KOMPAS.com - Di Oslo, Norwegia, tiga perempuan yang aktif memperjuangkan kebebasan dan hak asasi perempuan, menerima hadiah Nobel perdamaian. Penerima hadiah Nobel perdamaian 2011 adalah Ellen Johnson Sirleaf, Presiden Liberia; Leymah Gbowee, aktivis perdamaian dari Liberia; dan Tawakkol Karman, aktivis pro-demokrasi dari Yaman.
Selain menerima penghargaan, ketiganya mendapatkan hadiah uang senilai total 1,5 juta dollar atau sekitar Rp 13,6 miliar.
Rendah hati dan terhormat Ellen Johnson Sirleaf, 72, adalah presiden perempuan pertama di Afrika. Ia memiliki komitmen kuat dalam memperjuangkan perdamaian di negaranya, berujung pada berakhirnya perang sipil yang telah berlangsung selama 14 tahun di Liberia.
"Atas nama perempuan Liberia, perempuan Afrika, dan semua perempuan di seluruh dunia yang memperjuangkan perdamaian, keadilan, dan kesetaraan, saya menerima hadiah nobel perdamaian 2011 ini, dengan segala kerendahan hati," ucap Sirleaf saat menerima penghargaan.
Sirleaf di mata dewan komite nobel perdamaian, merupakan representasi akan pentingnya kekuatan penggerak, agen perubahan yang dibutuhkan dunia saat ini. Atas perjuangannya untuk membela hak asasi manusia, dan kesetaraan perempuan, hadiah nobel perdamaian diserahkan kepada ibu empat anak dan nenek enam cucu ini.
Memimpin dengan sensitivitas seorang ibu, itulah kesan menonjol dari pribadi Sirleaf. Ia mengaku ingin menjadi presiden untuk menghadirkan sensitivitas dan emosi dalam kepemimpinan seorang presiden. Karena bagi ahli ekonomi lulusan Harvard ini, dengan cara inilah negaranya dapat pulih kembali seusai perang saudara.
Kemenangan untuk perempuan Leymah Gbowee, 39, turut andil dalam menghentikan perang sipil di Liberia. Ia memobilisasi perempuan dari berbagai penjuru Liberia, dari berbagai suku dan agama, untuk memperjuangkan perdamaian dan mengakhiri perang sipil yang semakin brutal di negaranya.
"Penghargaan ini merupakan pengakuan atas perjuangan para perempuan Liberia. Ini adalah kemenangan atas hak perempuan di seluruh dunia," tutur Gbowee.
Baginya, hadiah nobel perdamaian 2011 yang diterimanya juga merupakan tribute untuk Wangari Maathai, perempuan Afrika pertama penerima Nobel, yang meninggal karena kanker, dua minggu sebelum penyerahan nobel 2011.
Lahir di Liberia pada 1972, Gbowee saat ini memimpin Women Peace and Security Network (WPSN) berbasis di Ghana. Hidup dalam kondisi perang saudara di negaranya, Gbowee bersinggungan erat dengan kekerasan. Ia pun mendapatkan pelatihan sebagai konselor trauma untuk menangani perempuan korban perang dan perempuan korban pemerkosaan saat perang saudara terjadi.
Penulis buku berjudul, Mighty Be Our Powers: How Sisterhood, Prayer, and Sex Changed a Nation at War, ini tak hanya menjadi konselor di Liberia, tetapi juga di negara-negara Afrika lainnya seperti Kongo.
"Tahun 2003 merupakan tahun yang sulit. Kami telah hidup dalam konflik selama 14 tahun. Kami, sekelompok perempuan memutuskan untuk melakukan aksi damai, melalui demonstrasi, berpuasa, dan berdoa," katanya seperti dikutip BBC untuk Africa programme.
Pengaruh besar Gbowee dan semangatnya yang tak pernah padam untuk memperjuangkan perdamaian di Liberia membuatnya terpilih sebagai satu dari tiga penerima nobel. "Saya bingung. Saya terharu. Ini pertama kalinya dalam 39 tahun, saya tak bisa berkata-kata," ucapnya saat menerima nobel perdamaian 2011.
"Ia adalah pejuang perdamaian, sosok berani yang tak pernah menyerah," kata Amanor Leymah, asisten Gbowee.
Untuk kemerdekaan dan martabat "Terima kasih atas penghargaan ini, yang menjadi kehormatan bagi saya secara personal, juga untuk negara saya, Yaman, untuk perempuan Arab, untuk semua perempuan di seluruh dunia, untuk semua orang yang menyuarakan kemerdekaan dan martabat," ucap Tawakkol Karman, aktivis pro-demokrasi dari Yaman, penerima Nobel perdamaian 2011 termuda.
Karman adalah jurnalis dan aktivis Yaman, perempuan Arab pertama penerima hadiah Nobel perdamaian. Ibu tiga anak berusia 32 ini dikenal sebagai aktivis dan advokat hak asasi manusia, dan pejuang kebebasan berpendapat, selama lima tahun terakhir. Ia juga aktif melakukan aksi pembebasan tahanan politik di Yaman.
Komite hadiah Nobel dari Norwegia, melihat Karman sebagai sosok pejuang yang aktif menyuarakan hak asasi perempuan dan memperjuangkan perdamaian. Kriteria inilah yang juga dimiliki dua perempuan Afrika, penerima Nobel perdamaian 2011.
Kepada jaringan BBC di negara Arab, Karman mengungkapkan, "Saya sangat bahagia mendengar berita mengenai penghargaan ini, dan saya dedikasikan ini (hadiah Nobel) untuk para martir dan mereka yang terluka di Tunisia, Mesir, Yaman, Libia, dan Syiria, juga untuk semua manusia merdeka yang memperjuangkan hak-hak nya dan kemerdekaan."
Saat ini Karman aktif sebagai anggota partai oposisi terbesar di Yaman, Islah. Ia juga memperjuangkan perubahan usia pernikahan minimum untuk perempuan Yaman. Karman, dengan aktivismenya, pernah dipenjara beberapa kali. Ia pun berpenampilan berbeda dengan kebanyakan perempuan Yaman, ia menggunakan jilbab tanpa penutup wajah seperti perempuan lain di negaranya.
Sumber: BBC