memakai jaringan nirkabel (doc Corbis)
VIVAnews - Penggunaan jaringan internet tanpa kabel atau Wi-Fi yang meluas menandai perkembangan teknologi di era digital. Di balik modernitas yang tercipta, sinyal yang terpancar di hampir semua sudut ruang publik bisa jadi mulai memicu masalah kesehatan baru: alergi Wi-Fi.
Di Amerika Serikat, alergi terhadap pancaran sinyal elektromagnetik tersebut diperkirakan menimpa sekitar lima persen warganya. Penyakit yang dikenal sebagai Electromagnetic Hypersensitivity (EHS) itu ditandai dengan gejala sakit kepala, kejang otot, kulit terbakar, dan sakit kronis.
Selain pancaran sinyal Wi-Fi, kondisi itu juga diperkuat pengaruh paparan sinyal telepon selular yang terlampau kuat, dan satelit.
Diane Schou, salah satu penderita, berkisah kepada BBC, "Wajahku berubah merah, kepala rasanya sakit, penglihatan terganggu, dan terasa sakit saat berpikir. Dan, belakangan aku juga mulai merasa nyeri di dada. Bagi saya, rasanya seperti mengancam jiwa."
Demi mengurangi penderitaannya, ia sempat tinggal di sebuah kamar kayu yang didesain kedap dari gelombang elektromagnetik. Namun, cara itu tak cukup melindunginya. Bersama suaminya, ia terpaksa pindah dari kediamannya di Iowa ke sebuah desa terpencil di Green House, Virginia Barat, di mana hanya dihuni sekitar 143 penduduk.
Kasus serupa dialami Janice Tunnicliffe. Wanita 55 tahun ini kesakitan setiap berdekatan dengan perangkat yang memancarkan medan elektromagnetik, seperti Wi-Fi, televisi, lampu, radio, televisi. "Wi-Fi membuat saya merasa memiliki penjepit di belakang kepala yang menarik paksa kehidupan saya," ucapnya seperti dikutip Daily Mail. Pemerintah Swedia dan Swiss percaya kondisi ini. Tetapi, UK Health Protection Agency mengatakan bahwa para peneliti gagal dalam mengembangkan hubungan antara gelombang elektromagnetik dan penyakit. Banyak dokter bahkan percaya bahwa kondisi seperti yang dialami Tunnicliffe hanya sebuah psikosomatis.
Graham Lamburn, dari Powerwatch, sebuah organisasi yang meneliti efek medan elektromagnetik, mengatakan tiga sampai empat persen dari populasi melaporkan sensitivitas terhadap electrosensitivity. "Kasus semacam ini jarang, tetapi ada beberapa orang yang harus melepaskan rumah dan pekerjaan karena electrosensitivity."
Sementara Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengatakan bahwa sejumlah kasus hanya kasuistik. "EHS tidak memiliki kriteria diagnostik yang jelas. Tidak ada dasar ilmiah untuk menghubungkan gejala EHS dengan medan elektromagnetik. EHS bukanlah diagnosis medis," demikian pernyataan resmi WHO. (umi)
• VIVAnews
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.
' ); $.ajax({ type: "POST", url: "/comment/load/", data: "valIndex=" + a + "&articleId=" + b + "&defaultValue=" + c, success: function(msg){ $("#loadkomen").html(msg); //$(".balasan").hide(); } }) }