah buruk. Setelah ditelusuri, ternyata pasien mengonsumsi obat palsu," tuturnya.
China, lanjut Melva, juga merupakan negara yang patut dicontoh dalam menanggulangi kasus obat palsu. Pemerintah China sangat tegas dalam menyikapi produsen obat palsu, sehingga penyebaran obat palsu sangat minim di China.
"Sayangnya, industri obat palsu China masih bisa bertahan karena hasil obatnya malah diekspor ke luar negeri. Inilah pentingnya bagi masyarakat untuk lebih mewaspadai obat palsu, guna memusnahkan industri obat palsu juga," papar Melva.
Melva mengatakan, obat-obatan yang paling kerap dipalsukan yaitu obat-obat yang berhubungan dengan gaya hidup seperti obat pelangsingan, obat kecantikan, dan obat kuat. Selain itu, ada juga obat pereda rasa sakit, obat yang diresepkan, obat suntik, obat yang persediaannya terbatas, bahkan obat generik.
Efek dari obat palsu, lanjutnya, bisa beragam, di antaranya khasiat obat kurang kuat, tidak memberikan efek sama sekali, menyebabkan kondisi pasien memburuk, memicu resistensi, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Persentase obat palsu di Indonesia masih belum ada pastinya. Namun Badan Kesehatan PBB (WHO) memprediksikan ada sekitar 25 persen obat yang beredar di Indonesia merupakan obat palsu. Sedangkan untuk negara-negara berkembang lainnya, diprediksi 10 hingga 40 persen.
Di lain pihak, pemerintah juga seharusnya lebih ketat mengawasi peredaran obat palsu agar tidak lebih banyak lagi masyarakat yang menjadi korban.