Minggu, 04 Desember 2011 | 13:40 WIB
TEMPO.CO, - Farida Kusuma akhirnya tak tahan juga. Perempuan 41 tahun yang sudah bertahun-tahun memiliki penyakit maag ini mendatangi Paviliun Kencana Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebab, nyeri di ulu hatinya tak kunjung sembuh meski sudah diobati.
Setelah dilakukan endoskopi alias peneropongan saluran pencernaan atas, misteri di balik rasa nyerinya terungkap, yakni ada peradangan di usus halus dan luka di lambung.
"Stres karena beban pekerjaan dan pola makan yang enggak bagus," kata karyawan Jaya Ancol, Jakarta Utara, yang banyak mengurusi kegiatan seni dan budaya ini menyebut alasan di balik penyakitnya itu, Jumat, 2 Desember 2011 lalu. Padahal agar tak tersambar maag, ia sudah membuang jauh-jauh kebiasaan lamanya: menyeruput kopi, menenggak minuman bersoda, atau mengkonsumsi makanan "berbumbu" cuka.
"Ketiganya pemicu kuat. Makan atau minum sedikit saja, maag-ku langsung kambuh," kata warga Pondok Bambu, Jakarta Timur, ini. Selain itu, ibu dua anak ini harus berpantang makanan berlemak karena kadar kolesterolnya tinggi. Jika gangguan ini menyerang, kata Farida, "Kepala belakang pusing, cepat lelah, dan lemas."
Farida bisa jadi hanyalah potret kecil dari wajah warga Ibu Kota. Pergi pagi-pagi menuju kantor, lalu pulang saat matahari sudah menghilang dan berselimut malam. Kesibukan kerja membuat dirinya tak bisa mengatur jam makan atau tidak cermat memilih menu makanan yang bagus buat tubuh.
Buntutnya itu tadi, maag menclok di tubuhnya dan kadar kolesterolnya tinggi. Agar maag tak gampang menyapa, Farida selalu menyiapkan makanan kecil atau camilan, baik di mobil maupun di kantornya.
Untuk menundukkan kadar kolesterol yang tinggi dalam darah, dokter spesialis gizi klinis RSCM, Fiastuti Witjaksono, menekankan pentingnya berganti menu makanan. "Yang terbaik mengkonsumsi makanan dengan serat larut," ujarnya.
Sebab, makanan berserat akan mengikat kolesterol sehingga terbawa keluar dari tubuh. "Ketimbang oatmeal yang berserat tak larut, lebih baik mengkonsumsi sayur dan buah yang berserat larut," ia menambahkan.
Selain maag dan kadar kolesterol, yang angka kejadiannya makin tinggi--bahkan sebuah riset menyebutkan lebih dari separuh warga Jakarta mengidap maag--diabetes melitus adalah ancaman lain yang tak kalah menyeramkan. Diperkirakan, satu dari delapan warga Ibu Kota memiliki penyakit yang lazim disebut kencing manis ini.
"Selain faktor makanan, kurangnya aktivitas fisik dan olahraga adalah pemicu terjadinya diabetes," kata Dante Saksono Harbuwono, dokter spesialis endokrinologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM.
Bagi mereka yang bekerja di Jakarta, lantaran buruknya pengaturan lalu lintas, waktu yang dihabiskan di atas kendaraan, baik angkutan umum maupun kendaraan pribadi, bisa berjam-jam. Kondisi itu diperparah saat tiba di kantor. Begitu masuk ruangan, mereka terjebak rutinitas.
"Jika bawa mobil sendiri, parkirlah yang agak jauh dari pintu masuk kantor sehingga ada kesempatan berjalan kaki," kata Dante memberikan tip. Atau kalau ruangan kerja cuma berada di lantai tiga, jangan malas menaiki tangga dan mengabaikan lift. Tetap ada keterbatasan, kata dia, "Tapi tak ada salahnya menggunakan berbagai kesempatan untuk melakukan aktivitas fisik."
Sementara diabetes tipe 2, yakni diabetes tak tergantung insulin, menghantui kalangan usia dewasa, warga Ibu Kota, juga kota-kota lain, belakangan dikejutkan oleh meruyaknya penyakit diabetes tipe 1 yang tergantung insulin pada anak. Dari sekitar 750 kasus di Tanah Air, kata Aman B. Pulungan, dokter spesialis endokrinologi anak FKUI-RSCM, "Khusus di Jakarta, ada 230 kasus. Sekarang tiap minggu ada saja kasus baru."
Merebaknya diabetes tak boleh dipandang sebelah mata. Sebab, komplikasinya terhitung luar biasa. Selain gangguan pada mata, penyakit ini mendongkrak risiko hipertensi, penyakit jantung, dan stroke. Khusus ihwal gangguan kaki diabetik, data di RSCM pada 2007 menunjukkan sebesar 16,1 persen meninggal, 25,5 persen mengalami amputasi dan membaik, 25,5 persen kasus pulang paksa, dan hanya 32,2 persen sisanya yang selamat dari amputasi.
Ancaman lain yang menggerus produktivitas warga Jakarta adalah asam urat. Mereka yang terkena nyeri sendi ini, misalnya menyerang sendi kaki, terpaksa harus beristirahat total di rumah. Sebab, jika dipaksa jalan ke kantor, tak sekadar terpincang-pincang, tapi rasa nyerinya enggak ketolongan.
Wajar jika penyakit ini disebut rajanya penimbul rasa nyeri. "Kalau kadar asam urat dalam darah dibiarkan tinggi, hal itu akan menimbulkan hipertensi dan gangguan pada ginjal," kata dokter spesialis rematologi RSCM, Harry Isbagio. "Yang terberat adalah terjadi gagal ginjal."
Lantaran komplikasi yang mungkin muncul dari keempat jenis penyakit itu sangat besar, wajar jika kalangan medis menyarankan agar warga Ibu Kota melakukan perubahan mendasar terhadap gaya hidupnya.
Caranya, atur pola makan, cukup istirahat, kendalikan stres, dan manfaatkan berbagai kesempatan yang ada untuk beraktivitas fisik. Dengan revolusi semacam itulah, keempat penyakit tersebut bisa dihindari. Kalau tidak, penyakit-penyakit itu akan menghampiri. Waspadalah, waspadalah!
l DWI WIYANA | OKTAMANDJAYA WIGUNA