Sebuah penelitian mengenai malaria menghasilkan terobosan baru, meskipun penemuan vaksin penyakit ini masih membutuhkan banyak waktu.
Parasit malaria (Plasmodium) membutuhkan sebuah bahan kimia yang disebut IPP (Isopentenyl Pyro Phospate) untuk bertahan. Demikian pula manusia dan banyak organisme lainnya. Tetapi Ellen Yeh, seorang peneliti di Universitas Stanford membuat IPP dalam cara yang unik, yaitu dalam sebuah struktur yang disebut apicoplast.
"Ada struktur seluler dalam parasit plasmodium yang tidak dimiliki manusia. Karena hal ini unik bagi parasit, Anda dapat melihat obat-obatan yang menargetkan hal itu, tetapi kemudian tidak memiliki efek samping pada manusia yang meminum obat-obatan tersebut," jelas Yeh.
Itulah sebabnya, para ilmuwan memusatkan perhatian pada apicoplast sebagai cara yang secara potensial lebih aman untuk menyembuhkan malaria.
Dalam penelitian laboratorium yang baru dilaporkan bahwa antibiotika digunakan untuk melumpuhkan apicoplast.
"Hasilnya, biasanya berupa parasit plasmodium mati. Jadi, apa yang baru tentang penelitian kami adalah sekarang kami menemukan cara untuk "menyelamatkan" parasit itu," ujar Yeh.
Mereka menunjukkan apa yang disebut "penyelamatan" dengan memberikan suplemen plasmodium IPP, yang membuat parasit tetap berfungsi dalam eksperimen-eksperimen laboratorium dalam kondisi di mana mereka tidak lagi dapat menyebabkan malaria.
Saat ini, para peneliti mengetahui apicoplast dapat berwujud sebagai parasit malaria yang disebut "Achilles heel," dan bahwa produksi IPP merupakan salah satu fungsi penting struktur tersebut.
Ellen Yeh mengatakan penelitiannya mungkin akan memberikan perangkat baru pada para pembuat obat untuk menguji kemungkinan obat-obatan, perangkat yang bisa mereka gunakan secara langsung. Hal ini juga membantu untuk membuat vaksi malaria.
"Vaksin ini tentunya membutuhkan lebih banyak uji coba. Saya kira kita dapat dengan mudah bicara dalam jangka waktu sedikitnya 10 hingga 15 tahun, jika tidak lebih jauh lagi. Jalan ke depan masih sangat panjang, tetapi saya kira kita lebih dekat daripada sebelumnya," kata Yeh.
Hasil penelitian Ellen Yeh dari Universitas Stanford dan Joseph deRisi, rekan sejawatnya dari Universitas California telah dipublikasikan di jurnal PLoS Biology.