Batik Mega Mendung (dok. Wahyu Moro Batik)
VIVAnews - Lelehan lilin panas meninggalkan jejak menyerupai awan yang berarak-arak di langit. Melalui serangkaian proses pewarnaan, jejak itu menjelma menjadi karya seni bercita rasa tinggi: Batik Mega Mendung.
Dengan coraknya yang khas, Batik Mega Mendung melambungkan Cirebon sebagai rahimnya. Menjadi ikon Cirebon sebagai kota penghasil batik nusantara.
Kisahnya tak lepas dari sejarah kedatangan bangsa China ke wilayah Cirebon di masa lalu. Bermula dari pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Ratu Ong Tien yang menjadi gerbang masuk budaya dan tradisi China ke Keraton Cirebon.
Akulturasi budaya tercipta. Tanpa meninggalkan kekhasan lokal yang sudah mendarah daging, para pembatik di Cirebon mengadopsi garis awan yang memuat simbol-simbol China. Garis awan yang mulanya berupa bulatan atau lingkaran menjadi lebih longjong, lancip, atau segitiga.
Bentuk awan tersebut menegaskan pengaruh faham filsafat China kuno yang melambangkan dunia atas. Awan merupakan gambaran dunia luas, bebas, dan mempunyai makna transidental atau ketuhanan. Sementara warna biru menjadi lambang kesuburan dan pemberi kehidupan.
Demi mempertahankan pasar modern, kini Batik Mega Mendung tak melulu hadir dalam nuansa biru. Tanpa menerjang pakem yang diwariskan leluhur, para pembatik di Cirebon mulai bermain dengan gradasi warna-warna ceria sembari menyisipkan aneka corak flora dan fauna sebagai pemanis.
Dari Cirebon, Mega Mendung menjelajah ke mancanegara. Melekat pada karya terbaru desainer ternama asal Inggris, Julien Macdonald, yang ditampilkan di London Fashion Week pekan ini. Corak Mega Mendung juga pernah menjadi cover buku batik terbitan luar negeri berjudul 'Batik Design', karya seorang berkebangsaan Belanda bernama Pepin van Roojen. (umi)
• VIVAnews
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.
' ); $.ajax({ type: "POST", url: "/comment/load/", data: "valIndex=" + a + "&articleId=" + b + "&defaultValue=" + c, success: function(msg){ $("#loadkomen").html(msg); //$(".balasan").hide(); } }) }