KOMPAS.com — Obat disfungsi ereksi masih beredar bebas dan mudah diakses tanpa resep dokter. Sebagian produk malah tak terdaftar dan palsu dengan komposisi tidak jelas yang berisiko jika dikonsumsi.
Di Jakarta, obat disfungsi ereksi (DE) dan jenis obat lain atau ramuan perangsang seksual marak dijual. Obat-obatan dijual di dekat tempat hiburan malam ataupun permukiman.
Selain di gerobak dan kios khusus "obat kuat", obat-obatan juga dijual di toko-toko. Di sana, penjual menyediakan sildenafil sitrat, vardenafil, tadalafil, dan lainnya. Semuanya bisa dibeli tanpa resep dokter.
"Ada yang lokal, ada yang impor. Tetapi, saya tak tahu bahannya karena keterangannya pakai tulisan China semua," kata Rudi, penjaga kios di Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, yang 20 tahun berdagang obat. Jika di toko obat harga sebutir sildenafil sekitar Rp 150.000, di kios khusus atau gerobak dijual Rp 50.000.
Adam, penjual obat bergerobak di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, mengaku omzetnya Rp 200.000-Rp 300.000 per hari. Ia menyediakan tiga tingkatan obat, yaitu asli, kualitas satu (KW-1), dan kualitas dua (KW-2).
Meski menjual obat-obat palsu, usaha itu aman. "Saya berjualan sekitar dua tahun, razia baru tiga kali," katanya. Ia membayar "uang keamanan" dan setiap akan ada razia diberi bocoran.
Tahun 2012, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan, seluruh "obat kuat" di pasaran ilegal. Pihak BPOM tak pernah memberikan persetujuan edar produk dengan kegunaan atau indikasi obat kuat. Yang ada, persetujuan untuk obat dengan indikasi mengatasi DE yang penggunaannya harus dengan resep dokter (Kompas, 6/7).
Risiko kesehatan
Menurut Dr Nugroho Setiawan SpAnd yang berpraktik di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, obat-obat DE sebenarnya tak boleh beredar bebas. Penggunaannya butuh rekomendasi dan pengawasan dokter spesialis.
Obat DE, jika dikonsumsi sembarangan, bisa berdampak fatal bagi pengguna. Jika kadar erektogenik (penimbul ereksi) dalam obat DE melebihi kebutuhan, kata Nugroho, pembuluh darah bisa melebar dan tekanan darah berkurang, serta bisa berujung kematian.
"Konsumsi obat itu ada dosis maksimal. Kalau obat asli, dosisnya tepat, tetapi tidak seperti itu untuk obat palsu," katanya.
Menurut Nugroho, obat DE beredar di Indonesia lebih dari sepuluh tahun sehingga beberapa perusahaan farmasi dibolehkan memproduksi dan mengedarkan obat serupa. "Jangan beli di pinggir jalan. Jalur resmi obat-obatan ini di apotek," ujarnya.
Kepala Biro Hukum dan Humas BPOM Budi Djanu Purwanto mengatakan, pengawasan terhadap peredaran obat erektogenik sudah rutin dilakukan. Namun, pengawasan terhadap pedagang atau toko tak berizin belum berkesinambungan.
Di Jawa Tengah, Kamis lalu, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Semarang mendapati penggunaan bahan kimia berbahaya dalam produksi jamu ilegal di sebuah pabrik di Kabupaten Banyumas. Bahan kimia itu mengandung tadalafil dan sildenafil sitrat. Masih di Banyumas, petugas menggerebek gudang penyimpanan jamu ilegal plus bahan kimia.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tini Hadad mengatakan, BPOM jangan menyalahkan masyarakat. Yang dibutuhkan adalah edukasi dan aksi di lapangan. (GRE/K05)