TEMPO Interaktif, Ada satu hal yang kerap dilakukan Anita Rachman, 28 tahun, jika perasaan suntuk tiba. Karyawan swasta ini akan bergegas ke bioskop dan menonton film-film yang tengah tayang. Kebutuhan pergi ke bioskop ini bahkan terasa wajib bila dia merasa berada dalam tekanan pekerjaan yang membuatnya stres. Karena tinggal di daerah Palmerah, lajang ini biasa melenggang ke bioskop di Senayan City.
"Begitu pulang kerja, yang namanya ke bioskop itu harus," kata Anita, Jumat 9 September lalu.
Dia mengaku menonton film bisa menjadi penawar yang bagus untuk suasana hatinya yang jelek. Persoalan pekerjaan atau masalah hubungan personal yang kurang baik sejenak bisa terlupakan. "Bioskop jadi tempat hiburan yang murah meriah yang bisa diakses siapa pun," katanya.
Rasa terhiburnya akan hadir jika yang ditonton film bagus atau yang diperankan oleh aktor-aktor favorit, seperti Leonardo DiCaprio, Brad Pitt, serta James Franco. "Mereka jaminan film-film bagus. Kalau sudah nonton, bete pasti hilang," ujar Anita.
Menonton film, ia melanjutkan, terkadang bisa menguatkan mentalnya. Adegan yang membahas soal inner peace (kedamaian dari dalam diri) dalam Kung Fu Panda II, misalnya, membuatnya amat terkesan. Anita, yang tengah galau, merasa mendapatkan pencerahan dari dialog-dialog di film itu.
Gary Solomon, Ph.D, ahli psikologi dari Community College of Southern Nevada, Amerika Serikat, mengungkapkan, menonton film memang bisa menjadi terapi (cinematherapy), khususnya untuk memulihkan masalah motivasi hubungan, depresi, dan sebagainya, kecuali gangguan kejiwaan yang akut. "Film bisa memberi efek positif," ujarnya.
Ketika menonton film, kita biasanya akan merasa mengalami sendiri apa yang dirasakan tokoh-tokoh dalam cerita. Melalui simbol-simbol yang biasanya bertebaran di sana, alam bawah sadar lalu mencoba berkomunikasi dengan alam sadar. Jembatannya adalah imajinasi. Setelah film selesai diputar, solusi-solusi dalam film (yang disampaikan melalui tokoh) pun terasa mengurangi perasaan depresi. Sebab, inspirasi positif timbul seiring dengan terhubungnya materi bawah sadar dan alam sadarnya.
Meskipun, film yang digunakan untuk media terapi sebenarnya tidak memecahkan masalah kita secara langsung. Paling tidak sebuah film membantu memahami masalah yang sebelumnya tidak disadari.
Tentu saja menyaksikan film sebagai terapi sebaiknya dilakukan dengan pendampingan psikiatri. Film yang ditonton pun tidak cuma satu, dengan total durasi bisa sampai enam minggu. Namun siapa pun sebenarnya bisa melakukan terapi terhadap diri sendiri, dalam konteks yang lebih sederhana, untuk melenyapkan perasaan negatif yang berlarut-larut.
Untuk itu, pilihlah film sesuai dengan mood. Kita bisa bertanya kepada teman yang sudah menonton film bagus, membaca resensi atau sinopsisnya di media. Kalau tokoh utama di dalam film tersebut mengalami kejadian seperti yang Anda alami, itulah film yang Anda cari.
Psikolog Ratih Ibrahim mengaku terapi melalui film belum umum dilakukan di Indonesia. Namun ia sependapat bahwa menonton film memang bisa dijadikan sebagai media terapi. Tapi yang harus diperhatikan adalah jenis film yang ditonton harus cocok dengan keadaan yang dihadapi. "Tapi, kalau lagi depresi, ya, nontonnya jangan film tentang depresi. Enggak cocok," ujarnya.
"Kalau sebatas penawar di saat bete ataupun stres, sebagai solusi atau pengalihan sementara, ya, lumayanlah. Tapi masalah yang dihadapi tetap harus diatasi," katanya.
AMIRULLAH | CINEMATHERAPY.COM