KOMPAS.com - Rata-rata orang Indonesia memiliki sifat poor metabolizer dalam hal obat-obatan. Karakter ini juga dimiliki sekitar 35 persen warga di kawasan Asia Tenggara.
Menurut pakar biologi molekuler bidang medis Prof. David. H. Muljono, sifat ini mengindikasikan bahwa kebanyakan orang Indonesia cenderung lambat dalam memetabolisme obat. Akibatnya, obat yang masuk ke dalam tubuh akan "diolah" dalam waktu yang lama. Sehingga obat yang masuk ke dalam tubuh cenderung makin meningkat, tetapi tak seimbang dengan manfaat yang diberikan.
"Kalau begini, orang Indonesia bisa keracunan obat. Obat terus dikonsumsi, tetapi manfaatnya tidak segera dirasakan," kata David pada seminar sehari 'Celebrating 60 Years DNA Discovery' di Titan Centre, Bintaro Jaya, Tangerang, (4/6/2013).
David menambahkan, lambatnya metabolisme obat ini ditentukan sejenis gen polymorphis bernama CYP2C19 pada manusia. Gen ini berperan penting dalam mengatur metabolisme obat dalam tubuh. Adanya gen ini menyebabkan tidak semua obat cocok untuk semua individu. Dosis pemberian juga tidak bisa disamakan. Oleh karena itu pula, David menyarankan segera diterapkannya model pengobatan personalized medicine.
"Gen menentukan berbagai proses dalam tubuh. Kalau gen sudah diketahui, maka upaya kesehatan selanjutnya bisa efektif dan tepat sasaran," kata peneliti senior dari Eijkman Institute ini.
Dalam literatur medis disebutkan bahwa metabolisme obat merupakan salah satu tahap dari proses farmakokinetik. Istilah farmakokinetik menggambarkan bagaimana tubuh mengolah dan menyerap obat, berapa besar jumlah yang diserap dan yang beredar dalam darah, untuk kemudian dimetabolisme sebelum akhirnya dibuang dari tubuh. Setelah diserap dan didistribusi melalui sirkulasi darah, obat akan mengalami proses yang disebut metabolisme. Tahap ini berfungsi untuk menetralisir sifat racun yang membahayakan tubuh.
David menyarankan setiap individu untuk mulai melakukan pemeriksaan dan konsultasi gen, untuk mengetahui potensi penyakit dalam tubuh. Personalized medicine adalah konsep atau cara pandang pengklasifikasian individu.
Klasifikasi ini berdasarkan daya tanggap terhadap penyakit dan pengobatan. Hasilnya, akan ada upaya pencegahan maupun pengobatan yang berbeda, berdasarkan ciri khas individu misalnya susunan gen. Personalized medicine menjadikan pengobatan maupun pencegahan lebih efektif.
"Indonesia bukannya terlambat, atau tidak melakukan. Tapi konsep ini belum tertanam pada kebanyakan masyarakat," kata David.
Akibatnya, pengobatan yang diberikan tidak semuanya tepat sasaran. Padahal, pengobatan yang bersifat spesifik per individu ternyata menjadi resep jitu pengobatan di luar negeri. Pengobatan ini khusus ditujukan berdasarkan sifat tertentu yang berbeda per individu.
"Personalized medicine menjadi resep ampuh pengobatan negara tetangga. Pengobatan ini tidak hanya untuk pasien tapi juga masyarakat umum," kata David.