Para ahli di Amerika mengungkapkan bahwa para pria yang makan telur lebih dari dua setengah butir seminggu mempunyai kemungkinan 81 persen lebih tinggi untuk meninggal akibat penyakit kanker prostat.
Diungkapkan bahwa kerusakan pada tubuh kemungkinan terjadi akibat banyaknya jumlah kolesterol atau
choline–nutrisi yang membantu sel-sel untuk berfungsi secara baik–yang terkandung di dalam telur.
Menurut data, rata-rata pria Inggris mengkonsumsi 182 telur per tahun atau sama dengan 3,5 butir telur per minggu.
Hingga beberapa waktu lalu, the British Heart Foundation merekomendasikan agar memakan tak lebih dari tiga butir telur sepekan. Hal ini dikarenakan adanya kekhawatiran meningkatnya risiko serangan jantung dan stroke.
Namun, rekomendasikan tersebut dicabut pada 2007 setelah ada bukti baru yang menunjukkan bahwa sangat sedikit kolesterol dalam telur yang masuk ke dalam sistem aliran darah tubuh.
Penelitian terbaru yang dilakukan di the Harvard School of Public Health di Boston, Amerika, menyelidiki peran telur-telur dalam kanker prostat sebagai kelanjutan dari penemuan tahun lalu. Temuan itu mengungkapkan bahwa pria yang terdiagnosis tumor level rendah akan meninggal karenanya jika mereka berdiet telur.
Riset itu dilakukan dengan memeriksa kebiasaan makan 27 ribu pria selama 14 tahun. Tim peneliti tidak menemukan hubungan yang signifikan antara jumlah daging yang dimakan dengan tumor. Namun jumlah kematian akibat kanker meningkat di antara mereka yang mengaku mengonsumsi banyak telur.
Dalam laporan hasil temuan mereka, para peneliti mengatakan, "Pria yang mengkonsumsi 2,5 butir telur seminggu, risikonya atas serangan kanker prostat yang mematikan meningkat hingga 81 persen dibandingkan dengan mereka yang mengkonsumsi kurang dari 2,5 butir telur dalam seminggu."
Namun, Sarah Williams, petugas di pusat informasi kesehatan Cancer Research di Inggris mengatakan, "Ada beberapa penelitian sebelumnya yang menghubungkan antara kebiasaan makan telur dengan risiko penyebaran kanker prostat yang mematikan ini. Namun, hasil-hasil tersebut kontradiktif dan masih belum jelas apakah ada efek nyata atau tidak."
DAILY MAIL | ARBA'IYAH SATRIANI