Selasa, 29 November 2011 | 03:45 WIB
TEMPO.CO,:- Ada yang baru dari perancang busana Diana Safitri di ajang Jakarta Fashion Week 2011, 12 - 18 November lalu. Perancang yang dikenal dengan nama Dee Ong mengeluarkan belasan koleksi busana dari bahan kain tapis Lampung, tema My coffee in the famous Tapis.
Kain tapis dari Lampung itu cantik dan mewah dalam penampilan. Tapis merupakan filosofi pakaian wanita Lampung, katanya tentang kain yang menggunakan tenun benang perak atau benang emas ini.
Perancang berusia 35 tahun pemilik label busana Batik 118 ini, sebelumnya dikenal sebagai perancang yang mengangkat batik ke dalam setiap rancangannya. Dia banyak menggali motif batik nusantara, dipadankan dengan kain sutra, seperti terlihat pada fashion show perdananya, ajang Jakarta Fashion Week 2010, tahun lalu.
Rupanya keberanian Dee Ong ini menjawab tantangan Pejabat Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, yang sekarang menjabat Wakil Menteri Parawisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar. Menurut Sapta pada Dee Ong , mencintai Indonesia tidak berarti melulu mengangkat batik. Tapi juga menggali kain kain dari nusantara lain.
Nah, selama tiga bulan dia mempelajari motif kain tapis mulai dari tumpal, gunung dan gajah. Karakteristik kain yang berat menjadi tantangan Dee Ong untuk mendesain busana casual dan ringan.
Dalam Pekan Busana Jakarta itu beberapa koleksi untuk busana kerja dan pesta coctail ditampilkan. Disitu memperlihatkan tapis dijadikan detil motif untuk model blazer, blus, dan gaun pendek. Tapis menjadi manis, tidak lagi berat dan berlebihan.
Banyak motif kain tapis dijadikan jaket, coat atau blazer panjang dipadukan dengan pakaian dalam berupa kain sutera Cina. Kesan ditampilkan elegan dan sensual. Pada model lain, atasan model kemben perpaduan bahan tapis dan sutra Cina dipadukan dengan celana panjang berpipa lebar.
Keseluruhan koleksi memperlihatkan ciri khas detil kain tapis pada ujung lengan, tali gaun, ujung rok atau celana. Kombinasi sutera Cina memberi kenyamanan bagi pemakainya agar tidak merasa panas karena tebalnya bahan tapis.
Kain tapis, menurut peneliti sejarah dan arkeologi asal Belanda Van der Hoop yang meneliti peninggalan arkeologi dataran tinggi Pasemah tahun 1930-an, datang belakangan. Sebelumnya orang Lampung telah menenun kain brokat, sejak abad II Masehi.
Saat itu dikenal juga tenun kain tapis bertingkat, disulam benang sutera putih, disebut kain tapis inuh. Hiasan-hiasan pada kain tapis memiliki unsur pengaruh tradisi neolithikum, banyak ditemukan di Indonesia.
Pengembangkan kain tapis dalam bentuk busana modern, menunjukkan desainer Indonesia, peduli dengan kekayaan motif kain tradisional di negeri ini. Keberagaman jenis dan motif kain di nusantara, seperti kehidupan masyarakat negeri ini yang tidak homogen (seragam). Setelah Dee Ong dengan tapis Lampungnya, ditunggu disainer lain dengan jenis dan motif kain Indonesia lainnya.
EVIETA FADJAR