Liputan6.com, New York: Penggunaan jaringan internet nirkabel atau Wi-Fi yang meluas menandai perkembangan teknologi di era digital. Di balik modernitas yang diciptakan, sinyal yang dipancarkan di hampir seluruh penjuru ruang publik mulai memicu masalah kesehatan yang baru. Kini, beberapa orang diperkirakan mengalami alergi terhadap Wi-Fi.
Di Amerika Serikat, orang-orang yang alergi terhadap sinar sinyal elektromagnetik diperkirakan mencapai sekitar lima persen dari warganya. Penyakit yang dikenal sebagai hipersensitivitas elektromagnetik (EHS) ditandai dengan gejala sakit kepala, kram otot, kulit terbakar, dan nyeri kronis.
Selain sinyal Wi-Fi, kondisi itu juga diperkuat oleh pengaruh paparan sinyal telepon seluler yang terlalu kuat, dan satelit.
Diane Schou, salah seorang penderita, mengatakan, "wajah saya berubah merah, saya juga merasa nyeri di kepala, serta mengalami gangguan penglihatan. Bahkan, saya merasa nyeri ketika berpikir. Dan, kemudian saya juga mulai merasakan sakit di dada," ujarnya.
Untuk mengurangi penderitaannya, Schou tinggal di sebuah kamar yang dirancang kedap terhadap gelombang elektromagnetik. Namun, ternyata hal itu tidak cukup untuk melindunginya. Bersama dengan suaminya, ia terpaksa pindah dari kediamannya di Iowa, Amerika Serikat, ke sebuah desa terpencil di Green House, West Virginia, yang hanya dihuni oleh sekitar 143 warga.
Badan Perlindungan Kesehatan Inggris mengatakan bahwa para peneliti gagal untuk mengembangkan hubungan antara gelombang elektromagnetik dan penyakit. Banyak dokter yang meyakini bahwa kondisi seperti itu hanyalah sebuah psikosomatik.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO juga mengatalan hal serupa. WHO mengatakan bahwa sejumlah kasus pada alergi Wi-Fi hanya kasuistik. Berdasarkan pernyataan resmi dari WHO, EHS tidak memiliki kriteria diagnostik yang jelas. Tidak ada dasar ilmiah untuk menghubungkan gejala EHS untuk bidang elektromagnetik. (Medicmagic/ARI)