Rabu, 07 Desember 2011 | 03:21 WIB
TEMPO.CO, Jakarta:-Perhatian terhadap asupan gizi untuk janin biasa dilakukan pada calon ibu hamil. Si ibu akan berusaha memenuhi asupan nutrisi dengan harapan bayi yang dilahirkannya kelak bisa sehat dan selamat.
Padahal persiapan tersebut semestinya dilakukan sejak menikah. Tujuannya agar tumbuh-kembang janin tidak mendapat masalah dalam jangka pendek maupun panjang, misalnya terjadinya bayi dengan bobot lahir rendah.
Ihwal berat badan bayi berkait erat dengan nutrisi yang dikonsumsi calon ibu. Celakanya, dalam urusan ini, menurut ahli ilmu gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Saptawati Bardosono, masih sering terjadi salah kaprah, termasuk dalam urusan kebijakan. Adanya kebijakan memberikan zat besi dan asam folat kepada ibu hamil oleh petugas di pusat-pusat layanan kesehatan layak menjadi contoh.
"Sayangnya, suplementasi ini dilakukan terlambat. Sebab, proses pembentukan janin dimulai saat konsepsi," kata Saptawati dalam simposium "Pentingnya Nutrisi Sejak Awal Kehidupan untuk Kesehatan Generasi Bangsa di Masa Depan" di Jakarta kemarin. Hajatan ini hasil kerja sama Perhimpunan Nutrisi Indonesia bersama PT Nutricia Indonesia Sejahtera.
Pemberian nutrisi ini bisa semakin terlambat karena calon ibu biasanya baru sadar bahwa dirinya hamil setelah usia kandungan mencapai dua bulan. Bila perempuan mengalami kurang gizi sebelum terjadinya konsepsi, menurut Saptawati, yang terjadi adalah malnutrisi (underweight) saat mulai hamil. Kondisi ibu yang mengalami malnutrisi akan berpengaruh negatif terhadap pembelahan dan replikasi sel dalam embrio.
Bila janin mengalami malnutrisi pada masa kehamilan, bayi akan mengalami life-long programming effect (yang mempredisposisi bayi untuk mengalami masalah kesehatan yang kronis dengan berlanjutnya usia).
"Janin akan beradaptasi terhadap malnutrisi dengan cara mengurangi produksi insulin dan glukosa. Adaptasi tersebut akan memprogram sistem metabolisme janin dan bayi, yang potensial meningkatkan risiko penyakit kronis di usia selanjutnya," kata Saptawati.
Sejumlah risiko lainnya yang mengintai bayi yang mengalami gangguan metabolik adalah diabetes melitus tipe-2, intoleransi glukosa, gangguan metabolisme energi, obesitas, dan disfungsi mitokondria dalam sel, serta stres oksidatif.
Selain itu, bayi dari ibu yang mengalami malnutrisi juga akan menghadapi risiko lebih tinggi terjadinya bayi lahir mati (stillbirth), kelahiran prematur, kematian perinatal (kematian dalam tujuh hari kematian), serta gangguan saraf, pencernaan, pernapasan, dan sirkulasi.
Risiko lain, bayi mengalami cacat lahir, beberapa organ tubuhnya kurang berkembang, mengalami kretinisme (kelainan kongenital yang mempengaruhi kelenjar tiroid yang mengakibatkan gangguan koordinasi, ekspresi wajah lamban, dan kulit kering), serta kerusakan otak.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan pada 2007, prevalensi bayi yang mengalami berat lahir rendah mencapai 11,5 persen. Bayi dikatakan mengalami berat lahir rendah jika berat badannya kurang dari 2,5 kilogram akibat malnutrisi selama masa kehamilan.
Menurut ahli ilmu kesehatan anak FKUI-RSCM, Dokter Titis Prawitasari, tindakan pencegahan terhadap lahirnya bayi dengan bobot lahir rendah bisa dilakukan saat bayi masih dalam kandungan.
Caranya, nutrisi ibu hamil harus lebih diperhatikan dengan memastikan asupan nutrien yang dibutuhkan bayi secara cukup. "Tindakan pencegahan lain bisa dilakukan saat bayi dilahirkan, yaitu dengan memberikan air susu ibu secara eksklusif selama enam bulan," kata Titis.
Setelah enam bulan, penambahan makanan padat dapat dilakukan pada saat yang tepat dan mencukupi. "Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan harus senantiasa dipantau," kata Titis.
AMIRULLAH