Gunung Kidul (ANTARA News) - Kasus bunuh diri secara gantung diri di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sejauh ini belum ditangani secara serius sehingga jumlahnya masih tinggi, kata psikiater Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonosari, Ida Rochmawati.
"Di Gunung Kidul belum ada gerakan terpadu dan kebijakan yang spesifik tentang kesehatan jiwa, padahal bunuh diri itu, seperti fenomena gunung es, yakni terlihat sedikit tapi akar permasalahannya besar," ujarnya di Gunung Kidul, Selasa.
Dia mengatakan, pemerintah semestinya menggunakan kebijakan serius dengan menjadikan kasus bunuh diri sebagai kejadian luar biasa.
Menurut dia, terdapat banyak faktor penyebab bunuh diri, yakni aspek biologis, psikiatris, dan sosiologis.
Aspek biologis, dikatakannya, ditandai dengan rasa sedih berlebihan, merasa bersalah, dan pesimistis.
"Pada aspek biologis ini terjadi penurunan neurotransmitter di otak yang bernama serotonin yang mengakibatkan gangguan perasaan," katanya.
Dari sisi psikiatris, menurut dia, 80 persen penyebab bunuh diri adalah depresi yang dipicu masalah kemiskinan, penyakit kronis, dan kesepian.
Adapun aspek sosiologis, dikemukakannya, menggambarkan anggapan sebagian masyarakat bahwa bunuh diri sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah.
"Bunuh diri menjadi role model karena banyak orang melakukannya di Gunung Kidul," katanya.
Ia mengatakan, stigma bunuh diri secara menggantung diri atau dalam masyarakat Jawa disebut pulung guntung menjadi semacam alibi untuk menutupi alasan tindakan tersebut.
"Kematian karena bunuh diri dianggap sebagai pulung atau takdir sehingga tidak terlalu penting mencari akar permasalahan," katanya.
Ia menilai, alasan dari tindakan itu bagi sebagian masyarakat ada yang menilainya di satu sisi berdampak positif sebagai penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan. Namun, menurut dia, di sisi lain lain tidak menimbulkan efek jera dan pembelajaran bagi masyarakat.
Dia mengatakan, untuk menyelesaikan persoalan itu membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, tokoh masyarakat, dan masyarakat.
Salah satu solusinya, menurut dia, adalah intervensi struktural tokoh masyarakat untuk menghapus stigma.
"Sebenarnya karakter masyarakat Gunung Kidul itu relatif patuh pada tokoh. Tokoh itu harus menjadi penggerak untuk menghapus stigma tentang bunuh diri," katanya.
Dia mengatakan, masyarakat juga membutuhkan transfer pengetahuan secara berjenjang dari profesional ke semua unsur masyarakat melalui jalur pendidikan perlu dilakukan untuk mengatasi persoalan bunuh diri.
Pada tahap awal, ia mengatakan, masyarakat memerlukan pendidikan deteksi dini untuk mengenali risiko bunuh diri melalui berbagai program.
"Saya sudah memulai gerakan edukasi terhadap delapan kecamatan di Gunung Kidul. Tahun 2012 rencananya saya bersama pemerhati kasus bunuh diri akan bekerja sama dengan WHO untuk menekan kasus itu," katanya. World Health Organization (WHO) adalah organisasi kesehatan dunia di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Ia mengungkapkan, data kasus bunuh diri yang diperoleh dari Kepolisian Resort (Polres) Gunung Kidul pada Januari hingga Desember 2011 menunjukkan ada 28 kasus.
"Kasus bunuh diri terbanyak dalam lima tahun terakhir terjadi pada 2007, yakni mencapai 39 kasus," demikian Ida Rochmawati. (*)