Bidan Sri Partiyah (dok. Srikandi Award)
VIVAnews - Sri Partiyah bukan pemulung. Yang ia lakukan hanya membangun 'Bank Sampah' demi menunjang serangkaian program kebidanan di area tugasnya, Desa Duwet, Kecamatan Bendo, Magetan, Jawa Timur.
Dengan beragam program kesehatan keluarga yang ia canangkan, bidan desa itu menjadi magnet tersendiri dalam penjurian Srikandi Award 2011.
Lewat Bank Sampah, ia mencipta mahakarya yang tak hanya mengatasi masalah sampah di lingkungan, tetapi juga mengatasi masalah kesehatan dan ekonomi warga di desanya. Mengakrabi sampah tak mengotori niatnya membantu kesejahteraan warga desa.
Berawal dari kasus gizi buruk yang melanda desanya, ia berjuang melanggengkan program pemerintah, yakni Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pemulihan gizi buruk. Banyak bayi yang kembali tersandung masalah gizi buruk ketika program dihentikan.
"Setelah survei ternyata banyak keluarga tidak mampu memberikan asupan gizi yang cukup. Akhirnya, saya mencoba untuk memberikan penanganan yang tidak tergantung pada pemerintah," ujarnya ketika ditemui VIVAnews.com. Dari keinginan tersebut, muncul ide cemerlang dari hasil jalan-jalan ke pengepulan sampah. "Waktu saya jalan-jalan bersama suami, saya menemukan tempat penampungan sampah, saya bertanya harga berbagai jenis sampah. Dari sana, saya berkesimpulan bahwa mengolah sampah dapat menghasilkan keuntungan yang banyak."
Beroperasi sejak Juni 2010, Bank Sampah mulanya hanya memiliki 56 nasabah dari 600 kepala keluarga yang ada di desanya. Meski terbilang sedikit, tak disangka Bank Sampah mampu meraih keuntungan hingga 100 persen.
"Dari jumlah tabungan sekitar Rp200-an ribu, kami mendapatkan hasil penjualan sampah ke pengepul sekitar Rp500-an ribu," ujarnya. Dan kini, peminatnya semakin melonjak hingga 350 nasabah.
Bank Sampah memiliki sistem sama dengan bank pada umumnya. "Keluarga datang dengan membawa sampah anorganik, kami timbang dan kami tentukan harganya. Lalu, mereka membawa nota penimbangan ke bendahara untuk dilakukan pencatatan di buku tabungan. Warga pun berhak mengambil uangnya atau menabungnya."
Sampah dihargai sesuai jenisnya. Besi dihargai Rp3.000 per kilogram, kardus Rp1.000 per kilogram, kertas Rp1.000 per kilogram, dan plastik Rp300 per kilogram.
Dari hasil penjualan ke pengepul, Bank Sampah mendapat keuntungan sebagai modal penanaman buah pepaya yang berguna dalam memenuhi asupan nutrisi warga. Selain investasi tanaman pepaya, keuntungan juga digunakan untuk penyediaan PMT (Pemberian Makanan Tambahan) untuk balita bergizi kurang dan buruk, serta pemenuhan gizi ibu hamil.
Tak hanya itu, keuntungan juga dipakai untuk mengadakan door prize di posyandu untuk balita yang hadir. "Agar kalau ibu enggan ke posyandu, anaknya yang ngajak. Door prize pun cenderung yang bermanfaat seperti payung atau handuk."
Kalau saat ini yang dikumpulkan hanya sampak anorganik, bidan pun mulai mempersiapkan program tambahan untuk mengolah sampah organik menjadi kompos.
"Kelompok tani yang baru saja mendapatkan bantuan berupa mesin pengolah sampah organik sudah mengajak kerja sama. Nantinya, Bank Sampah sebagai tempat untuk mengumpulkan sampah organik juga, lalu kami olah menjadi kompos dan dijual lagi ke masyarakat," ujarnya.
Rencananya, satu kilogram sampah organik akan dibeli dengan harga Rp300. Sampah-sampah ini akan diolah bersama-sama kelompok tani menjadi kompos, yang hasilnya dijual lagi ke masyarakat dan petani dengan harga Rp500 per kilogram.
Keseluruhan program Bank Sampah tentu berdampak jangka panjang pada kesejahteraan warga, lingkungan, dan tentunya kesehatan warga Desa Duwet. Satu solusi untuk beragam masalah.
• VIVAnews
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.
Kirim Komentar
Anda harus Login untuk mengirimkan komentar