Kamis, 08 Desember 2011 | 05:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta:Masa kehamilan merupakan masa yang banyak ditunggu pasangan yang baru menikah. Umumnya mereka memimpikan keturunan yang sehat dan cerdas. Sayang, terkadang keinginan ini tidak berjalan sesuai dengan harapan. Beragam penyebabnya. Salah satunya defisiensi zat gizi mikro, yang dialami calon ibu selama kehamilan.
Apakah defisiensi zat gizi mikro tersebut? Yakni, sebuah kondisi ketika calon ibu cukup mengkonsumsi makanan secara umum, tapi kurang asupan zat gizi mikro tertentu yang dibutuhkan untuk mempertahankan pertumbuhan dan fungsi organ, serta sistem tubuh sang ibu. Zat gizi mikro adalah zat gizi yang diperlukan tubuh dalam jumlah sedikit, tapi dapat mengganggu keseimbangan metabolisme bila tidak terpenuhi. Contoh zat gizi mikro adalah vitamin A, seng, zat besi, yodium, dan asam folat.
Menurut ahli gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dr dr Saptawati Bardosono, MSc, ibu kurang gizi akan kekurangan cadangan zat gizi yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan embrio. Beberapa hari setelah konsepsi, embrio muncul dalam rahim tapi belum tertanam dalam dinding rahim. Pada periode ini, terjadi pembelahan dan replikasi sel secara cepat.
"Pada ibu malnutrisi akan berpengaruh secara negatif terhadap pembelahan dan replikasi sel dalam embrio, yang berdampak negatif pada janin di tahap selanjutnya," kata Saptawati pada simposium "Pentingnya Nutrisi Sejak Awal Kehidupan untuk Kesehatan Generasi Bangsa di Masa Depan" pada Selasa lalu, di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta. Hajatan ini hasil kerja sama Perhimpunan Nutrisi Indonesia bersama PT Nutricia Indonesia Sejahtera.
Terdapat sejumlah risiko kesehatan pada janin jika ibu mengalami defisiensi zat gizi mikro. Saptawati mencontohkan defisiensi folat pada awal kehamilan akan terkait dengan defisit pembentukan saluran saraf tempat tumbuhnya otak dan sumsum belakang. Jika calon ibu mengalami defisiensi kalsium, yang terjadi adalah terhambatnya pertumbuhan kerangka tulang. Sementara itu, jika terjadi defisiensi zat besi, yang terjadi pada bayi adalah anemia yang terkait dengan retardasi pertumbuhan janin dalam rahim dan menyebabkan berat bayi lahir rendah (BBLR).
Sayangnya, masalah gizi pada ibu hamil di Indonesia masih kurang menguntungkan. Ahli gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dr Elvina Karyadi, MSc, PhD, SpGK, memaparkan, berdasarkan riset kesehatan dasar 2007, terdapat 13,6 persen wanita usia subur dengan kurang energi kronis. Selain itu, ada 11,3 persen wanita dewasa yang mengalami anemia. Bahkan, berdasarkan survei kesehatan rumah tangga 2001, prevalensi (angka kejadian) anemia pada ibu hamil mencapai 40,1 persen.
Status gizi pada ibu hamil dapat dengan mudah diketahui. Cara yang sederhana adalah dengan mengukur lingkar lengan atas (Lila). Minimal Lila seorang perempuan jika ingin hamil adalah 23,5 sentimeter. "Jika sudah 23,5 sentimeter, berarti dia sudah siap hamil karena cadangan energinya cukup untuk janin," ujar Saptawati.
Adapun untuk mengetahui soal anemia dilakukan dengan mengukur jumlah hemoglobin calon ibu. Calon ibu dinyatakan mengalami anemia jika kadar hemoglobinnya kurang dari 11 gram persen (artinya 11 gram dalam setiap 100 mililiter darah). Karena itu, jika perempuan hendak hamil, harus dipastikan kadar hemoglobinnya sudah mencapai 12 gram persen ke atas.
Selain asupan zat gizi mikro, sebaiknya calon ibu menjaga agar tak sampai mengalami malnutrisi. Kasus malnutrisi terkait dengan kurangnya asupan energi dari makanan dalam waktu lama (kalori terutama dari karbohidrat dan protein). Malnutrisi yang dialami calon ibu akan menyebabkan kondisi kurang berat (underweight) dan akan meningkatkan terjadinya masalah kesehatan.
Risiko yang terjadi pada janin jika ibu mengalami malnutrisi sangat beragam, di antaranya peningkatan kematian perinatal (kematian dalam tujuh hari kelahiran). Selain itu, bayi lahir dalam kondisi kurang berat badan. Bayi dengan BBLR (berat kurang dari 2,5 kilogram) akan 5-30 kali lebih rentan meninggal dalam tujuh hari pertama kelahirannya dibanding bayi dengan berat badan normal (2,5-3,5 kilogram). Adapun bayi dengan berat badan kurang dari 1,5 kilogram memiliki risiko 70-100 kali meninggal dalam tujuh hari pertama.
Risiko lainnya adalah gangguan saraf, pencernaan, pernapasan dan sirkulasi, serta cacat lahir, kurang berkembangnya beberapa organ tubuh, dan kerusakan otak. Yang juga mengkhawatirkan adalah bayi mengalami gangguan metabolis pada pankreas. Akibatnya, bayi mengalami gangguan metabolisme insulin dan glukosa selama kehidupannya. "Bayi akan terkena diabetes melitus tipe 2, sindroma metabolis, dan obesitas," kata Saptawati.
AMIRULLAH