KOMPAS.com - Teman saya bercerita, ia marah-marah pada adiknya, karena saat bertatap muka, adiknya malah sibuk dengan tiga handphone-nya untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang setiap hari ia temui. Padahal, pertemuan teman saya dengan adiknya ini biasanya hanya terjadi sekali setahun.
Situasi ini bukan hal aneh lagi kita dengar di masa sekarang, bukan? Banyak teman mengeluhkan hal yang sama. Kita pun pasti pernah sekali waktu mengalaminya, atau bahkan melakukannya sendiri. Teknologi yang semakin canggih dan lengkap, menghubungkan kita, manusia dengan manusia lain, secara real time. Kita bisa menelepon, menuliskan pesan teks, meng-email, tele-conference, bahkan berkomunikasi visual melalui perangkat lunak gratis seperti Skype, tanpa batasan jarak dan waktu.
Semua ini membuat kita semakin merasa bahwa cara komunikasi dengan peralatan modern ini merupakan cara komunikasi yang "cukup". Akibatnya, kita sering melupakan pembicaraan yang benar-benar tatap muka secara fisik. Memang betul bahwa kita kerap terhambat bersilaturahmi, karena kesibukan dan kemacetan lalu lintas. Kita pun mengambil praktisnya untuk menelepon dan menulis SMS saja. Namun, apakah betul komunikasi tatap muka bisa kita kesampingkan dan gantikan? Ternyata tidak.
Kita melihat orang masih terbang, berkunjung untuk silaturahmi tatap muka. Bahkan, untuk kepentingan bisnis, terkadang "pulang hari" ke suatu tempat. Sarang-sarang teknologi seperti Silicon Valley, masih menyediakan tempat tatap muka, bahkan membangun hub-hub inovasi. Kita bisa melihat juga bagaimana Apple mengembangkan "Apple City"-nya untuk menyaingi Google yang membangun Googleplex, dengan tujuan yang sama, yaitu membuat karyawan bisa berurun rembuk dan secara fisik berkumpul.
Jadi, perkiraan kita bahwa kemajuan teknologi akan melenyapkan "human moment" dan kekuatan komunitas, nyata-nyata keliru. Hubungan antarmanusia dan koneksinya, tetap tidak tergantikan oleh teknologi. Kebutuhan untuk bertatap muka tidak memudar. Teknologi tidak membuat kita bosan berinteraksi. Malah sebaliknya, bersamaan dengan perkembangan teknologi, interaksi tumbuh juga.
Tengok betapa ramainya kafe-kafe, tempat orang berkumpul. Bukankah kita juga melihat betapa orang-orang yang tadinya "tak mampu" bertelepon sekarang asik bertelepon ria, bahkan mengirimkan pesan dalam jumlah yang banyak. Teknologi nyata-nyata tidak menggantikan interaksi, tetapi menciptakan dan mengembangkan cara interaksi baru.
Pesan vs Komunikasi Utuh
Personal assistant dari seorang eksekutif, yang sudah terbiasa berkomunikasi dengan gadget terkini, suatu saat mengatakan bahwa ia mengalami gejala aneh. Seringkali, secara tiba-tiba, ia tidak bisa berpikir. Setelah berdiskusi, ia menemukan bahwa interaksi melalui pesan teks membuatnya kelelahan.
Tidak seperti pembicaraan telepon ataupun tatap muka, pesan SMS tidak dengan mudah dimengerti. Pesan ketik memang efisien, tetapi membutuhkan imajinasi tinggi, apalagi bila harus diterjemahkan ke dalam tindakan yang melibatkan beberapa hal lain. Katakan saja pesan: "Mulai hari ini, driver A saya pindah tugaskan ke rumah".
Bila kita ingin melakukan pekerjaan yang bermutu, pesan sesingkat ini perlu diterjemahkan secara komprehensif. Kita perlu bertanya lengkap: When, where, who, dan why-nya, sehingga how-nya terlaksana dengan tepat. Komunikasi tatap muka jelas lebih memudahkan tanya jawab, tidak saja melalui kata-kata, tetapi juga tarikan nafas, ekspresi muka, gerak-gerik, bahkan juga transaksi emosi.
Organisasi yang menghadapi tantangan untuk internalisasi budaya, juga melakukan manajemen perubahan, bisa merasakan benar betapa komunikasi tatap muka tidak tergantikan. Bayangkan betapa sulitnya kita menyentuh rasa dan emosi orang untuk berubah, bila dilakukan secara jarak jauh, bahkan dengan teknologi tercanggih sekali pun.
Ini juga alasannya, mengapa para direksi sebuah bank tetap berkeras mengembangkan taskforce dan menggerakkan semua manajemen atas, terbang ke seluruh cabang, untuk mengkomunikasikan pesan yang sama, dalam waktu sangat singkat. Banyak keputusan, persuasi strategik, lobi di dalam kegiatan organisasi dan politik yang membutuhkan konteks dan ekspresi emosi secara bersamaaan, tidak bisa diketik. Retorika tidak bisa diketik. "There is more to communication than the message".
Ciptakan "platform" pribadi
Perusahaan yang semakin banyak memanfaatkan komunikasi elektronik, akan bisa merasakan betapa frekuensi rapat menjadi berkurang. Banyak yang bahkan merasa rapat tidak perlu lagi. Hal ini perlu diwaspadai, mengingat orang tetap perlu menyatukan spirit untuk mengambil keputusan.
Terkadang, kita juga perlu saling menguatkan emosi untuk mengambil risiko. Kita juga banyak membutuhkan tanya jawab instan untuk mendapatkan gambaran yang jelas. Saya jadi teringat tulisan arsitek Christopher Alexander, di tahun 1977, bahwa interaksi yang paling intensif terjadi bila orang saling menyentuh. Inilah perekat paling efektif di masyarakat dan organisasi.
Dengan tersedianya segala macam fasilitas komunikasi, tidak berarti kita tidak perlu menyusun taktik berkomunikasi. Kitalah yang perlu memilih dan menentukan waktu berkomunikasi. Kita yang perlu bisa memutuskan untuk mengubah telepon ke mode "silent" pada waktu "me time" ataupun waktu berinteraksi dengan keluarga.
Penundaan komunikasi masih bisa ditanggulangi, dengan tetap memberikan servis 24/7. Kitalah yang perlu juga menentukan kapan mau bertatap muka dan mengembangkan hubungan yang lebih natural dan kaya. Hal yang justru sangat penting dan tidak boleh tertinggal adalah sasaran kita dalam berkomunikasi, bukan interaksinya, tetapi produktivitas.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini